Aku menulis maka aku belajar

Monday, June 23, 2008

Sepakbola dan Rasisme


Selama beberapa minggu ini sebagian besar masyarakat terserang "demam" - bukan karena gigitan nyamuk, tetapi karena euforia perhelatan Euro2008. Demamnya cukup terasa meski Indonesia bukanlah salah satu negara Eropa, apalagi yang mengirimkan timnas ke Piala Eropa 2008. Tetapi toh demam itu menggoyang seluruh wilayah negeri ini. Lihat saja, tiga stasiun televisi yang memegang hak siaran Euro2008 telah menghinoptis massa penonton sedemikian rupa sehingga seolah-olah kita adalah bagian dari gegap-gempita dan yel-yel penonton di stadion-stadion Austria di mana berlangsung serangkaian pertandingan. Ulasan-ulasan strategi sejumlah timnas raksasa maupun underdog bermunculan di majalah dan koran; komentator-komentator kagetan pun tampil membicarakan sepakbola Eropa; malah, ada seorang ketua parpol yang menayangkan iklan diri dengan fitur sepakbola. Wah, kaya dong kalau setiap ada perhelatan internasional lalu bikin iklan seperti itu. Yah, hitung-hitung biar tidak bisa mencetak gol di lapangan bola, setidak-tidaknya bisa gol di lapangan senayan 2009.

Saya suka nonton sepakbola. Tetapi tidak terlalu memaksakan diri. Sebisanya saja. Kalau lagi banyak kerjaan di rumah sampai larut malam dan pas ada tayangan sepakbola, ya stop dulu untuk sekadar ngopi sambil nonton. Kalau lagi ingin tahu hasil dan klasemen sementara, beli koran pagi atau buka internet untuk baca berita online. Cukuplah. Tidak sampai terserang demamnya. Memang harus diakui dunia sepakbola adalah dunia yang mengasyikkan bahkan cenderung membuat kita kecanduan. Sepakbola bukanlah sekadar tontonan olahraga, melainkan sebuah kosmos tersendiri yang melibatkan strategi, kekuatan, pencitraan, pemujaan, iklan, dan gegap-gempita. Amerika Serikat boleh mentereng dengan NBA-nya, tetapi saya kira secara global gemerlap NBA makin surut karena hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas (dengan kualifikasi fisik dan skill yang terbatas). Dibandingkan dengan dunia sepakbola yang mendunia dengan seluruh gregetnya. Kalau bisa disurvei, mungkin kita lebih hafal nama-nama pemain sepakbola Eropa ketimbang nama-nama menteri RI; atau kita mungkin lebih tahu berapa biaya transfer satu pemain dari satu klub ke klub yang lain ketimbang berapa gaji para menteri atau pejabat negara ini yang tidak pernah jelas daftar kekayaannya.

Saya memang senang dengan permainan De Oranje Belanda, tetapi saya bukan fans Belanda. Tradisi total football Belanda memberi suatu karakter pada gaya permainan tim Belanda. Saya kagum dengan gempuran Der Panzer Jerman yang tangguh sampai peluit wasit berbunyi. Saya memuji timnas Turki yang dalam perjuangan politik diakui menjadi anggota Uni Eropa mampu menggedor tim-tim raksasa Eropa lainnya. Saya angkat topi untuk Guus Hiddink yang memoles Rusia hingga mampu menggilas Belanda 3-1 dengan 2 gol yang dicetak pada injury time. Padahal Belanda masuk ke perempat final sebagai juara grup yang tak terkalahkan. Mentalitas tempur "beruang kutub" yang luar biasa. Menikmati sepakbola tanpa ikatan emosional sebagai fans ternyata menyuguhkan kenikmatan tersendiri.

Namun apa yang selalu menjadi perhatian saya setiap kali menonton tayangan Euro2008 justru adalah sebuah papan iklan di pinggir lapangan. Papan iklan? Ya, papan iklan bertuliskan "NO TO RACISM". Ungkapan itu cukup menggelitik karena dipasang di pinggir lapangan sepakbola yang dapat dilihat oleh semua penonton maupun tertangkap semua kamera teve. Tentu ungkapan itu bukan sekadar iklan produk barang. Ungkapan itu merupakan suatu produk ideologis dan historis dalam pergulatan bangsa-bangsa di Eropa selama berabad-abad. Membaca sejenak sejarah Eropa, saya dicengangkan oleh begitu banyak warisan ideologis yang menghancurkan sebagian komunitas manusia. Ideologi ras memang pernah berjaya di daratan Eropa dengan dampak menghancurkan yang luar biasa.

Perasaan unggul atau superior sebagai peninggalan Enlightenment telah membawa ras Eropa (Barat) pada puncak arogansi kultural dengan implikasi lahirnya berbagai bentuk diskriminasi terhadap kelompok-kelompok marjinal yang "bukan putih" dan "bukan Eropa (Barat)". Dan, celakanya, agama pun (baca: gereja) terjerembab dalam lumpur diskriminasi ras yang mengerikan. Gereja menjadi sarana legitimasi teologis yang memberikan pembenaran terhadap superioritas sekelompok manusia berdasarkan rasnya. Sikap gereja tersebut telah menimbulkan kekecewaan mendalam bagi sebagian kalangan masyarakat Eropa, dan karena itu mereka menjadi apatis terhadap gereja. Bahkan rasionalisme telah membawa kebanyakan orang Eropa menjadi anti-agama atau anti-gereja. Gereja bagi mereka telah menjadi tempat berkubang orang-orang oportunis yang hanya sibuk dengan urusan-urusan keselamatan jiwa tetapi abai pada inti masalah-masalah sosial masyarakat industri Eropa saat itu. Begitu banyak nasib buruh diabaikan; tanah-tanah pertanian hanya dikuasai oleh para tuan tanah yang feodal; budak-budak diperlakukan lebih buruk dari binatang-binatang peliharaan majikan; para klergi kongkalikong dengan para tuan tanah atau baron supaya posisinya aman dengan negara, dsb. Rasisme tidak hanya nampak sebagai persoalan kultural tetapi juga menjadi sebuah persoalan teologis.

Franklien Foer dalam bukunya Memahami Globalisasi Melalui Sepakbola (Jakarta: Marjin Kiri, 2005) mengulas misalnya bagaimana investasi kebencian ditanamkan dalam slogan-slogan yang diserukan oleh para supporter klub sepakbola di Glasgow. Kebencian-kebencian yang pernah mencuat dalam sejarah ketegangan Katolik-Protestan ternyata mengendap bahkan dieksplorasi melalui yel-yel supporter Glasgow Celtic (Katolik) dan Glasgow Rangers (Protestan). Hal yang sama juga dialami oleh klub-klub sepakbola Eropa lainnya seperti Ajax di Belanda. Meskipun Belanda berusaha keras mempertahankan karakter multietnis dan multiras dalam masyarakatnya namun toh masih terbuka celah bagi diskriminasi ras dalam sepakbolanya. Tak beda jauh dengan di Inggris. Apalagi Kekristenan di Inggris kental dengan pemahaman "Christian Identity" yang percaya bahwa ras Anglo-Saxon merupakan keturunan salah satu suku Israel dan karenanya mengklaim diri sebagai "God's chosen people".

Dengan sejarah sosial yang panjang dan penuh perseteruan antar-ras masyarakat Eropa terbentuk menjadi kelompok sosial yang sangat sensitif terhadap isu-isu rasisme. Dalam kekalutan historis dan sosiologis semacam itu, agama (baca: gereja) ternyata juga impoten dan lumpuh total dalam menjadi garda spiritualitas bagi penghargaan atas kemanusiaan yang setara dan bermartabat. Institusi apalagi yang bisa diharapkan? Konteks Eropa kemudian memberi tempat bagi pergolakan kultural itu dengan menjadikan sepakbola sebagai "new spirituality of the age", spiritualitas baru masa ini. Sakramen pengorbanan dalam ritual Kristen ditransfer menjadi hingar-bingar holiganisme supporter. Para supporter ini rata-rata enggan tawuran di luar stadion, karena bagi mereka holiganisme harus terjadi di dalam stadion sebagai "gereja" mereka. Kesetaraan antarmanusia terjadi di antara para supporter yang melihat bahwa mereka menyatu dalam spirit baru, tenggelam dalam emosionalitas massa seolah-olah kemasukan roh, memuja atribut-atribut klub atau tim seperti simbol-simbol sakral, mengidolakan para pemain andal yang liukan-liukan di lapangan saat menggiring bola dilihat bak tarian-tarian dewa, identitas mereka melebur dalam histeria massa yang bebas merdeka dengan raungan-raungan himne. Bagi mereka yang tidak tertarik pada dunia sepakbola, anggapan bahwa sepakbola telah menjadi new religion mungkin berlebihan. Tetapi tidak bagi para maniak bola di Eropa.

Ketika agama (baca: gereja) ternyata menjadi pembela rasisme dan melegitimasi diskriminasi secara teologis, sepakbola justru menjadi ajang perjumpaan manusia antar-ras dan antaretnis. Tidak ada dominasi kulit putih di lapangan sepakbola. Wasit yang dengan sengaja melecehkan pemain kulit hitam bisa mendapat sanksi keras bahkan dipecat. Ketika Tuhan dalam gereja hanya menjadi objek pemujaan kelompok elite kulit putih, maka dewa-dewa yang menari di lapangan hijau dipuja-puja oleh semua orang dengan kulit yang berwarna-warni. Dan itu memang sudah seharusnya begitu! Ritual-ritual holiganisme, atribut-atribut tim, warna-warna favorit, dan pencitraan dewa-dewa sepakbola itu pun menjalani proses misionarisasi hingga meluas ke seluruh pelosok bumi. Amerika Serikat yang kerap kita lihat sebagai biang kerok globalisasi ternyata juga menjadi korban globalisasi sepakbola Eropa. Amerika Serikat yang selalu ingin tampil beda ternyata tidak mampu membendung pesona sepakbola. Lihat saja, mereka tidak menyebut football tetapi soccer, karena football hanyalah sebutan bagi rugby. Sepakbola yang di Eropa merupakan olahraga kaum buruh, ternyata di Amerika Serikat lebih digandrungi oleh anak-anak muda kalangan menengah atas. Orangtua mereka pun melihat soccer lebih aman bagi anak-anaknya ketimbang american football yang sarat dengan kekerasan fisik. Well, lengkaplah sudah proses globalisasi sepakbola.

Tentu saja semua yang kita bicarakan adalah tentang sepakbola Eropa. Bagaimana dengan nasib sepakbola kita? Tanpa bermaksud meremehkan produk dalam negeri, sepakbola kita sekarang sedang mengalami gombalisasi. Tidak ada keseriusan menangani sepakbola karena sepakbola dilepaskan dari rohnya sebagai arena mengasah sportivitas. Sepakbola justru hanya menjadi ajang pertarungan kekuasaan politik para pengurus PSSI. Apa lagi yang diharapkan jika organisasi sepakbola kita ternyata diatur dari balik jeruji besi, dan ironisnya, sang bos tidak mau melepaskan jabatannya. Mau harap sportivitas seperti apa di lapangan hijau kalau sudah begini. Jadi jangan heran kalau wajah sepakbola kita memang coreng-moreng dengan seribu satu masalah. Kita tak berkutik dibandingkan dengan timnas Vietnam yang usianya jauh lebih muda dari PSSI. Di tengah kebuntuan membangun nasionalisme, sepakbola Eropa mampu menjadi spirit nasionalisme yang menyatukan seluruh warganya. Sementara kita makin terseok-seok karena kesebelasan yang kurang gizi dan hampir setiap pertandingan diwarnai pemukulan terhadap wasit atau perkelahian antarpemain. Lalu, untuk mendongkrak prestasi ditransfer sejumlah pemain asing, sementara pengkaderan dan pembinaan bibit-bibit baru anak-anak bangsa makin kedodoran.

Tentu dalam hal ini kita tetap mesti jujur mengakui bahwa yang kita butuhkan dalam pembinaan sepakbola bukan hanya sekadar teknik, skill, atau sparing partner. Yang dibutuhkan terutama, menurut saya, adalah kemampuan menjadikan sepakbola sebagai alternatif kebuntuan energi publik yang makin jenuh dengan seluruh dagelan para pejabat negeri ini. Kejenuhan yang tidak terorganisasi itu akan meledak dalam tindakan-tindakan anarkis supporter sepakbola yang tidak melihat sepakbola sebagai spiritualitas baru untuk keluar dari kemacetan berpolitik dan berdialog secara terbuka dan sportif.

Saya jadi teringat perjalanan bersama keluarga Ulis Tahamata-Sapulete, adik Simon Tahamata pemain Ajax Amsterdam era 1970an, berkeliling sehari di stadion ArenA Amsterdam, yang juga disebut The World of Ajax. Suatu pengelolaan organisasi yang nyaris sempurna, yang memperhitungkan setiap detil sehingga sepakbola tidak lagi menjadi sekadar olahraga tetapi bisnis raksasa yang makin gemerlap. Lihat saja misalnya untuk menghindari bentrokan antarsupporter, stadion ArenA mempunyai fasilitas yang menghubungkan tempat duduk supporter tamu langsung dengan akses keluar ke stasiun kereta api. Masuk ke kabin para investor seperti berada dalam kamar hotel bintang lima. Di kabin inilah mereka membicarakan masa depan klub, advertising, transfer pemain dan pelatih, dsb. Di bawah lapangan rumput sudah diinstalasi sistem pengairan sehingga rumput lapangan tidak perlu disiram air dari atas. Wow, masih banyak lagi yang terlalu fantastis bagi saya yang kampungan ini. Tetapi toh saya tetap orang Indonesia yang bermimpi Indonesia suatu ketika akan berjaya di lapangan rumput internasional. Atau, cuma bangga dengan rumput sendiri. Walahualam...

2 comments:

  1. Bu..di Ambon doong mo gila sa waktu Oranye kalah..beta jaga bilang apa tempo katong pung PSA bisa bicara di tingkat nasional e, katong perlu Simon Tahamata latih doong kapa..btw, dangke buat alamat blognya Ioanes Rakhmat..beta paleng suka tulisannya..MENA!!!

    ReplyDelete
  2. Tata bu, beta su taru kira akang te. Hehehe...maar beta bilang par tamang satu yang fans belanda: Tamang ee, nonton bola tu nikmati akan pung keindahan cara ola bola. Maar suda jua mo bilang apa lai, kalo orang memang su fans berat. Asal jang bunu diri sa... Walanda mo kalah ato menang seng pengaruh par katong. Lebe lai, katong kurang dara matawana nonton bola. Yang penting voor beta katong bisa belajar ka seng dari event euro2008 itu voor masa depan sepakbola di katong pung gunung tana.
    Beta lai belajar banya dari Ioanes Rakhmat, meskipun laklaki ada susa karna gereja2 seng siap trima laklaki pung pikirang2 teologis yang progresif. Mena Muria!

    ReplyDelete

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces