Sudah lazim dikenal publik bahwa ML adalah akronim dari
Making Love, yang kemudian diindonesiakan dengan "bercinta" - meskipun artinya lebih menjurus pada melakukan hubungan seks (
intercourse). Nah, baru-baru ini ada film baru yang memakai judul ML sebagai akronim "Mau Lagi". Judul - baru judulnya
doang - film ini sudah membuat heboh. Sebagian orang atau kelompok melihat judul film ini - baru judulnya
doang - mengandung makna pornografi dan pornoaksi. Entahlah, apakah orang-orang atau kelompok-kelompok ini sudah menonton filmnya atau belum, atau
ngakunya belum tapi sudah nonton sembunyi-sembunyi. Siapa tahu?
Tidak jelas apa yang mereka maksud dengan konotasi pornografi dan pornoaksi karena saya sendiri belum nonton filmnya. Tetapi mereka sendiri tidak menjelaskan maksud mereka dengan dua konsep tersebut. Jadi, untuk sementara karena saya belum memahami maksud orang-orang ini maka saya menganggapnya asal
njeplak (aspak) alias asal
mangap (asma) alias asal bunyi (asbun). Kalau mau protes harus jelas
dong argumentasinya, logikanya, korelasi logisnya dengan variabel-variabel yang diajukan. Kalau cuma menyoroti judulnya itu
mah namanya sentimen
doang, bukan argumen. Menurut produsernya, film ini memang lebih menguak persoalan-persoalan
free-sex yang sudah makin biasa dan terbuka di kalangan masyarakat kita (Indonesia). Dulunya mungkin kita tidak terbiasa bicara blak-blakan soal
free-sex, maka soal itu cuma terselip diam-diam dan menjadi kebiasaan bisu masyarakat kita. Dilakukan oleh banyak orang tetapi disimpan agar hanya diketahui sedikit orang. Sekarang yang dilakukan adalah sebaliknya, dilakukan oleh banyak orang dan diketahui oleh semua orang. Itu menurut produsernya yang sempat saya rekam sepintas. Ia juga mengakui bahwa film ini lebih merupakan media melakukan
sex-education kepada para remaja.
Saya
sih - yang bukan artis dan produser film - melihat fenomena ini biasa-biasa saja. Yang luar biasa adalah respons orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu yang rupanya terusik dengan pemakaian judul film itu - lagi-lagi judulnya
doang. Sejauh amatan saya, mereka sama sekali tidak mengutak-atik alur film itu: pesan apa yang ingin disampaikan oleh suatu media. Jika seluruh ekspresi estetis hanya dipahami dalam cakrawala pemikiran yang sempit, dalam hal ini hanya terpesona atau terusik oleh yang kelihatan sambil melupakan pemaknaannya, saya jadi cemas juga sebab jangan-jangan masyarakat kita sudah mati rasa dalam menikmati ekspresi seni nan estetis. Kita ribut dengan apa yang kelihatan tetapi abai pada pesan yang terkandung di dalamnya. Benarkah seperti itu? Rasanya tidak juga. Karena ternyata dalam banyak hal masyarakat kita malah cenderung mendiamkan apa yang kelihatan dan ribut dengan yang tidak kelihatan. Mau contohnya? Lihat saja, kita cenderung mendiamkan ketidakdisiplinan berlalu-lintas yang nyata-nyata terjadi setiap hari di depan batang hidung kita dan juga aparat pemerintah yang berwenang, lalu terbiasa dengannya. Sebaliknya, kita ribut dengan soal perbedaan aliran keyakinan (iman) dalam kehidupan beragama (yang menyangkut sesuatu yang tidak kelihatan), seolah-olah kita kenal banget dengan yang namanya Tuhan itu, terus menganggapnya milik kelompok kita sendiri, dan orang lain tidak bisa mengenal Tuhan itu atau Tuhan cuma bisa dikenal lewat satu jalur iman. Ini namanya beriman monorel atau monoiman. Tapi toh itulah yang kita ributkan.
Kalau yang dipersoalkan hanya judul ML yang katanya berkonotasi pornografi, saya rasa itu kesimpulan sumir yang mengada-ada. ML itu kan bisa dipanjangkan dengan berbagai arti, bukan cuma
Making Love. Saya malah khawatir orang-orang yang hanya dari judul ML itu sudah terburu-buru mengartikannya ngeres, jangan-jangan merekalah yang paling rajin ber-ML dalam arti yang mereka pahami itu. Siapa tahu? Saya sih melihat ML itu sesuatu yang kerap terjadi dan kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari - tentu termasuk ML yang
Making Love itu (
off the record, ini hanya untuk kalangan yang sudah berpasutri). Masih banyak ML-ML yang lain yang sebenarnya harus diprotes lebih keras oleh publik. Mau tahu? Di bawah ini ada beberapa ML yang penting untuk kita perhatikan.
ML1 (
Making Love)
Making Love atau bercinta atau berhubungan seks adalah kebutuhan setiap manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan (untuk sementara saya belum dapat informasi apakah ada jenis kelamin ketiga). Seks bukanlah sesuatu yang tabu karena itu merupakan bagian dari eksistensi kita sebagai manusia. Manusia tanpa seks adalah manusia robot. Seks bukan cuma soal penetrasi penis ke vagina. Tetapi seks adalah kepenuhan hidup manusia. Di dalam hubungan seks manusia tidak hanya menyatu secara fisik tetapi juga secara emosi, hasrat, bahkan spiritual. Seks adalah ekspresi totalitas kemanusiaan, dan karenanya jangan heran implikasi dari hubungan seks adalah terciptanya manusia baru yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah manusia, tetapi "ia" membawa serangkaian memori leluhurnya dalam dirinya. Jika seks ditabukan maka itu merupakan konstruksi sosial, bukan biologis, yang diciptakan oleh kelompok dominan atau yang merasa berkuasa dalam rangka menjaga kehormatannya dan mengamankan kepentingannya. Dalam bahasa kaum feminis, seks yang ditabukan sebenarnya merupakan ideologisasi supremasi laki-laki terhadap perempuan; mekanisme pelumpuhan perempuan oleh laki-laki.
ML2 (Munafik Loe!)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, "munafik" berarti berpura-pura percaya atau setia dsb kepada agama dsb, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua. Dengan pengertian itu maka orang yang munafik adalah orang-orang yang mengkhianati imannya sendiri. Misalnya: melakukan kekerasan terhadap orang lain padahal agamanya mengajarkan untuk mencintai seluruh makhluk Tuhan di bumi; melarang orang lain beribadah padahal Tuhan menciptakan manusia dengan kepelbagaian dan perbedaan sebagai hakikatnya (termasuk dalam beriman); sudah lihat rambu dilarang stop tapi masih juga ngetem sehingga menimbulkan kemacetan; sudah tahu Indonesia ini negara yang multibudaya, multietnis, dan multiiman, tetapi terus memaksakan ideologinya menjadi ideologi tunggal yang tidak pas dalam konteks kejamakan sosial Indonesia; mengakui supremasi hukum tetapi melanggar hukum tidak pernah dianggap basi; mengaku beragama tetapi terus mencuri milik orang lain, lalu hasilnya disumbangkan untuk rumah-rumah ibadah supaya Tuhan tutup mulut atas dosa-dosanya; katanya "bersama kita bisa" tapi nyatanya cuma para elit doang yang bisa hidup, sedangkan rakyat dibiarkan mati dan sekarat karena kebijakan yang berbisa (racun); masih banyak lagi ML jenis ini. Silakan tambah sendiri.
ML3 (Malas Layau)
Jenis ML yang ini paling banyak dilakukan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang katanya terhormat itu. Berulang kali ditayangkan oleh media tentang kemalasan mereka menghadiri sidang-sidang paripurna yang membahas nasib rakyat, tetapi yah tetap aja malas. Mau diapain lagi? Bawaan mereka memang sudah malas dari sononya. Tetapi
gak boleh lho nuduh sembarangan tanpa bukti. Mereka sih tidak malas sekali, karena terbukti rajin kalau mengisi nama di daftar absen dan - nah ini yang harus diacungi jempol - rajin sekali nagih uang rapat, uang duduk, uang sidang, uang fasilitas rumah, uang fasilitas mobil, dan uang-uang yang lain. Carut-marut kehidupan rakyat yang makin kesulitan untuk hidup buat mereka adalah pemandangan yang biasa. Daripada pusing-pusing dipikirkan mendingan malas
layau.
ML4 (Miskin Lagi)
Kenaikan harga BBM dijamin oleh pemerintah tidak akan mempersulit kehidupan rakyat. Bahkan pemerintah optimis dengan menaikkan harga BBM rakyat miskin akan semakin berkurang karena akan disubsidi dengan BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebesar Rp 100.000/orang untuk jangka waktu 3 bulan. Wah, pemerintah kita memang hebat ya. Begitu hebatnya sampai-sampai kemiskinan pun mampu dikalkulasi dalam wujud angka-angka dan statistik; lalu orang miskin hanya dilihat sebagai orang yang tidak punya uang sehingga dengan pendekatan sinterklas (bagi-bagi duit) orang miskin di Indonesia bisa dientaskan. Tetapi sayang seribu sayang, dari hari ke hari kita mendapati wilayah negara kita semakin disesaki oleh orang-orang miskin. Mereka bukan hanya tidak punya uang tetapi kehilangan kualitas hidup; bukan hanya tidak bisa makan tetapi tidak mampu lagi membayangkan apa yang bisa dimakan; bukan hanya putus sekolah tetapi frustrasi apa bisa sekolah dan untuk apa sekolah; bukan hanya menjadi pengangguran tetapi tidak mampu memperoleh pekerjaan seperti apa yang bisa dimasuki jika semuanya sudah dikuasai jaringan koneksi orang dalam; bukan hanya menjadi preman sebagai pilihan tetapi karena aparat negara pun sudah berlagak layaknya preman berseragam; bukan hanya kehilangan rumah tetapi juga hak-hak atas tempat tinggal di sejumput tanah Indonesia Raya ini; dan masih banyak ML-ML jenis ini. Tidak tahu harus menghadapi situasi ini dengan cara apa. Tetapi Prof. Muhammad Yunus, peraih Nobel Ekonomi, mengatakan bahwa "Saya ingin menjadi murid orang-orang miskin. Mereka adalah profesor saya".
Something was wrong. Why did my university courses not reflect the reality of Sufiya's life? I was angry, angry at myself, angry at my economic department and the thousands of intelligent professors who had not tried to address this problem and solve it [Muhammad Yunus,
Banker to the Poor, PublicAffairs 2003, hlm. 48]. Karena itu dia menanggalkan seluruh prestisenya sebagai profesor ekonomi dan berempati untuk belajar dari orang miskin di negaranya. Hanya dengan cara itulah, kemiskinan dapat dipahami akarnya.
ML5 (Mengasihi Liyan)
Nah, ML yang ini susah sekali diterapkan. Secara sosiologis, semua yang liyan (
others) selalu dianggap sebagai ancaman. Lalu muncul apa yang disebut
outgroup dan
ingroup. Tetapi dalam kenyataannya, kita tidak bisa menghindari perjumpaan dengan liyan. Kemajemukan sosial justru menyeret kita lebih dalam dan intensif dengan liyan. Oleh karena itulah sekarang ini
outgroup dan
ingroup dilihat tidak lagi sebagai penyekat hubungan antarmanusia. Dalam terjangan globalisasi, semua menjumpai semua; semua bersentuhan dengan semua; semua dipengaruhi oleh semua. Lalu kita kini mulai bicara soal multikulturalisme. Perjumpaan berbagai budaya yang diusung oleh kelompok-kelompok manusia yang berbeda, tetapi bersepakat untuk hidup di bumi yang satu dan berbagi kekayaan bersama-sama. Secara teologis, dalam perspektif kristiani, ML yang ini juga diperluas maknanya menjadi "mengasihi lawan" atau "mengasihi musuh". Ini merupakan paradoks yang meluluhlantakkan adagium
survival of the fittest, melainkan menampilkan suatu paradigma kehidupan alternatif dalam ketegangan-ketegangan dan konflik-konflik yang mengancam martabat manusia. Mampukah kita melakukannya di tengah dorongan zaman yang mendesak kita untuk lebih sengit berkompetisi, kalau perlu sampai lupa orang lain dan lupa diri?
Kelima ML di atas hanyalah cara alternatif memaknai akronim ML yang dihebohkan belakangan ini. Kita bisa menilai diri sendiri sebenarnya kita berada pada posisi ML yang mana. Kita bisa berada pada salah satunya. Bisa juga berada pada semuanya. Hidup memang suatu pilihan. Pilihan itu sendiri tetap mengandung risiko yang mesti kita terima dan jalani. Mau apa lagi? Risiko harus kita terima tetapi setidaknya kita tahu mengapa kita harus menerima yang ini dan tidak memilih yang itu. Mungkin kutipan di bawah ini bisa membawa kita makin berhikmat.
To laugh is to risk appearing the fool
To weep is to risk appearing sentimental
To reach out to others is to risk involvement
To expose feelings is to risk exposing your true self
To place your ideas, your dreams before a crowd is to risk their loss
To love is to risk not being loved in return
To live is to risk dying
To hope is to risk despair
To try is to risk failure
But risks must be taken because the greatest hazard in life is to do nothing
The person who risks nothing, does nothing, has nothing, and is nothing
He may avoid suffering and sorrow, but he cannot learn, feel, change, grow, love, live
Chained by his attitudes, he is a slave, he forfeited his freedom
Only the person who risks can be free.
- Author Unknown -
Selamat ber-ML! ML yang mana? Au ah...