Aku menulis maka aku belajar

Sunday, January 24, 2021

Sarjana dari Aru


Campur aduk rasa haru dan bangga saat Stenly Salenussa menautkan foto-foto ini untuk beta. Beta mengenalnya sejak ia terlibat dalam kepengurusan Senat Mahasiswa Fakultas ISIP UKIM. Perangai yang kalem tapi punya karakter kepemimpinan yang kuat. Tak heran ia dipercaya menjadi ketua senat. Kami kerap berkoordinasi untuk beberapa kegiatan kemahasiswaan. Ia mampu dengan cepat memahami peran dan tanggung jawab seperti apa yang harus dilakukan dalam situasi-situasi tertentu. Untuk semua proses bekerja bersama itu, hingga ia mencapai gelar "sarjana", beta bangga meskipun tidak sempat bertatap muka dalam perkuliahan di klas. 

Namun, kebanggaan itu dengan segera tersapu rasa haru ketika menyaksikan reaksi masyarakat Kobamar, Aru Tengah Timur, menyambut kepulangan anak mereka yang sudah sarjana ini. Ia ternyata menjadi anak kampung Kobamar pertama yang mencapai gelar sarjana. Penyambutannya yang luar biasa seolah menegaskan bahwa ia bukan lagi "anak sarjana" milik keluarganya melainkan representasi dari masyarakat Kobamar. Penyambutannya bukanlah pesta hura-hura tapi suatu konfirmasi tentang harga diri sosial yang diangkat tinggi-tinggi. Label pendidikan "sarjana" yang disandangnya seolah sebentuk perlawanan sosial bahwa orang Kobamar tidak menyerah meski hidup sehari-hari mereka terbelit oleh matarantai kemiskinan struktural dan marjinalisasi sosial. Sekaligus dengannya menjadi penanda bahwa ada secercah titik terang pengharapan bagi generasi Aru dari Kobamar selanjutnya yang akan mengikuti jejaknya.

Menurut catatan Sir Alfred Wallace, penulis The Malay Archipelago, sejak 1857, Aru sebenarnya sudah menjadi "metropolis" yang riuh dengan jejaring perdagangan nusantara. Bahkan hingga periode Indonesia merdeka, dalam catatan penelitian Roem Topatimasang dkk Potret Orang-orang Kalah: Kumpulan Kasus Penyingkiran Orang-orang Asli Kepulauan Maluku (hasil pengamatan lapangan tahun 1993), puluhan perusahaan penyelaman dan budidaya mutiara beroperasi di Aru. Belum terhitung ratusan kapal berbendera asing yang menguras isi laut Aru, kisah mangkraknya perusahaan perikanan di Benjina beberapa tahun silam, hingga narasi perlawanan "Save Aru". Toh, hingga kini, sulit menyeka realitas kemiskinan struktural dari wajah sosial Aru.

Patricia Spyer, dalam disertasinya yang kemudian dibukukan dengan tajuk The Memory of Trade: Modernity's Entanglements on an Eastern Indonesian Island (Duke University Press 2000), menutup kisah etnografisnya tentang Aru dengan catatan: "If I have chosen in this book to focus especially on the negotiation by Barakai islanders of their relationships to the Aru and the Malay and of these two elsewheres to each other, it is because they, indeed, capture so well the kinds of dilemmas, adjustments, and compromises that, demanded by the larger forces and powers dominating and permeating their lives, people at the disempowered fringes of nation-states, as well as more globally, constantly face." (290-291).

Riset mutakhir tentang Aru, sejauh ingatan beta, dilakukan oleh Pdt. Aprino Berhitu, alumni Fakultas Teologi UKIM yang melanjutkan studi magister pada Prodi MPRK Sekolah Pascasarjana UGM. Riset itu menjadi tesis magisternya. Semoga kajian-kajian tentang Aru makin membentangkan kemungkinan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat Aru.

Selamat berkarya Ferson Sorfay! Kau baru saja memulai perjalanan menuju masa depanmu. Tetap berintegritas!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces