Aku menulis maka aku belajar

Friday, December 14, 2018

Melepas Pergi, Menahan Kenangan: Sekelumit Kisah tentang Bruno Betaubun

Selama 2 minggu terakhir linimasa fb menautkan kabar dukacita tentang kepergian sejumlah kenalan, teman dari kenalan, sahabat, ortu dari sahabat. Hanya ucapan turut berbelarasa yang bisa disampaikan melalui kolom-kolom komentar.

Satu dari beberapa kabar dukacita adalah kepergian seorang rekan semasa masih menjadi mahasiswa di kampus UKIM, Bruno Betaubun (BB). Sudah lama tidak mendengar kabarnya apalagi bersua sejak kami lulus dari perguruan talake tahun 1996.

Kabar kepergian BB sangat mengejutkan. Pasalnya, semasa kuliah tahun 1990an, BB dikenal sebagai salah seorang pemain andalan dalam tim volley UKIM. Beta sendiri bergabung dengan tim basket UKIM. Kami sering berlatih bersama karena memang lapangan yang tersedia hanya satu. Jadi, biasanya tim volley dan basket melakukan pemanasan bersama dan menggunakan lapangan secara bergiliran.

Intensitas pertemuan juga terjadi dalam aktivitas organisasi kemahasiswaan intra dan ekstra kampus. Kami sama-sama bergiat di Senat Mahasiswa Fakultas. BB adalah fungsionaris SMF dan GMKI Komisariat Fakultas Ekonomi UKIM.

Pengalaman tak terlupakan bersama BB adalah ketika kami turut bergelut dalam euforia reformasi 1998. Setelah peristiwa Semanggi yang menewaskan rekan-rekan mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta, berbagai gelombang demonstrasi mahasiswa terjadi di berbagai kampus, termasuk UKIM. Waktu itu, kami mendesain format demo damai bersama-sama dengan hitungan-hitungan yang cermat agar demo itu tidak menjadi anarkhis dan kisruh. Desain demo adalah membuat replika peti mati dibungkus kain hitam sebagai simbol matinya demokrasi (terima kasih untuk bung Jacky Manuputty atas ide teatrikal itu). Demo dikawal ketat oleh unsur mahasiswa UKIM dibantu aparat polisi. Pada beberapa titik perhentian, ada orasi, puisi dan aksi teatrikal diiringi oleh beberapa mahasiswa yang bisa meniup trompet.

Ketika demo, BB mendapat peran mengusung gambar Presiden Soeharto. Nah, di sini BB beraksi. Selama perjalanan arak-arakan demo menuju beberapa titik kumpul untuk berorasi, BB mengangkat gambar Soeharto yang sudah dicoret silang dengan posisi terbalik (kepala di bawah). Berulangkali kami mengingatkan BB agar gambarnya diposisikan normal (kepala di atas) tapi dia tetap bersikeras. Sempat terjadi ketegangan di antara kami tapi akhirnya mengalah dengan sikap keras BB meski tetap terbersit cemas jika ada tindakan tegas dari aparat keamanan mengingat gambar presiden adalah simbol yang sangat “sakral” selama Orde Baru.

Syukurlah, demo mahasiswa UKIM saat itu berjalan lancar dan aman meski pada beberapa titik berhadapan dengan pasukan polisi dan tentara PRC (Pasukan Reaksi Cepat). Kami harus mengakui bahwa aksi BB waktu itu tergolong berani dan riskan sebab kondisi politik nasional saat itu sedang dalam transisi yang kritis. Polisi dan tentara bisa saja menjadikannya sebagai alasan menindak tegas demo kami.

Kekisruhan yang kami cemaskan justru terjadi pada kelompok demo mahasiswa setelah kami usai dan bubar. Kisruh dan bentrok antara aparat polisi/tentara dengan mahasiswa yang kemudian dikenal sebagai “Insiden Batugajah”.

Beta menuliskan hal ini untuk menjadi ingatan bersejarah tentang sosok dan aksi rekan Bruno Betaubun dalam rangkaian demo mahasiswa sebagai efek gelombang reformasi 1998 yang turut menyeret UKIM sebagai bagian penting dalam sejarah demokratisasi yang sejenak menjanjikan perubahan sosial-politik Indonesia.

Selamat beristirahat dalam keabadian sobat! Kau telah menaruh noktah kecil dalam satu gerakan besar Reformasi Total 1998. Semoga anak-anakmu membacanya dan bangga dengan aksimu yang hebat dan berani.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces