Beberapa hari lalu kami mengantar anak kami, Kainalu, untuk mencari sekolahnya yang baru. Tersisa beberapa bulan ke depan, Kainalu menghabiskan kegiatan bermain dan belajarnya di jenjang taman kanak-kanak. Dari pihak TK sudah mengundang rapat orangtua murid untuk membicarakan tahap akhir kegiatan "mabel" (main-belajar) dan sudah menyepakati soal waktu dan tempat perpisahan. Mengingat waktu yang terus bergulir, kami mempertimbangkan untuk segera mencari sekolah dasar sebelum masa pendaftaran murid baru ditutup.
Ini soal yang gampang-gampang susah. Gampang, karena banyak sekolah yang bertebaran di sekitar kompleks rumah kami. Susah, karena dalam menentukan pilihan kami mempunyai standar tertentu sehingga dari yang banyak itu kami harus memilih mana yang - menurut kami orangtua - cocok untuk Kainalu. Maklumlah, mendengar dan menyimak berita-berita yang beredar tentang maraknya tindakan kekerasan terbuka/terselubung di sekolah-sekolah, baik oleh para guru maupun teman-teman sebaya, membuat kami benar-benar harus selektif. Selain itu, faktor yang tidak bisa diabaikan ialah pertimbangan mutu sekolah itu sendiri. Masalah dana tentu juga diperhitungkan, tetapi untuk sementara mesti diabaikan karena di mana lagi sih di Jakarta ini bisa dapat uang pendaftaran yang murah tetapi bermutu? Rasanya sudah dimaklumi oleh publik bahwa yang murah itu selalu identik dengan murahan, dan mahal itu sudah pasti bermutu. Meskipun saya sendiri menganggapnya nisbi. Sebab saya mengakui bahwa ukuran-ukuran sumir semacam itu tetap perlu diuji kesahihannya. Tetapi, lagi-lagi, kami toh harus tunduk pada hukum sosial bahwa citra yang berkembang atau dikembangkan oleh khalayak itulah yang cenderung menjadi ukuran.
Sekelumit pengalaman itu tiba-tiba menyentakkan kesadaran dalam diri saya, betapa sulitnya menjadi orangtua saya dulu ketika harus mencari sekolah yang baru. Untunglah, pada masa saya masih SD di Malang jarak rumah-sekolah tidak terlalu jauh sehingga dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki atau bersepeda. Lalu-lintas kota pun tak terlalu sibuk sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan orangtua kami. Yang cukup meringankan, saya kira, pertimbangan soal mutu "sekolah negeri" dan "sekolah swasta" tidak terlampau mencolok sehingga orangtua kami pun terlalu ekstrem dalam menentukan pilihan. Meski, saya tahu, faktor itu pun tak luput dari perhitungan mereka. Siapa sih orangtua yang mau melihat dididik dalam sebuah lembaga pendidikan yang tak jelas program dan output-nya? Sekarang, itulah yang kami rasakan.
Kalau dulu, saya melihat sekolah tak lebih dari suatu mekanisme alamiah yang mesti dilakukan dalam perkembangan hidup seseorang sejak dia masih anak hingga mencapai jenjang usia dewasa. Namun, seiring dengan berjalannya waktu serta tempaan pengalaman, saya makin menyadari bahwa sekolah bukanlah melulu "mekanisme", melainkan suatu tanda "organisme" yang berproses dalam pembentukan jatidiri dan karakter. Jika dulu sekolah hanya saya pahami sebagai pengasahan kemampuan berpikir kognitif; kini saya sadar bahwa saya keliru. Sekolah bukan tempat "berpikir" semata, melainkan suatu sistem pembentukan karakter yang utuh dari setiap anak.
Keprihatinan terhadap makin sulitnya mencari sekolah yang bermutu - dalam kategori character building - itulah yang membuat kami merasa harus semakin jeli dalam menentukan pilihan sekolah kepada anak kami. Mutu suatu sekolah tentu tidak hanya terukur pada ketersediaan fasilitas yang "wah", tetapi juga pada visi-misi sekolah tersebut. Selain itu, kapasitas gurunya pun mesti teruji, bukan dengan sederet gelar di depan dan/atau di belakang namanya, tetapi dari kemampuan menjadi teladan yang pada gilirannya turut menanamkan suatu citra model pemimpin yang ideal bagi anak didik.
Persoalan keteladanan ini tidak bisa dianggap basi karena bagi saya itulah esensi dari sekolah. Saya tidak bisa membayangkan diri saya seperti saat ini jika sejak jenjang SD hingga perguruan tinggi hanya dicekokin dengan seabrek ilmu, tanpa merujuk pada karakter kepemimpinan yang diperlihatkan oleh guru-guru saya. Hanya berlomba membentuk manusia-manusia pintar otaknya, tetapi rapuh kepribadiannya. Dengan segala plus-minusnya, saya tetap respek terhadap pola pembentukan disiplin diri melalui upacara bendera setiap hari Senin; pemeriksaan rambut dan kuku; sepatu sekolah yang harus sama warna dan merek - supaya yang kaya tidak perlu pamer dan yang miskin tidak harus minder; buku-buku harus disampul dengan kertas berwarna coklat; mengikuti kegiatan pramuka untuk mengasah solidaritas dan keterampilan survive di tengah kondisi yang tidak memungkinkan. Wah, masih banyak lagi.
Bernostalgia memang mengasyikkan. Tetapi kini tak cukup waktu untuk melakukannya. Zaman sudah berubah. Saya kini mempunyai anak yang harus melanjutkan sekolahnya di tengah krisis karakter yang melanda sekolah-sekolah kita. Tidak hendak menimpakan semua kesalahan di pundak para guru, karena mereka juga bergelut di tengah himpitan hidup yang makin susah. Ingin membela murid malah dituduh membocorkan soal. Ingin menanamkan disiplin dituding melakukan kekerasan. Ingin membantu mahasiswa dianggap mencari tambahan yang tidak pantas. Macam-macamlah. Padahal, berapa sih penghasilan seorang guru sekarang? Apalagi dengan kenaikan harga barang-barang yang jauh dari penghargaan kepada manusia.
Tak heranlah jika sekolah kita kini makin kedodoran dalam pembinaan dan penguatan karakter anak didik. Idealisme "pahlawan tanpa tanda jasa" sudah tidak laku lagi di tengah-tengah tuntutan hidup zaman sekarang. Mau apa dengan model "pahlawan" seperti itu? Kalau ternyata, yang dielu-elukan sebagai "pahlawan" sekarang adalah orang-orang yang menuntut jasa besar alias uang upeti? Lihat saja, mister-mister yang duduk nyaman di Senayan sana yang "atas nama rakyat" berkoar-koar mengaku pahlawan pembela rakyat. Apa mau mereka melakukan tugas-tugas mewakili rakyat tanpa "tanda jasa"?
Masih kental dalam ingatan ketika beberapa bulan lalu saya dan Nancy menjadi fasilitator dan narasumber pada kegiatan Retreat Guru-guru Kristen se-Kecamatan Jatinegara, betapa tangguhnya manusia-manusia yang mengabdikan dan mendedikasikan hidupnya menjadi guru. Kami menyebut mereka manusia tangguh - rasanya lebih pas ketimbang pahlawan tanpa tanda jasa - karena dalam segala keterbatasan mereka baik yang tidak disengaja maupun disengaja mereka toh tetap bersedia menjalani panggilan tugas ini. Belum lagi harus menangani persoalan-persoalan di dalam keluarga mereka sendiri.
Dalam hati kecil, kami tetap bermimpi bahwa dengan terus bersekolah Kainalu dapat menimba banyak pengalaman dan belajar terus membentuk jatidirinya sendiri. Kami pun sadar bahwa institusi sekolah formal hanyalah salah satu bagian kecil dari konsep "sekolah" yang lebih luas lagi. Lingkungan anak itu sendiri adalah sekolah yang hakiki - keluarga, pola didik orangtua, pengaruh media, pergaulan usia sebaya, dll. Hal-hal itu tidak boleh luput dari perhatian jika kita hendak memaknai sekolah sebagai ruang bagi pembentukan karakter anak.
Memang masih ada banyak celah dalam sistem pendidikan anak, khususnya di Indonesia, saat ini. Masih banyak sekolah yang hanya dilihat dan berfungsi sebagai "tempat cetak" orang-orang bergelar akademis, tetapi belum berkarakter akademis - yang lebih mengandalkan logika dalam penyelesaian masalah ketimbang like-dislike. Kita memang punya ukuran tentang sekolah yang bermutu, tetapi juga harus realistis bahwa perjalanan ke sana masih tertatih-tatih. Saya jadi teringat ucapan penulis lagu, Leonard Cohen, "There is a crack in everything; that's how the light gets in." Well, mungkin tak perlu menuding siapa salah siapa benar, tetapi mulai dengan menjadikan keluarga sendiri sebagai sekolah yang sejati.
Aku menulis maka aku belajar
Friday, May 9, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment