Aku menulis maka aku belajar

Friday, November 11, 2016

Sejarah Budak di Nusantara



Selama dua hari, 21-22 Oktober 2016, Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM bekerja sama dengan Universitas Leiden dan Vrije Universiteit Amsterdam (keduanya di Belanda), menggelar Seminar-Workshop bertajuk "Mapping Slavery in the Indonesian Archipelago under Dutch Colonial Rule". Beta mendaftar tapi tidak bisa ikut. Tapi ada Nancy Souisa dan Aprino Berhitu yang mengikuti setiap sesinya. Tampaknya sejarawan Johan Saimima juga tidak bisa ikut. Mungkin karena sedang sibuk dengan riset disertasinya. Tiga hari sebelum acara, beta hanya sempat berbincang dengan Dr Sri Margana, kaprodi sejarah FIB-UGM sekaligus pimpro kegiatan ini. Sri Margana adalah promotor disertasi Johan Saimima dan ketua tim penilai kelayakan disertasi beta. Ada beberapa butir menarik dalam perbincangan kami di ruangannya lantai 2 Gedung Margono FIB-UGM, yang menurutnya bisa menjadi isu pemantik dalam seminar-wokrshop itu.

Apakah ada perbudakan di Maluku selama masa kolonial Belanda? Itu pertanyaan pertama yang menyeruak benak beta ketika membaca tajuk acara tersebut. Tentu saja, pertanyaan itu bisa terjawab kalau mengikuti acara tersebut, terutama ulasan bung Wim Manuhutu, sejarawan Maluku di Belanda, mantan direktur Museum Maluku di Utrecht dan pengajar di Vrije Universiteit Amsterdam. Pertanyaan itu sontak muncul karena berkembang asumsi historis bahwa sebagian orang Maluku, terutama yang memilih menjadi Kristen mengikuti agama kaum kolonialis waktu itu, direkrut dan menjadi andalan dalam administrasi pemerintahan sipil maupun militer Belanda. Kaum Kristen-Ambon ini dianggap sebagai pengikut setia Belanda, sebagaimana terungkap dalam pernyataan "door de eeuwen trouw" (setia selamanya). Apakah mentalitas itu pula yang mendasari "kesetiaan" dan "fanatisme" sebagian orang Kristen-Ambon pada kesebelasan Belanda tiap kali berlaga di Piala Eropa atau Piala Dunia? Entahlah. Setidaknya konstruk alam bawah sadar fanatisme semacam itu tampaknya bisa dilacak kesana.

Memang asumsi historis itu sumir. Tidak bisa dirampatkan begitu saja. Dalam kajian sejarah kontemporer oleh orang-orang seperti Richard Chauvel dan John Ruhulessin (lihat buku yang baru terbit tahun 2016), jelas memperlihatkan keterbelahan ideologis antara para pendukung kekuasaan Belanda di Ambon dan kelompok nasionalis Ambon yang pro-Indonesia sekitar 1945-1950 (Pupela, Reawaru, Pattimaipauw dll). Oleh karena itu, penelusuran (atau pemetaan) perbudakan di Nusantara, termasuk di Ambon/Maluku, yang menjadi "core business" seminar/workshop tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk dikaji lebih lanjut.

Belum lagi jika dilanjutkan dengan pertanyaan semisal bagaimana bentuk-bentuk perbudakan di Maluku? Apakah ada resistensi baik dari kalangan Kristen-Ambon (yang termarjinal karena bukan keluarga raja atau mataruma parenta) dan juga dari kalangan Islam-Ambon, yang terisolasi dari "dunia-luar" selama implementasi sistem monopoli perdagangan rempah-rempah di Ambon, lantas menggerakkan perlawanan massif terhadap Belanda? Apakah "perbudakan" itu didukung pula oleh konstruk hierarkhi sosial dalam sistem adat? Apakah "kaum budak" di Maluku adalah klas sosial dalam hierarkhi sosial masyarakat "pribumi" Ambon? Ataukah merupakan kelompok-kelompok etnis lain yang didatangkan untuk menjadi "budak" di Maluku? Bagaimana relasi-relasi kuasa dan relasi-relasi sosial terbentuk dalam konteks sosial semacam itu? Pertanyaan-pertanyaan lain bisa ditambahkan.

Kita tunggu saja cerita panjang-lebar mengenai kajian-kajian sejarah dan bentuk perbudakan yang dipresentasikan dalam acara tersebut dari Nancy Souisa dan Aprino Berhitu. Nancy Souisa sedang melengkapi penelitian disertasinya mengenai perempuan-perempuan Ambon dalam ruang publik politik dan kebudayaan lokal. Sedangkan Aprino Berhitu baru saja merampungkan penulisan tesisnya yang kaya data penelitian lapangan mengenai dinamika sosiobudaya dan gerakan sosial di Aru dengan bingkai teoretik perlawanan massa James Scott.

Setidaknya, kita makin siuman bahwa ternyata ada "historical blindspots" yang bisa ditelusuri lebih lanjut untuk memperkaya khazanah historiografi Maluku. Semoga.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces