Aku menulis maka aku belajar
Monday, May 12, 2008
Oprah Menyangkal Yesus - So What?
Teman saya, Benno Kakerissa, beberapa waktu lalu meneruskan e-mail yang berisi tulisan bertajuk "Oprah Menyangkal Yesus". Tulisan itu lebih-kurang berisi tentang pandangan sejumlah orang terhadap pendapat-pendapat Oprah di berbagai media, termasuk Oprah Show. Sebenarnya saya agak malas membaca dan menanggapinya, tetapi setelah melihat beberapa komentar yang masuk saya jadi terusik juga untuk ikut nimbrung. Bukan analisis panjang lebar sih, ini cuma semacam pandangan pribadi yang ringkas saja atas tulisan itu. Demikian:
Kadang-kadang saya jadi berpikir betapa egoisnya keberagamaan kita sampai-sampai Yesus pun kita klaim milik kita saja dan seluruh pemahaman tentang Yesus hanya boleh dilakukan oleh "kita". Interpretasi terhadap siapa Yesus itu sudah berkembang selama ribuan tahun dengan beraneka corak media - mulai dari yang tradisional sampai yang "net-net"-an.
Soal Oprah menyangkali Yesus - menurut saya - itu hanyalah bentuk ketidakpahaman kita terhadap perspektif kristologi Oprah. Perspektif kita sendiri tentang Yesus juga tak luput dari keterbatasan kita dalam menafsir siapa Yesus. Kalau kita mengklaim "Oprah menyangkal Yesus", Yesus-nya kita sendiri apakah memang sudah [paling] benar? Lalu, kalau kita bilang
"paling benar" dari mana sumber "kebenaran" itu sendiri? Dari Alkitab? La wong kita sendiri sudah mafhum bahwa alkitab adalah sebuah produk tafsir manusia yang berlangsung dalam sejarah peradaban manusia yang cukup panjang. Dari ajaran kekristenan? Kristen yang mana dulu, la wong sekarang ini gak kurang yang nyebut dirinya Kristen dengan versi yang berbeda-beda.
Jika Oprah menyatakan pendapatnya seperti itu - entah mau dikategorikan sebagai new age atau apa saja - mari kita melihatnya sebagai berubahnya mindset seseorang yang dipengaruhi oleh "pengalaman-pengalaman" hidupnya. Bukankah di dalam "pengalaman-pengalaman" hidup itu seseorang - baik Oprah maupun kita - sebenarnya sedang berada dalam pencarian "kehendak" Tuhan? Kita tidak sedang mencari Tuhan, karena untuk apa Tuhan dicari? Saya tidak melihat Tuhan sebagai "sosok" yang "duduk manis di singgasana surga yang nyaman, adem, hening". Saya - mengikuti John Robinson dalam Honest to God dan Paul Tillich dalam Courage To Be - lebih melihat Tuhan sebagai The Ground of our being. "Dia" tidak ada di luar pengalaman manusia. Dia hidup dan menjelajah di dalam pengalaman-pengalaman kemanusiaan. Dalam hal ini saya lebih cenderung kepada John Cobb, Jr. yang merumuskan teologi proses. Cobb sendiri sangat dipengaruhi oleh filsuf Alfred North Whitehead yang memperkenalkan filsafat proses - sementara Whitehead sendiri berakar dalam pandangan filsafat Yunani klasik eyang Herakleitos dengan gagasan panta-rei: semua mengalir.
Kalau kita membekukan Oprah dalam freezer teologis kita sendiri, saya melihat ini justru memperlihatkan keengganan kita untuk melihat bahwa Tuhan itu "menyejarah". Bagaimana mungkin kita percaya Tuhan menyejarah jika kita sendiri tidak melihat sejarah sebagai suatu konstruksi tafsir manusia dalam ruang dan waktu yang terus berubah?
Benar juga kata Choan Seng-Song, selagi teologi kita masih teologi linear atau teologi tegak-lurus, kita tetap seperti memakai kacamata kuda yang tahunya hanya melihat ke depan namun abai pada kesekitaran kita. Biarlah Oprah dengan kristologinya sendiri, sebagaimana kita juga memiliki kristologi kita sendiri. Yang jadi soal, apakah kristologi kita mampu menebar kebaikan dan manfaat bagi sebanyak mungkin orang? Ataukah kita cuma mengumbar shalom secara verbalistik tetapi lumpuh dalam praksis sosial?
Ada satu buku menarik berjudul Injil menurut Oprah (BPK Gunung Mulia, 2007). Di dalam buku itu terungkap banyak sekali pandangan-pandangan Oprah yang mestinya diterima sebagai "kabar sukacita" oleh semua orang, tak peduli apa latar belakangnya. Tetapi sayang, konotasi "Injil" dalam judul itu sudah terlanjur melekat pada kekristenan sehingga banyak pembaca yang mengharapkan bahwa Oprah akan berbicara atau berpikir seperti seorang penginjil. Tentu saja asumsi semacam ini keliru. Konotasi Injil pada judul buku itu, yang menguak dalam isinya, lebih tertuju pada pesan-pesan kemanusiaan versi Oprah, yang melaluinya dia menggali masalah-masalah yang dialami oleh manusia kontemporer dan mencari pemecahan atas masalah-masalah tersebut juga secara kontemporer. Gak harus dengan berkhotbah ala pendeta kristen. Bukan itu maksudnya. Soal kita memang lebih terletak pada dominasi kristiani atas pemaknaan injil itu. Kalau mau fair (meski gak mungkin 100% objektif), injil itu sendiri kan secara harfiah berarti "kabar baik" atau "kabar sukacita".
Ipso facto, tidak terbayang oleh Yesus untuk bikin agama baru yang namanya kristen. Yesus mungkin - pinjam istilah Derrida - hanya ingin melakukan dekonstruksi terhadap realitas keberagamaan yang sudah sangat pekat ideologis dan elitis di kalangan para penganut yudaisme awal. Dekonstruksi itu dilakukan agar agama kembali pada akar esensialnya sebagai "spirit pembebasan" yang membuka orientasi baru dalam "bertuhan" dan "bermanusia".
Dalam bingkai itu, istilah injil tidak bisa [lagi] dikapling hanya menjadi konsep eksklusif kekristenan. Melainkan injil seharusnya menjadi suatu adagium universal yang selalu melakukan kritik terhadap tendensi agama-agama untuk tertutup dan jumud.
Nah, kalau kekristenan yang - katanya - menjadi pengusung utama "injil" ternyata berkali-kali gagal memberitakan sukacita kepada dunia, tidaklah heran bahwa akan muncul gerakan-gerakan pseudo-religious yang akan mengambil-alih fungsi pembebasan tersebut atas nama kemanusiaan.
Saya teringat bagaimana cerita tentang kekalahan telak Israel ketika melawan Filistin (1 Samuel 4:1b-22). Kekalahan pertama korban di pihak Israel sebanyak 4000 orang. Kekalahan telak kedua di pihak Israel jatuh korban 30.000 orang. Ironisnya, kekalahan kedua justru karena Israel membawa Tabut Perjanjian dari Silo yang dipikul oleh dua anak Imam Eli, Hofni dan Pinehas. Ironis bukan? Bahwa ternyata kebanggaan Israel lebih bersifat simbolis dan mengurung Tuhan hanya pada sebuah tampilan semu "tabut perjanjian". Cerita ini bagi saya justru menjadi refleksi bahwa kekristenan sudah selayaknya belajar dan melakukan otokritik apakah kita memang sudah "berinjil", ataukah hanya menjadi pengusung simbol injil tapi impoten ketika berbicara tentang apa makna sukacita yang membebaskan itu sendiri?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bos LiaT foto terbaRU gw dong di Blog.....
ReplyDeleteComment Yupzz
Dalam kenyataan seperti itu, apa yang mesti kita lakukan? Toh semua orang berhak memberikan pemaknaan. Bukankah kebenaran itu juga intertekstual yang terjalin lewat pengalaman-pengalaman kemanusiaan dan bukan mimpi-mimpi.
ReplyDeleteDari ulasan bro, beta jadi sedikit kuatir akan keberagamaan kita. Jangan-jangan kita semua hanya sembunyi di balik itu dan menuding-nuding dengan telunjuk padahal tanpa sadar ada empat jari yang mengarah pada diri sendiri.
Heheheheeuuuu..... welehweleh ...
Hehehe...bung Jus ini selalu mengganggu dengan pertanyaan-pertanyaannya yang kritis. Beta kira yang harus dilakukan oleh bung Jus adalah menuliskan pemaknaan bung Jus atas model keberimanan yang sok tahu dan mau menang sendiri. Ok bro...beta tunggu di walang talamburang.
ReplyDelete