Sepanjang pengalaman mendampingi Dr. Cornelis Alyona mengampu matakuliah Sejarah Gereja di Indonesia dan Sejarah Agama Kristen, sebelum dan sesudah pulang studi, cukup menyadarkan beta bahwa tidak mudah menemukan mahasiswa peminat sejarah yang serius. Kalaupun ada yang berminat menulis kajian sejarah sebagai materi skripsi atau tesis mereka, itu lebih sebagai tuntutan studi dan kondisi terjepit karena jalan buntu untuk masuk ke disiplin ilmu lain yang dirasa berat.
Apakah mereka menganggap kajian sejarah enteng dan gampang? Tidak juga. Hanya pemahaman tentang sejarah belum menukik pada fondasi-fondasi metodologis dari apa yang disebut historiografi. Yang terpahami baru pada lapis mengumpulkan material sejarah (buku sejarah) dan arsip sekadarnya, menyusunnya secara kronologis dan seolah-olah menulis sejarah "baru". Bobot interpretatif secara kritis terhadap bahan-bahan atau arsip-arsip, termasuk pula data kualitatif melalui jaring observasi sosial-budaya-politik, masih pada parameter timbangan yang belum cukup menohok.
Munculnya sedikit peminat kajian sejarah, semisal Johan Saimima, yang kini tengah menyelesaikan disertasi sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, setidaknya cukup menjanjikan meskipun tentu tidak memuaskan dari segi kaderisasi peminat sejarah (sejarawan). Namun, syukurlah, sudah mulai muncul wajah-wajah baru para peminat sejarah muda. Salah satunya adalah Michael Pattiasina.
Hari ini bersama Dr. John Ruhulessin dan Rachel Iwamony, Ph.D., dengan moderator Dr. Cornelis Alyona, yang juga dihadiri kandidat doktor Johan Saimima, kami terlibat dalam diskusi alot dan bernas terhadap hasil penelitian Michael. Elaborasi yang padat dan runut sebagai hasil rekonstruksi dan reinterpretasi data sejarah memberikan bobot tersendiri terhadap tesis Michael. Namun demikian, terdapat beberapa "blind-spot" yang perlu dilengkapi baik dengan penelusuran arsip/dokumen yang lebih luas maupun keberanian untuk menyulam berbagai kekosongan data dengan kemampuan melakukan interpretasi historis. Ceruk epistemik lain yang tampak adalah permainan asumsi "kilas-balik" yang sering menjebak pada wacana-wacana kontemporer dalam meneropong masa lalu sembari mengabaikan konteks dari suatu teks/arsip.
Kendati demikian, karya akademik Michael Pattiasina ini sangat layak diapresiasi sebagai keberanian untuk mengambil rute disiplin ilmu yang kerap dianggap "kering" dan kurang merangsang bagi para mahasiswa generasi milenial. Diskusi alot pagi tadi memberi sinyal positif bahwa masih banyak "black-holes" yang menarik untuk dikaji dalam historiografi. Semoga!
Photo courtesy: Nes Parihala
No comments:
Post a Comment