Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, October 7, 2020

"Indonesia" di Ithaca - Catatan Penghormatan 70 Tahun SEAP Cornell University (Bagian III)


Atas bantuan informasi dari Bli Made Supriatma, saya terhubung dengan CIA (Cornell Indonesian Association). Beberapa rekan Indonesia dari CIA mengontak saya dan tak lelah mengirim info seputar kehidupan masyarakat Ithaca dan berbagai hal yang memungkinkan saya mampu
survive di kota kecil ini melewati hari-hari yang beku. 

Sebelumnya, dalam suatu percakapan, Prof. Laksono sempat memberi pesan. "Di Cornell, ada 2 Ben yang harus kau hubungi. Ben Anderson di Kahin Center dan Ben Abel di Perpustakaan Olin-Kroch," demikian kata Pak Laks. Sedikit kecewa karena Prof. Ben Anderson tidak berada di Ithaca saat itu. Kabarnya, beliau selalu pergi ke tempat-tempat yang hangat (tropis) selama musim dingin. Di sisi lain, saya sangat beruntung dapat mengenal dan berjumpa dengan Ben Abel, seorang pustakawan andal di Perpustakaan Olin-Kroch, yang selalu terbuka membantu saya dalam urusan literatur di perpustakaan dan teman diskusi yang hangat. Tak hanya itu, Ben Abel juga yang mengajak saya mengenal seluk-beluk Cornell dengan berkeliling area-area kampus dan mengunjungi tempat-tempat indah ketika matahari musim semi mulai bertandang ke Ithaca.

Kahin Center dan Perpustakaan Olin-Kroch adalah 2 tempat meditasi saya di Cornell. Meskipun saya diberi ruang kerja tersendiri tapi saya lebih suka menghabiskan waktu di ruang pustaka pribadi George McTurnan Kahin, membaca berbagai jurnal, kepustakaan klasik, sejumlah disertasi sarjana Indonesia seperti Taufik Abdullah, George Aditjondro, Daniel Dhakidae dll; selain dokumen-dokumen tulisan sarjana Indonesia yang sulit diperoleh lagi di Indonesia, seperti Ariel Heryanto. Deretan jurnal tentang kajian Indonesia dari timur sampai barat berjejer panjang dan rapi, membuat saya terheran-heran juga mengapa dokumen-dokumen ini sulit didapatkan di perpustakaan-perpustakaan kampus-kampus Indonesia.

Tempat penjelajahan dan meditasi literatur kedua adalah Perpustakaan Olin-Kroch. Seminggu saya habiskan hanya untuk menjelajahi tiap lantai. Seingat saya ada tiga lantai yang penuh dengan literatur kajian Indonesia. Saya seperti "a kid in a candy store". Tak habis-habisnya mengagumi sekaligus juga menyesali mengapa perpustakaan semacam ini harus berada jauh dari Indonesia. Lantai 3 menjadi tempat leyeh-leyeh kalau sudah mulai jenuh dengan bacaan-bacaan rumit. Di situ saya bisa membaca serial komik Kho Ping Ho, Pram, dan berbagai jenis novel atau komik.

Layanan "interlibrary loan" memungkinkan untuk mendapatkan kepustakaan dari jaringan perpustakaan di kampus-kampus lain. Beberapa fasilitas ini membantu saya mendapatkan literatur yang saya butuhkan dari perpustakaan Universitas Leiden, SOAS University of London, dan terutama kampus-kampus di AS. Selain itu, ruangan mikrofotografi juga menjadi tempat saya menelusuri arsip-arsip koran, majalah, artikel dll yang sudah diformat menjadi mikrofilm.

Di perpustakaan ini tiba-tiba ada kesadaran menyeruak betapa luar biasanya Indonesia hingga salah satu kampus Ivy League di AS ini mengalokasikan energi sebesar ini untuk mendedahnya melalui berbagai kajian yang serius dan mendalam. Layanan perpustakaan ini jam 07.30 pagi hingga 02.00 dini hari. Soal makan/minum? Pada bagian lobby, berseberangan dengan unit layanan perpustakaan, ada kafe yang kurang-lebih seperti restoran mini sehingga para pengguna perpustakaan tidak perlu keluar hanya untuk mengisi perut, kecuali mencari menu yang tidak ada di situ.

"Brown Bag Talk" adalah momen penting untuk bersosialisasi. Secara rutin para pakar baik dari dalam maupun dari luar AS mempresentasikan hasil-hasil riset tentang kajian Asia Tenggara dan mendiskusikannya bersama. Perjumpaan dengan beberapa mahasiswa Indonesia di Cornell juga terjadi. Yang sering membuat kagok adalah rata-rata para profesor fasih berbahasa Indonesia (ada juga yang fasih bahasa Jawa dan Bali). Kagok karena saya berhadapan dengan orang-orang bule (istilah om Ben) yang demen dengan Indonesia, hingga menguasai akar-akar sejarah dan kebudayaan yang saya sendiri tak mengakrabinya. Suatu citarasa Indonesia yang kental di Ithaca, tepat pada saat secara ragawi saya sedang tidak berada di wilayah geografis Indonesia. Di situ pula saya berkenalan lebih akrab dengan Direktur SEAP waktu itu, Prof. Kaja McGowan dan pak Ketut Raka Munavizt, serta beberapa peneliti senior SEAP seperti Prof. Martin Hatch, Prof. Abby Cohn (yang kini Direktur SEAP), Prof. Eric Tagliacozzo, Prof. Chiara Formichi dll. Sayangnya, saya tidak sempat bertemu dengan Prof. James Siegel dan Prof. Ben Anderson. (lanjut)

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces