Asumsi kebanyakan bahwa masalah agama adalah masalah iman (keyakinan) terhadap sosok imajiner yang dinamakan Tuhan, tampaknya makin luluh dalam wacana dan praktik masyarakat global belakangan ini. Ini bukan soal menguatnya sekularisme dan rasionalisme yang oleh Peter Berger dipercaya akan makin meminggirkan realitas keberagamaan masyarakat modern - tesis yang kemudian dibantahnya sendiri karena kecenderungan agamaisme justru kian berkobar di tengah arus deras modernitas.
Saya condong menyebutnya “agamaisme” daripada sebagai fenomena “revivalisme semangat keberagamaan” karena apa yang kini ditampilkan dalam kemasan agama-agama merupakan bingkai konstruktif agama-agama sebagai fenomena sosial-politik-budaya. Artinya, bingkai konstruktif agama-agama saat ini tidak dideterminasi oleh peziarahan spiritual yang panjang, mendalam dan kontemplatif. Namun, itu de facto lebih dibentuk sebagai serangkaian reaksi-reaksi terhadap kejamakan situasi problematik kemanusiaan glo[k]al yang menempatkan eksistensi manusia dan lingkungan semestanya pada marjin rasionalitas dan spiritualitas itu sendiri. Maka “isme” yang melekat sebagai akhiran agama merefleksikan bahwa bingkai konstruktif agama-agama saat ini tepat berada sebagai problem menalar realitas atau situasi problematik kemanusiaannya.
Lompatan-lompatan wacana yang seolah mengungkit peubah (variabel) “iman” atau “keyakinan” yang dikemas oleh bahasa “langit” keagamaan dan postur kesalehan seyogyanya dipahami sebagai kegalauan karena disabilitas menalar kompleksitas perubahan konteks glokal itu. Kegalauan itu pun bisa terlampiaskan pada banyak muara sosiologis dan psikologis yang destruktif sebagai ketidakmampuan mengolah secara nalar situasi problematik yang ada.
Dengan menempatkan problem keberagamaan sebagai problem nalar (-isme) maka keberagamaan bukan oposisi-biner dari isme-isme lainnya. Ranah agama-agama sama sekali tidak steril dari diskursus filosofis, sosiologis, politis dan antropologis. Bahkan semestinya tepat pada jantung perdebatan ontologis, epistemologis dan aksiologis, bersama-sama dengan marxisme, eksistensialisme, dan lain-lain. Tuhan adalah konstruksi imajinatif yang kepadanya kita (manusia) menaruh seluruh kegelisahan, kegalauan hingga kemarahan kita sembari mencari keseimbangan-keseimbangan epistemik melalui pembahasaan cinta kasih, keadilan hingga surga yang permai.
Ambon, 26 Agustus 2018
No comments:
Post a Comment