Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru Indonesia bersatu
Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya merdeka, merdeka
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Entah mengapa, dulu ketika masih bercelana pendek dan mengikuti upacara bendera setiap Senin, bulu badan saya selalu merinding saat menyanyikan bait demi bait lagu tersebut. Ada semacam spirit yang menggelora dan mengalir dalam syairnya. Indonesia Raya! Wow, bayangkan saya menjadi bagian dari satu negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Saya hidup bersama dengan segala model manusia - rambut keriting, kulit hitam, kulit kuning, mata sipit, mata bulat, hidung mancung, hidung pesek, dll. Saya adalah orang Indonesia!
Tetapi semakin saya beranjak dewasa saya makin menyadari bahwa sulit sekali mengatakan "saya adalah orang Indonesia". Pengalaman hidup yang secuil dengan pengetahuan yang seupil ini ternyata menggiring saya pada kesadaran yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Saya tidak pernah adalah orang Indonesia, tetapi saya selalu menjadi orang Indonesia. Kelihatannya sederhana, tetapi sebenarnya rumit. Karena menjadi orang Indonesia menarik saya pada suatu kesadaran historis dan filosofis: bahwa Indonesia bukanlah suatu identitas yang melekat ketat, melainkan identitas yang berproses - tak pernah baku-kaku.
Baru kemudian saya menyadari bahwa Indonesia Raya ini pun merupakan sebuah konstruksi ideologis peninggalan Hindia Belanda, yang berlanjut sebagai warisan yang memberi nilai tinggi pada apa yang disebut "nasionalisme". Di antara beberapa pendekatan terhadap nasionalisme, Steven Kemper dalam The Presence of the Past: Chronicles, Politics, and Cultures in Sinhala Life (Ithaca: Cornell Univ. Press, 1991) menyatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu desakan untuk memberi perhatian pada kebudayaan, politik dan kesadaran setiap masyarakat. Kemper mengatakan bahwa konsep nasionalisme - seperti yang digaungkan Benedict Anderson - terutama terlampau besar memberi perhatian kepadanya sebagai suatu fenomena politik. Itu penting tetapi tidak menjelaskan mengapa warga negara yang sedang dalam proses menjadi ini mengambil ide-ide ini secara serius atau bagaimana mereka berinteraksi dengan konsep-konsep tradisional mengenai kepemimpinan, perilaku moral, dan identitas. Lanjut Kemper, "I think that nationalism needs to be seen as a conversation that the present holds with the past... We also need to recognize us that the conversation includes several voices in the present arguing about exactly what kind of past actually existed."
Kemper menggunakan istilah conversation atau percakapan. Percakapan hanya dapat terjadi jika setiap pihak diberikan kesempatan untuk menyatakan apa maunya sekaligus mau mendengar apa maunya orang lain. Percakapan adalah proses mencari dan memahami siapa orang lain yang terlibat dalam komunikasi dua arah (dengar-wicara) itu. Di dalam percakapan diandaikan kedua pihak yang berkomunikasi saling respek, dan karenanya setiap pendapat atau keluhannya layak didengar dan ditanggapi; malah, dicari jalan keluarnya bersama-sama. Percakapan adalah proses belajar mengenal diri melalui refleksi orang lain dan vice versa.
Dengan demikian, jika nasionalisme dipahami sebagai percakapan - lintas waktu, lintas etnis, lintas bahasa, lintas generasi, lintas ideologi politik - maka nasionalisme adalah sebentuk negosiasi identitas. Saya menawarkan identitas saya, Anda menampilkan identitas Anda, dan begitu pula setiap orang menyatakan identitasnya. Tujuannya semata-mata agar setiap kita menyadari bahwa tidak ada identitas tunggal dalam percakapan kita bersama - dan tidak perlu menjadi tunggal. Yang diperlukan hanyalah kontestasi identitas tanpa perlu saling menegasi.
Saya makin pula menyadari bahwa menjadi Indonesia ternyata adalah via dolorosa yang mesti dilalui, dan tak bisa dihindari. Apalagi gaung nasionalisme - oh ya 20 Mei lalu katanya kita memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional - ternyata hanya seperti teriakan di padang gurun. Geli juga melihat iklan-iklan yang ditayangkan untuk memeriahkan 100 tahun KitNas, lalu perhelatan akbar di Gelora Bung Karno, dengan tarian-tarian massal dan komentar-komentar basi tentang Indonesia itu. Berapa biaya yang terkuras untuk acara boong-boongan seperti itu? Tak tahulah. Yang pasti lebih besar dari anggaran Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk orang miskin se-Jakarta Utara (soalnya saya tinggal di wilayah itu yang konon paling banyak MaMi-nya - maksudnya "masyarakat miskin"). Itu memang cuma acara boong-boongan karena usai acara yang katanya membangkitkan nasionalisme kita kembali, kita malah disuguhi realitas pahit bahwa para pemimpin negeri ini sama sekali telah kehilangan roh nasionalisme. Mulut mereka menyemburkan uap busuk nasionalisme untuk dihirup oleh rakyat yang sudah sempoyongan sekarat.
Nasionalisme kita - setelah 100 tahun KitNas - ternyata berhasil menciptakan gen sosial baru yang disebut "masyarakat miskin". Jika Alvin Toffler pernah mengidentifikasi gelombang perubahan dari "masyarakat agraris" ke "masyarakat industri" lalu peradaban Barat melanjutkannya dengan "masyarakat teknologi". Kita di Indonesia juga tidak mau kalah, dengan menciptakan gen "masyarakat miskin" (MaMi). Jika dulu era agraris ditinggalkan dan orang berbondong-bondong masuk ke dunia industri, kita kini bersemangat berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai masyarakat yang telah mengidap gen MaMi. Semua rame-rame bikin kartu miskin, termasuk yang sebenarnya tidak miskin.
Jauh sebelum gen MaMi makin nampak gejalanya dengan infus BLT, embrionya sudah hidup dan makin meluas menghancurkan puluhan desa, merendam habis ribuan hektar tanah pertanian, menendang keluar penduduk yang atap rumahnya pun tak nampak karena tercelup lumpur panas, yang hingga kini tak jelas penanganannya selain membuat tanggul yang semakin tinggi. Dan kini gen MaMi makin diformalkan sebagai identitas baru Indonesia Raya. Nasionalisme kita memang makin tenggelam dalam lumpur dan rawa. Pemimpin negara bicara sesuka hati, mengumbar janji, membela diri, menjilat ludah lagi, menelanjangi rakyat sendiri, dengan kemelaratan yang dipuja-puji.
Saya teringat ketika dulu masih bercelana pendek mengikuti upacara bendera setiap Senin sambil menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya". Ya, Indonesia memang terlalu raya, hingga kita tak kuasa menjaga pulau-pulau dan lautan yang dicuri para maling domestik dan luar negeri. Indonesia memang terlalu raya, hingga kita tak mampu hidup dalam satu kesepakatan untuk hidup bersama tanpa tersekat hukum positif dan hukum syariah. Indonesia memang terlalu raya, hingga kita baru kebakaran jenggot ketika khazanah kebudayaan lokal kita (lagu, tarian) diklaim sebagai milik bangsa lain - sementara kita masih sibuk bikin bajakan lagu-lagu dan film-film milik negara lain. Indonesia memang terlalu raya, hingga kita tak berdaya mengolah kekayaan alam kita sendiri dan malah menjualnya kepada pihak lain, lalu kita tinggal beli hasil jadinya dengan harga tinggi menyundul langit. Indonesia memang terlalu raya, hingga untuk beriman kepada Tuhan Yang Mahabesar itu kita harus menadah "restu" dari lembaga-lembaga agama yang berisi manusia-manusia tengik yang sok jadi tuhan-tuhan kecil penjaga moralitas.
Jika demikian, masihkah Indonesia ini Raya? Ataukah suatu ketika anak-cucu-cicit kita akan menyanyikan dengan bangga "Indonesia Rawa mati lu, mati lu, tanahku negeriku habis semua...". Walahualam.
No comments:
Post a Comment