Aku menulis maka aku belajar

Saturday, April 4, 2020

Belajar

Saya ingin pertama-tama menyatakan respek terhadap para mahasiswa di mana saja, terutama di kampus UKIM, yang dengan segala keterbatasan mencoba bertahan dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan mekanisme pembelajaran formal di kampus. Secara geografis, Maluku adalah wilayah kepulauan. Sebagian besar mahasiswa UKIM berasal dari pulau-pulau di luar Ambon dan Lease. Dalam kondisi normal saja, tidak mudah bagi mereka untuk melakukan perjalanan bolak-balik Kota Ambon dan negri-negri asal mereka. Apalagi dalam kondisi masa-masa "kunci" seperti saat ini.

Sistem pembelajaran klas harus diubah menjadi kuliah daring (online). Lebih mudah? Kelihatannya. Tapi bagi sebagian besar mahasiswa perubahan ini menghadapkan mereka pada masalah lain yang cukup berdampak pada pengelolaan keuangan rutin mereka. Kuliah daring membutuhkan jaringan internet (pulsa data dan wifi). Wifi dengan kapasitas besar hanya tersedia di kampus. Sementara kalau sebagian besar memanfaatkan wifi di kampus maka sudah pasti akan terbentuk kelompok-kelompok yang bergerombol pada titik-titik tertentu. Padahal, ada anjuran untuk tidak berkerumun.

Alternatifnya, menambah pulsa data supaya bisa bekerja sendiri-sendiri. Lain lagi masalahnya. Untuk yang masih tinggal dengan ortu, kendala uang pulsa sebagian bisa teratasi. Meskipun tidak semua ortu sudah memahami konsekuensi kuliah daring. Tapi tidak mudah bagi mahasiswa yang tinggal dengan keluarga wali dan indekos. Dana rutin bulanan yang dikirim ortu mereka di negri-negri harus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pulsa data yang cukup besar. Akibatnya, uang kos tertunggak dan uang makan kian tipis, bahkan nihil. Ortu mereka di kampung tidak [mau] tahu dengan perubahan ke model kuliah daring ini sehingga terutama mahasiswa indekos harus merana kelaparan seiring tuntutan pulsa data yang harus terus diinfus supaya bisa ikut kuliah daring.

Ada sebagian mahasiswa yang disuruh pulang kampung jika tidak ada sesi klas selama masa "kunci", padahal ini bukan libur. Tentu saja, sebagian besar negri (kampung) di pulau-pulau belum terjangkau jaringan internet yang memadai. Jika pun sudah, frekuensinya naik-turun. Belajar jarak jauh? Pakai apa? Zoom, Google Classroom, Google Hangouts Meet, Skype? Semua bagus bagi yang sudah menikmati fasilitas internet yang berdaya kuat. Tapi tidak di wilayah-wilayah yang minus jaringan komunikasi (internet).

Utamanya mahasiswa-mahasiswa indekos mencoba bertahan hidup dan enggan pulang kampung meski keuangan mereka seret karena terhisap pulsa data. Ada teman-teman mereka yang tinggal dengan ortu rela berbagi beras dan sedikit bahan sembako. Kami para dosen juga membantu sebisanya agar mereka bisa terus mengikuti kuliah daring dan membatasi mereka untuk tidak melakukan kerja-kerja kelompok di tempat-tempat yang "rawan" penyebaran virus corona.

Harus diakui bahwa cukup banyak mahasiswa yang "pasrah" karena tidak mampu secara ekonomis mengikuti model kuliah daring. Mereka memilih "alpa" dan mundur dengan segala konsekuensinya bagi kelanjutan studi mereka.

Situasi hidup mahasiswa di Indonesia timur seperti Maluku jelas tidak bisa dibandingkan dengan teman-teman mereka yang berjibaku di kampus-kampus besar di Pulau Jawa. Motivasi belajar yang kuat memang sangat diperlukan untuk meretas berbagai kendala teknis yang timbul karena berbagai perubahan dan adaptasi berhadapan dengan penyebaran virus corona ini.

Ini hanyalah catatan kecil yang mulanya dipicu oleh 2 buku yang ~ akhirnya ~ tuntas terbaca selama masa "kunci" ini: Politik Identitas dan Bumi Manusia. Muara dari aliran refleksi yang terbentuk melalui proses membaca ini adalah pada kepekaan untuk merasai apakah dalam seluruh dinamika perubahan yang terjadi sekarang ini setiap orang merasa diperlakukan dengan adil? Ataukah muncul stigma-stigma baru dalam realitas hidup sosial yang menciptakan model-model diskriminasi terhadap klas-klas sosial yang dianggap lemah dan karenanya dibiarkan tergilas begitu saja? "Physical distancing" makin meneguhkan "social distancing" yang sebenarnya sudah meracuni cara pandang terhadap realitas sosial masyarakat Indonesia ~ seperti pernyataan jubir kepresidenan yang menyebut "orang kaya" dan "orang miskin" dalam konteks penanganan COVID-19. Demikian pula dengan tendensi belakangan ini yang mengganti penyebutan COVID-19 menjadi VICHIN-19 (Virus China), yang tampaknya hendak mengarahkan persoalan penyakit menjadi diskursus politik identitas global.

Jangan-jangan masa "kunci" ini mengonstruksi perspektif dan aksi politik identitas baru. Suatu cara pandang terhadap penyakit dan penanganannya yang membuat kita menjadi tidak adil sejak dalam pikiran (mengutip tokoh Minke dalam Bumi Manusianya Pram). Semoga tidak.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces