Makalah yang disampaikan dalam acara "Pendidikan Politik Bagi Pemilih Pemula Menjelang Pilkada Maluku 2018" tanggal 2 Juni 2018 di Ruang Serbaguna Gereja Silo Ambon.
Mengapa Jemaat?
Eksistensi jemaat bisa dilihat melalui dua lensa, [1] lensa teologis dan [2] lensa sosiologis-antropologis. Lensa teologis melihat jemaat secara abstrak-filosofis-teologis sebagai “persekutuan orang yang beriman (believers) kepada Tuhan”. Di dalamnya ada relasi-relasi antarindividu (persekutuan) yang diatur menurut tatanan (order) tertentu – “iman” yang dipengaruhi oleh tradisi gereja, hermeneutik (tafsir) alkitab, pengalaman batin/kepercayaan – yang ditujukan pada dan/atau bersumber dari otoritas/kekuasaan Tuhan. “Tuhan” itu sendiri sebenarnya adalah konstruksi keyakinan pada suatu kekuatan (power) yang abstrak, yang dipercaya melampaui batas-batas rasionalitas manusia tetapi sekaligus ingin dijelaskan melalui bahasa, pengalaman dan kebudayaan manusia yang terbatas (teologi).
Lensa sosiologis-antropologis melihat jemaat secara riel sebagai “komunitas” yang terdiri dari beraneka individu – dengan motivasi, pilihan, dan kepentingan yang berbeda-beda dan kompleks – dalam suatu tatanan sosial-budaya yang mengatur peran dan kepentingan bersama untuk tujuan-tujuan kehidupan yang disepakati. Jika kesepakatan atau konsensus itu dipatuhi maka relasi-relasi sosial menjadi terstruktur dan fungsional; jika tidak tercapai konsensus maka relasi-relasi sosial berpotensi menjadi konflik. Kesepakatan atau konsensus sosial itu kemudian membentuk “arena” yang di dalamnya setiap orang harus patuh pada “aturan main” (norma sosial, peraturan pemerintah, undang-undang negara dan sebagainya).
Jemaat adalah komunitas dalam masyarakat, yaitu suatu himpunan relasi-relasi sosial yang lebih kompleks dalam struktur-struktur sosial-politik-budaya-ekonomi dengan konsensus-konsensus yang lebih rumit, yang melibatkan pengakuan akan otoritas atau kekuasaan (power) manusia yang lebih besar. Salah satu sumber konflik teologis/ideologis dalam kehidupan jemaat (gereja) adalah pengakuan mana yang harus lebih diprioritaskan: kekuasaan Tuhan atau kekuasaan manusia (pemerintah). Dari situlah kemudian muncul perdebatan panjang yang dalam tradisi keilmuan teologi melahirkan paradigma “teologi politik”. Kitab-kitab dalam Alkitab memperlihatkan dengan jelas-tegas ketegangan-ketegangan teologis-ideologis antara dua kekuasaan (Tuhan dan manusia) tersebut. Jadi, politisasi agama dan agamanisasi politik sebenarnya adalah hal yang lumrah dalam sejarah peradabaan, kebudayaan dan agama-agama manusia hingga kini. Pada titik itu, politisasi agama dan agamanisasi politik merupakan strategi kebudayaan manusia untuk mengakumulasi kekuasaan dengan memasukkan unsur-unsur ilahi untuk memberi legitimasi yang lebih kuat dan besar pada kekuasaannya agar dapat mempengaruhi, menguasai dan mengendalikan orang atau kelompok lain. Akumulasi kekuasaan manusia itu dikonstruksikan dalam wujud relasi-relasi struktural yang bersifat legal-normatif-imajinatif, yaitu NEGARA.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah suatu proses politik yang berjalan dengan mekanisme tertentu yang disepakati melalui undang-undang negara Republik Indonesia untuk memilih pemimpin daerah (provinsi dan kabupaten). Pada periode kepemimpinan Presiden Suharto (1966-1998), tidak ada pilkada. Setiap kepala daerah setingkat gubernur ditentukan langsung oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Dengan demikian, de facto dan de jure, gubernur merupakan perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah pusat di Jakarta dan tidak punya kekuasaan otonom untuk memerintah daerahnya. Periode-periode selama rezim penguasa “Orde Baru” memberlakukan sentralisasi penuh kekuasaan. Persoalan-persoalan pembangunan yang terjadi umumnya seputar ketegangan kekuasaan/kepentingan antara “pusat” (Jakarta) dan “daerah” (center-periphery). Partai-partai politik yang jumlahnya banyak pada masa “Orde Lama” (172 partai) dipangkas (fusi) menjadi tiga partai: PPP, Golongan Karya (Golkar) dan PDI. Golkar menjadi mesin politik tunggal yang menggerakkan roda kekuasaan politik Orde Baru.
Ketika Suharto turun dari kursi kepresidenan tahun 1998 oleh gerakan politik mahasiswa di hampir semua daerah – yang dikenal sebagai Gerakan Reformasi 1998 – terjadi perubahan besar-besaran dalam struktur politik dan mekanisme pengaturan kekuasaan politik di Indonesia. Salah satunya yang paling fundamental adalah otonomi daerah dan sistem multi-partai (1999: 48 parpol; 2004: 24 parpol; 2009: 38 parpol; 2014: 12 parpol; 2018: 14 parpolnas dan 4 parpol lokal Aceh). Otonomi daerah memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah (gubernur dan bupati) untuk mengatur pemerintahannya sesuai dengan karakteristik historis dan budaya setempat, serta mengelola SDM dan SDA yang tersedia di daerahnya bagi pencapaian kepentingan kesejahteraan masyarakat setempat. Sekaligus pula dengannya membawa problem penyimpangan kekuasaan karena terbukanya celah-celah korupsi kekuasaan untuk kepentingan-kepentingan yang keluar dari koridor normatif pengelolaan kekuasaan pemerintahan.
Sistem multi-partai pada hakikatnya merupakan kanal demokrasi bagi ekspresi dan aspirasi sosial-politik dari suatu masyarakat majemuk seperti Indonesia. Indonesia punya pengalaman sejarah dengan sistem multi-partai (Pemilu 1955). Yang membedakan karakter politik nasional dengan pemberlakuan sistem multi-partai pasca Orde Baru adalah masa 32 tahun rezim Orde Baru telah secara efektif dan fundamental membentuk cara pandang dan cara tindak politik yang serba seragam (dari pikiran hingga pakaian) sehingga sepanjang masa itu masyarakat Indonesia tidak terbiasa dan tabu melihat perbedaan. Semua yang berbeda dari apa yang dianggap “norma” dan “kebenaran” menurut pemerintah sipil dan militer adalah haram dan ancaman. Maka ketika kran demokrasi dibuka dengan sistem multi-partai, semua ekspresi dan aspirasi massa yang selama ini terpendam pun meledak dan meluap-luap dalam wujud yang nyaris anarkhis dari apa yang kini makin mengeras dalam politik identitas. Perbedaan (etnis, bahasa, agama) diakui sekaligus menjadi “senjata ideologis” untuk menghancurkan liyan (others). Lantas, setiap individu seolah-olah hidup dalam “tempurung” ideologi politik (pencitraan figur politik) dan ghetto agamanya sendiri.
Peran Jemaat Kristen
Orang Kristen-Indonesia (OKI) memiliki identitas ganda (double identity): [1] sebagai “persekutuan orang beriman” sekaligus [2] warga negara Indonesia. Kehidupan OKI berada dalam tarik-menarik kekuasaan “iman” (pengakuan akan kekuasaan Allah) dan “politik” (pengakuan akan kekuasaan manusia/negara). Ini bukan masalah baru dalam sejarah Kristianitas dari masa ke masa hingga konteks Indonesia/Maluku. Tapi ini adalah masalah yang selalu berkembang dengan tampilan-tampilan baru sehingga selalu membutuhkan perspektif-perspektif keimanan yang baru dan kontekstual. Peran yang seyogyanya dijalankan oleh OKI adalah smart dan S.M.A.R.T. Smart yang pertama berarti cerdas dan cermat. S.M.A.R.T. yang kedua adalah:
Spirituality – Dasar iman kristiani adalah pada kekuasaan Tuhan yang menyelamatkan. Dalam sejarah Kristianitas, hal itu termanifestasi dalam makna SALIB, bahwa karya penyelamatan Allah tidak hanya mengarah vertikal (hubungan manusia-Tuhan) tetapi sekaligus horisontal (hubungan manusia-manusia). Keyakinan akan kekuasaan Tuhan harus terwujud dalam kerendahan hati untuk mengasihi sesama dalam upaya menata relasi-relasi kemanusiaan yang saling menghidupkan, bukan saling menghancurkan.
Model – Panggilan hidup kristiani sebagaimana yang terpancar dari pemberitaan karya dan hidup Kristus adalah berani tampil menjadi teladan dengan pilihan-pilihan hidup (etika, agama, ideologi politik) yang tertuju bagi upaya memanusiakan manusia. Pilihan-pilihan ini diambil dengan sengaja sehingga kata dan perbuatan menyatu menjadi karakter yang berintegritas alias tidak munafik atau plin-plan. Kristus menjadi model/teladan dengan pilihan-pilihan yang diambilnya kendati itu semua beresiko tinggi (mati sebagai pesakitan di atas kayu palang - SALIB).
Achievement – Pilihan hidup kristiani didasakan pada kerendahan hati (sebagai wujud pengakuan akan kekuasaan Tuhan) sekaligus kegigihan memperjuangkan kebaikan-kebaikan bersama bagi kemanusiaan. Pilihan hidup kristiani selalu membumi (kontekstual) dan politis (terlibat dalam implementasi seni mengelola kekuasaan). Kompetisi dan kompetensi menjadi dua hal yang tak terhindarkan. Akumulasi relasional antara kompetisi dan kompetensi adalah pada prestasi gemilang yang ditandai dengan makin tertatanya kehidupan bersama yang majemuk sebagai co-existence spheres dalam entitas negara.
Responsibility – Setiap pilihan yang diambil dalam kehidupan OKI mempunyai efek ganda: tanggung jawab kepada Allah sebagai pemegang kuasa kehidupan dan tanggung jawab kepada manusia/masyarakat sebagai ruang interaktif dan rekreatif untuk mencapai kebaikan bersama. Ini tidak mudah. Justru karena sulit maka dibutuhkan komitmen untuk menempatkan tugas-tugas pelayanan kemanusiaan pada skala prioritas tertinggi. Setiap orang tidak hanya memikul tanggung jawab bagi keberlangsungan hidupnya sendiri tetapi juga bagi keberlangsung hidup bersama (komunal/sosial). Dengan demikian, etika kristiani adalah etika politik.
Trust – Kita percaya kepada Tuhan meskipun kita tidak melihat-Nya. Ini biasanya disebut iman. Kendati tidak melihat Tuhan tapi keyakinan kita kepada Tuhan itu sangat mempengaruhi dan membentuk cara pikir dan cara tindak kita, terhadap diri sendiri dan orang lain. Maka iman ini menjadi iman yang relasional (relational-faith) antara Tuhan dan sesama manusia. Pancaran dari relational-faith ini adalah pada karakter individu dan sosial bahwa saling percaya (trust) semestinya menjadi fondasi bagi berlangsungnya hidup bersama sebagai jemaat dan masyarakat yang kritis, kreatif, positif dan konstruktif.
Aku menulis maka aku belajar
Monday, June 11, 2018
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment