Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, May 28, 2008

Sekerat Tangis di Tanah Berkarat


kemana langkah meniti duri
nyeri dan darah pun menodai
melambai lunglai mengharap daya menguak misteri
aku bergelayut ringkih menyapa sepi

tak jenuh menelan kabut
didera kelam yang selalu ribut
asa ternyata hanya sekerat tangis
sumpah di tanah berkarat yang tinggal dikais

angin menghempasku berkelana
kemana terbawa tak kutanya
cuma seonggok pilu tak bergema
menjeratku kelu bersandiwara


*Hormatku bagi mereka yang raib tanpa nisan, memilih ngilu dalam kelu - korban dan keluarga korban Peristiwa Mei 1998
Read more ...

Indonesia Raya atau Indonesia Rawa?



Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya merdeka, merdeka
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Entah mengapa, dulu ketika masih bercelana pendek dan mengikuti upacara bendera setiap Senin, bulu badan saya selalu merinding saat menyanyikan bait demi bait lagu tersebut. Ada semacam spirit yang menggelora dan mengalir dalam syairnya. Indonesia Raya! Wow, bayangkan saya menjadi bagian dari satu negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Saya hidup bersama dengan segala model manusia - rambut keriting, kulit hitam, kulit kuning, mata sipit, mata bulat, hidung mancung, hidung pesek, dll. Saya adalah orang Indonesia!

Tetapi semakin saya beranjak dewasa saya makin menyadari bahwa sulit sekali mengatakan "saya adalah orang Indonesia". Pengalaman hidup yang secuil dengan pengetahuan yang seupil ini ternyata menggiring saya pada kesadaran yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Saya tidak pernah adalah orang Indonesia, tetapi saya selalu menjadi orang Indonesia. Kelihatannya sederhana, tetapi sebenarnya rumit. Karena menjadi orang Indonesia menarik saya pada suatu kesadaran historis dan filosofis: bahwa Indonesia bukanlah suatu identitas yang melekat ketat, melainkan identitas yang berproses - tak pernah baku-kaku.

Baru kemudian saya menyadari bahwa Indonesia Raya ini pun merupakan sebuah konstruksi ideologis peninggalan Hindia Belanda, yang berlanjut sebagai warisan yang memberi nilai tinggi pada apa yang disebut "nasionalisme". Di antara beberapa pendekatan terhadap nasionalisme, Steven Kemper dalam The Presence of the Past: Chronicles, Politics, and Cultures in Sinhala Life (Ithaca: Cornell Univ. Press, 1991) menyatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu desakan untuk memberi perhatian pada kebudayaan, politik dan kesadaran setiap masyarakat. Kemper mengatakan bahwa konsep nasionalisme - seperti yang digaungkan Benedict Anderson - terutama terlampau besar memberi perhatian kepadanya sebagai suatu fenomena politik. Itu penting tetapi tidak menjelaskan mengapa warga negara yang sedang dalam proses menjadi ini mengambil ide-ide ini secara serius atau bagaimana mereka berinteraksi dengan konsep-konsep tradisional mengenai kepemimpinan, perilaku moral, dan identitas. Lanjut Kemper, "I think that nationalism needs to be seen as a conversation that the present holds with the past... We also need to recognize us that the conversation includes several voices in the present arguing about exactly what kind of past actually existed."

Kemper menggunakan istilah conversation atau percakapan. Percakapan hanya dapat terjadi jika setiap pihak diberikan kesempatan untuk menyatakan apa maunya sekaligus mau mendengar apa maunya orang lain. Percakapan adalah proses mencari dan memahami siapa orang lain yang terlibat dalam komunikasi dua arah (dengar-wicara) itu. Di dalam percakapan diandaikan kedua pihak yang berkomunikasi saling respek, dan karenanya setiap pendapat atau keluhannya layak didengar dan ditanggapi; malah, dicari jalan keluarnya bersama-sama. Percakapan adalah proses belajar mengenal diri melalui refleksi orang lain dan vice versa.

Dengan demikian, jika nasionalisme dipahami sebagai percakapan - lintas waktu, lintas etnis, lintas bahasa, lintas generasi, lintas ideologi politik - maka nasionalisme adalah sebentuk negosiasi identitas. Saya menawarkan identitas saya, Anda menampilkan identitas Anda, dan begitu pula setiap orang menyatakan identitasnya. Tujuannya semata-mata agar setiap kita menyadari bahwa tidak ada identitas tunggal dalam percakapan kita bersama - dan tidak perlu menjadi tunggal. Yang diperlukan hanyalah kontestasi identitas tanpa perlu saling menegasi.

Saya makin pula menyadari bahwa menjadi Indonesia ternyata adalah via dolorosa yang mesti dilalui, dan tak bisa dihindari. Apalagi gaung nasionalisme - oh ya 20 Mei lalu katanya kita memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional - ternyata hanya seperti teriakan di padang gurun. Geli juga melihat iklan-iklan yang ditayangkan untuk memeriahkan 100 tahun KitNas, lalu perhelatan akbar di Gelora Bung Karno, dengan tarian-tarian massal dan komentar-komentar basi tentang Indonesia itu. Berapa biaya yang terkuras untuk acara boong-boongan seperti itu? Tak tahulah. Yang pasti lebih besar dari anggaran Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk orang miskin se-Jakarta Utara (soalnya saya tinggal di wilayah itu yang konon paling banyak MaMi-nya - maksudnya "masyarakat miskin"). Itu memang cuma acara boong-boongan karena usai acara yang katanya membangkitkan nasionalisme kita kembali, kita malah disuguhi realitas pahit bahwa para pemimpin negeri ini sama sekali telah kehilangan roh nasionalisme. Mulut mereka menyemburkan uap busuk nasionalisme untuk dihirup oleh rakyat yang sudah sempoyongan sekarat.

Nasionalisme kita - setelah 100 tahun KitNas - ternyata berhasil menciptakan gen sosial baru yang disebut "masyarakat miskin". Jika Alvin Toffler pernah mengidentifikasi gelombang perubahan dari "masyarakat agraris" ke "masyarakat industri" lalu peradaban Barat melanjutkannya dengan "masyarakat teknologi". Kita di Indonesia juga tidak mau kalah, dengan menciptakan gen "masyarakat miskin" (MaMi). Jika dulu era agraris ditinggalkan dan orang berbondong-bondong masuk ke dunia industri, kita kini bersemangat berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai masyarakat yang telah mengidap gen MaMi. Semua rame-rame bikin kartu miskin, termasuk yang sebenarnya tidak miskin.

Jauh sebelum gen MaMi makin nampak gejalanya dengan infus BLT, embrionya sudah hidup dan makin meluas menghancurkan puluhan desa, merendam habis ribuan hektar tanah pertanian, menendang keluar penduduk yang atap rumahnya pun tak nampak karena tercelup lumpur panas, yang hingga kini tak jelas penanganannya selain membuat tanggul yang semakin tinggi. Dan kini gen MaMi makin diformalkan sebagai identitas baru Indonesia Raya. Nasionalisme kita memang makin tenggelam dalam lumpur dan rawa. Pemimpin negara bicara sesuka hati, mengumbar janji, membela diri, menjilat ludah lagi, menelanjangi rakyat sendiri, dengan kemelaratan yang dipuja-puji.

Saya teringat ketika dulu masih bercelana pendek mengikuti upacara bendera setiap Senin sambil menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya". Ya, Indonesia memang terlalu raya, hingga kita tak kuasa menjaga pulau-pulau dan lautan yang dicuri para maling domestik dan luar negeri. Indonesia memang terlalu raya, hingga kita tak mampu hidup dalam satu kesepakatan untuk hidup bersama tanpa tersekat hukum positif dan hukum syariah. Indonesia memang terlalu raya, hingga kita baru kebakaran jenggot ketika khazanah kebudayaan lokal kita (lagu, tarian) diklaim sebagai milik bangsa lain - sementara kita masih sibuk bikin bajakan lagu-lagu dan film-film milik negara lain. Indonesia memang terlalu raya, hingga kita tak berdaya mengolah kekayaan alam kita sendiri dan malah menjualnya kepada pihak lain, lalu kita tinggal beli hasil jadinya dengan harga tinggi menyundul langit. Indonesia memang terlalu raya, hingga untuk beriman kepada Tuhan Yang Mahabesar itu kita harus menadah "restu" dari lembaga-lembaga agama yang berisi manusia-manusia tengik yang sok jadi tuhan-tuhan kecil penjaga moralitas.

Jika demikian, masihkah Indonesia ini Raya? Ataukah suatu ketika anak-cucu-cicit kita akan menyanyikan dengan bangga "Indonesia Rawa mati lu, mati lu, tanahku negeriku habis semua...". Walahualam.




Read more ...

Thursday, May 15, 2008

ML



Sudah lazim dikenal publik bahwa ML adalah akronim dari Making Love, yang kemudian diindonesiakan dengan "bercinta" - meskipun artinya lebih menjurus pada melakukan hubungan seks (intercourse). Nah, baru-baru ini ada film baru yang memakai judul ML sebagai akronim "Mau Lagi". Judul - baru judulnya doang - film ini sudah membuat heboh. Sebagian orang atau kelompok melihat judul film ini - baru judulnya doang - mengandung makna pornografi dan pornoaksi. Entahlah, apakah orang-orang atau kelompok-kelompok ini sudah menonton filmnya atau belum, atau ngakunya belum tapi sudah nonton sembunyi-sembunyi. Siapa tahu?

Tidak jelas apa yang mereka maksud dengan konotasi pornografi dan pornoaksi karena saya sendiri belum nonton filmnya. Tetapi mereka sendiri tidak menjelaskan maksud mereka dengan dua konsep tersebut. Jadi, untuk sementara karena saya belum memahami maksud orang-orang ini maka saya menganggapnya asal njeplak (aspak) alias asal mangap (asma) alias asal bunyi (asbun). Kalau mau protes harus jelas dong argumentasinya, logikanya, korelasi logisnya dengan variabel-variabel yang diajukan. Kalau cuma menyoroti judulnya itu mah namanya sentimen doang, bukan argumen. Menurut produsernya, film ini memang lebih menguak persoalan-persoalan free-sex yang sudah makin biasa dan terbuka di kalangan masyarakat kita (Indonesia). Dulunya mungkin kita tidak terbiasa bicara blak-blakan soal free-sex, maka soal itu cuma terselip diam-diam dan menjadi kebiasaan bisu masyarakat kita. Dilakukan oleh banyak orang tetapi disimpan agar hanya diketahui sedikit orang. Sekarang yang dilakukan adalah sebaliknya, dilakukan oleh banyak orang dan diketahui oleh semua orang. Itu menurut produsernya yang sempat saya rekam sepintas. Ia juga mengakui bahwa film ini lebih merupakan media melakukan sex-education kepada para remaja.

Saya sih - yang bukan artis dan produser film - melihat fenomena ini biasa-biasa saja. Yang luar biasa adalah respons orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu yang rupanya terusik dengan pemakaian judul film itu - lagi-lagi judulnya doang. Sejauh amatan saya, mereka sama sekali tidak mengutak-atik alur film itu: pesan apa yang ingin disampaikan oleh suatu media. Jika seluruh ekspresi estetis hanya dipahami dalam cakrawala pemikiran yang sempit, dalam hal ini hanya terpesona atau terusik oleh yang kelihatan sambil melupakan pemaknaannya, saya jadi cemas juga sebab jangan-jangan masyarakat kita sudah mati rasa dalam menikmati ekspresi seni nan estetis. Kita ribut dengan apa yang kelihatan tetapi abai pada pesan yang terkandung di dalamnya. Benarkah seperti itu? Rasanya tidak juga. Karena ternyata dalam banyak hal masyarakat kita malah cenderung mendiamkan apa yang kelihatan dan ribut dengan yang tidak kelihatan. Mau contohnya? Lihat saja, kita cenderung mendiamkan ketidakdisiplinan berlalu-lintas yang nyata-nyata terjadi setiap hari di depan batang hidung kita dan juga aparat pemerintah yang berwenang, lalu terbiasa dengannya. Sebaliknya, kita ribut dengan soal perbedaan aliran keyakinan (iman) dalam kehidupan beragama (yang menyangkut sesuatu yang tidak kelihatan), seolah-olah kita kenal banget dengan yang namanya Tuhan itu, terus menganggapnya milik kelompok kita sendiri, dan orang lain tidak bisa mengenal Tuhan itu atau Tuhan cuma bisa dikenal lewat satu jalur iman. Ini namanya beriman monorel atau monoiman. Tapi toh itulah yang kita ributkan.

Kalau yang dipersoalkan hanya judul ML yang katanya berkonotasi pornografi, saya rasa itu kesimpulan sumir yang mengada-ada. ML itu kan bisa dipanjangkan dengan berbagai arti, bukan cuma Making Love. Saya malah khawatir orang-orang yang hanya dari judul ML itu sudah terburu-buru mengartikannya ngeres, jangan-jangan merekalah yang paling rajin ber-ML dalam arti yang mereka pahami itu. Siapa tahu? Saya sih melihat ML itu sesuatu yang kerap terjadi dan kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari - tentu termasuk ML yang Making Love itu (off the record, ini hanya untuk kalangan yang sudah berpasutri). Masih banyak ML-ML yang lain yang sebenarnya harus diprotes lebih keras oleh publik. Mau tahu? Di bawah ini ada beberapa ML yang penting untuk kita perhatikan.

ML1 (Making Love)
Making Love atau bercinta atau berhubungan seks adalah kebutuhan setiap manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan (untuk sementara saya belum dapat informasi apakah ada jenis kelamin ketiga). Seks bukanlah sesuatu yang tabu karena itu merupakan bagian dari eksistensi kita sebagai manusia. Manusia tanpa seks adalah manusia robot. Seks bukan cuma soal penetrasi penis ke vagina. Tetapi seks adalah kepenuhan hidup manusia. Di dalam hubungan seks manusia tidak hanya menyatu secara fisik tetapi juga secara emosi, hasrat, bahkan spiritual. Seks adalah ekspresi totalitas kemanusiaan, dan karenanya jangan heran implikasi dari hubungan seks adalah terciptanya manusia baru yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah manusia, tetapi "ia" membawa serangkaian memori leluhurnya dalam dirinya. Jika seks ditabukan maka itu merupakan konstruksi sosial, bukan biologis, yang diciptakan oleh kelompok dominan atau yang merasa berkuasa dalam rangka menjaga kehormatannya dan mengamankan kepentingannya. Dalam bahasa kaum feminis, seks yang ditabukan sebenarnya merupakan ideologisasi supremasi laki-laki terhadap perempuan; mekanisme pelumpuhan perempuan oleh laki-laki.

ML2 (Munafik Loe!)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, "munafik" berarti berpura-pura percaya atau setia dsb kepada agama dsb, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua. Dengan pengertian itu maka orang yang munafik adalah orang-orang yang mengkhianati imannya sendiri. Misalnya: melakukan kekerasan terhadap orang lain padahal agamanya mengajarkan untuk mencintai seluruh makhluk Tuhan di bumi; melarang orang lain beribadah padahal Tuhan menciptakan manusia dengan kepelbagaian dan perbedaan sebagai hakikatnya (termasuk dalam beriman); sudah lihat rambu dilarang stop tapi masih juga ngetem sehingga menimbulkan kemacetan; sudah tahu Indonesia ini negara yang multibudaya, multietnis, dan multiiman, tetapi terus memaksakan ideologinya menjadi ideologi tunggal yang tidak pas dalam konteks kejamakan sosial Indonesia; mengakui supremasi hukum tetapi melanggar hukum tidak pernah dianggap basi; mengaku beragama tetapi terus mencuri milik orang lain, lalu hasilnya disumbangkan untuk rumah-rumah ibadah supaya Tuhan tutup mulut atas dosa-dosanya; katanya "bersama kita bisa" tapi nyatanya cuma para elit doang yang bisa hidup, sedangkan rakyat dibiarkan mati dan sekarat karena kebijakan yang berbisa (racun); masih banyak lagi ML jenis ini. Silakan tambah sendiri.

ML3 (Malas Layau)
Jenis ML yang ini paling banyak dilakukan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang katanya terhormat itu. Berulang kali ditayangkan oleh media tentang kemalasan mereka menghadiri sidang-sidang paripurna yang membahas nasib rakyat, tetapi yah tetap aja malas. Mau diapain lagi? Bawaan mereka memang sudah malas dari sononya. Tetapi gak boleh lho nuduh sembarangan tanpa bukti. Mereka sih tidak malas sekali, karena terbukti rajin kalau mengisi nama di daftar absen dan - nah ini yang harus diacungi jempol - rajin sekali nagih uang rapat, uang duduk, uang sidang, uang fasilitas rumah, uang fasilitas mobil, dan uang-uang yang lain. Carut-marut kehidupan rakyat yang makin kesulitan untuk hidup buat mereka adalah pemandangan yang biasa. Daripada pusing-pusing dipikirkan mendingan malas layau.

ML4 (Miskin Lagi)
Kenaikan harga BBM dijamin oleh pemerintah tidak akan mempersulit kehidupan rakyat. Bahkan pemerintah optimis dengan menaikkan harga BBM rakyat miskin akan semakin berkurang karena akan disubsidi dengan BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebesar Rp 100.000/orang untuk jangka waktu 3 bulan. Wah, pemerintah kita memang hebat ya. Begitu hebatnya sampai-sampai kemiskinan pun mampu dikalkulasi dalam wujud angka-angka dan statistik; lalu orang miskin hanya dilihat sebagai orang yang tidak punya uang sehingga dengan pendekatan sinterklas (bagi-bagi duit) orang miskin di Indonesia bisa dientaskan. Tetapi sayang seribu sayang, dari hari ke hari kita mendapati wilayah negara kita semakin disesaki oleh orang-orang miskin. Mereka bukan hanya tidak punya uang tetapi kehilangan kualitas hidup; bukan hanya tidak bisa makan tetapi tidak mampu lagi membayangkan apa yang bisa dimakan; bukan hanya putus sekolah tetapi frustrasi apa bisa sekolah dan untuk apa sekolah; bukan hanya menjadi pengangguran tetapi tidak mampu memperoleh pekerjaan seperti apa yang bisa dimasuki jika semuanya sudah dikuasai jaringan koneksi orang dalam; bukan hanya menjadi preman sebagai pilihan tetapi karena aparat negara pun sudah berlagak layaknya preman berseragam; bukan hanya kehilangan rumah tetapi juga hak-hak atas tempat tinggal di sejumput tanah Indonesia Raya ini; dan masih banyak ML-ML jenis ini. Tidak tahu harus menghadapi situasi ini dengan cara apa. Tetapi Prof. Muhammad Yunus, peraih Nobel Ekonomi, mengatakan bahwa "Saya ingin menjadi murid orang-orang miskin. Mereka adalah profesor saya". Something was wrong. Why did my university courses not reflect the reality of Sufiya's life? I was angry, angry at myself, angry at my economic department and the thousands of intelligent professors who had not tried to address this problem and solve it [Muhammad Yunus, Banker to the Poor, PublicAffairs 2003, hlm. 48]. Karena itu dia menanggalkan seluruh prestisenya sebagai profesor ekonomi dan berempati untuk belajar dari orang miskin di negaranya. Hanya dengan cara itulah, kemiskinan dapat dipahami akarnya.

ML5 (Mengasihi Liyan)
Nah, ML yang ini susah sekali diterapkan. Secara sosiologis, semua yang liyan (others) selalu dianggap sebagai ancaman. Lalu muncul apa yang disebut outgroup dan ingroup. Tetapi dalam kenyataannya, kita tidak bisa menghindari perjumpaan dengan liyan. Kemajemukan sosial justru menyeret kita lebih dalam dan intensif dengan liyan. Oleh karena itulah sekarang ini outgroup dan ingroup dilihat tidak lagi sebagai penyekat hubungan antarmanusia. Dalam terjangan globalisasi, semua menjumpai semua; semua bersentuhan dengan semua; semua dipengaruhi oleh semua. Lalu kita kini mulai bicara soal multikulturalisme. Perjumpaan berbagai budaya yang diusung oleh kelompok-kelompok manusia yang berbeda, tetapi bersepakat untuk hidup di bumi yang satu dan berbagi kekayaan bersama-sama. Secara teologis, dalam perspektif kristiani, ML yang ini juga diperluas maknanya menjadi "mengasihi lawan" atau "mengasihi musuh". Ini merupakan paradoks yang meluluhlantakkan adagium survival of the fittest, melainkan menampilkan suatu paradigma kehidupan alternatif dalam ketegangan-ketegangan dan konflik-konflik yang mengancam martabat manusia. Mampukah kita melakukannya di tengah dorongan zaman yang mendesak kita untuk lebih sengit berkompetisi, kalau perlu sampai lupa orang lain dan lupa diri?

Kelima ML di atas hanyalah cara alternatif memaknai akronim ML yang dihebohkan belakangan ini. Kita bisa menilai diri sendiri sebenarnya kita berada pada posisi ML yang mana. Kita bisa berada pada salah satunya. Bisa juga berada pada semuanya. Hidup memang suatu pilihan. Pilihan itu sendiri tetap mengandung risiko yang mesti kita terima dan jalani. Mau apa lagi? Risiko harus kita terima tetapi setidaknya kita tahu mengapa kita harus menerima yang ini dan tidak memilih yang itu. Mungkin kutipan di bawah ini bisa membawa kita makin berhikmat.

To laugh is to risk appearing the fool
To weep is to risk appearing sentimental
To reach out to others is to risk involvement
To expose feelings is to risk exposing your true self
To place your ideas, your dreams before a crowd is to risk their loss
To love is to risk not being loved in return
To live is to risk dying
To hope is to risk despair
To try is to risk failure
But risks must be taken because the greatest hazard in life is to do nothing
The person who risks nothing, does nothing, has nothing, and is nothing
He may avoid suffering and sorrow, but he cannot learn, feel, change, grow, love, live
Chained by his attitudes, he is a slave, he forfeited his freedom
Only the person who risks can be free.
- Author Unknown -

Selamat ber-ML! ML yang mana? Au ah...
Read more ...

Monday, May 12, 2008

Oprah Menyangkal Yesus - So What?


Teman saya, Benno Kakerissa, beberapa waktu lalu meneruskan e-mail yang berisi tulisan bertajuk "Oprah Menyangkal Yesus". Tulisan itu lebih-kurang berisi tentang pandangan sejumlah orang terhadap pendapat-pendapat Oprah di berbagai media, termasuk Oprah Show. Sebenarnya saya agak malas membaca dan menanggapinya, tetapi setelah melihat beberapa komentar yang masuk saya jadi terusik juga untuk ikut nimbrung. Bukan analisis panjang lebar sih, ini cuma semacam pandangan pribadi yang ringkas saja atas tulisan itu. Demikian:

Kadang-kadang saya jadi berpikir betapa egoisnya keberagamaan kita sampai-sampai Yesus pun kita klaim milik kita saja dan seluruh pemahaman tentang Yesus hanya boleh dilakukan oleh "kita". Interpretasi terhadap siapa Yesus itu sudah berkembang selama ribuan tahun dengan beraneka corak media - mulai dari yang tradisional sampai yang "net-net"-an.

Soal Oprah menyangkali Yesus - menurut saya - itu hanyalah bentuk ketidakpahaman kita terhadap perspektif kristologi Oprah. Perspektif kita sendiri tentang Yesus juga tak luput dari keterbatasan kita dalam menafsir siapa Yesus. Kalau kita mengklaim "Oprah menyangkal Yesus", Yesus-nya kita sendiri apakah memang sudah [paling] benar? Lalu, kalau kita bilang
"paling benar" dari mana sumber "kebenaran" itu sendiri? Dari Alkitab? La wong kita sendiri sudah mafhum bahwa alkitab adalah sebuah produk tafsir manusia yang berlangsung dalam sejarah peradaban manusia yang cukup panjang. Dari ajaran kekristenan? Kristen yang mana dulu, la wong sekarang ini gak kurang yang nyebut dirinya Kristen dengan versi yang berbeda-beda.

Jika Oprah menyatakan pendapatnya seperti itu - entah mau dikategorikan sebagai new age atau apa saja - mari kita melihatnya sebagai berubahnya mindset seseorang yang dipengaruhi oleh "pengalaman-pengalaman" hidupnya. Bukankah di dalam "pengalaman-pengalaman" hidup itu seseorang - baik Oprah maupun kita - sebenarnya sedang berada dalam pencarian "kehendak" Tuhan? Kita tidak sedang mencari Tuhan, karena untuk apa Tuhan dicari? Saya tidak melihat Tuhan sebagai "sosok" yang "duduk manis di singgasana surga yang nyaman, adem, hening". Saya - mengikuti John Robinson dalam Honest to God dan Paul Tillich dalam Courage To Be - lebih melihat Tuhan sebagai The Ground of our being. "Dia" tidak ada di luar pengalaman manusia. Dia hidup dan menjelajah di dalam pengalaman-pengalaman kemanusiaan. Dalam hal ini saya lebih cenderung kepada John Cobb, Jr. yang merumuskan teologi proses. Cobb sendiri sangat dipengaruhi oleh filsuf Alfred North Whitehead yang memperkenalkan filsafat proses - sementara Whitehead sendiri berakar dalam pandangan filsafat Yunani klasik eyang Herakleitos dengan gagasan panta-rei: semua mengalir.

Kalau kita membekukan Oprah dalam freezer teologis kita sendiri, saya melihat ini justru memperlihatkan keengganan kita untuk melihat bahwa Tuhan itu "menyejarah". Bagaimana mungkin kita percaya Tuhan menyejarah jika kita sendiri tidak melihat sejarah sebagai suatu konstruksi tafsir manusia dalam ruang dan waktu yang terus berubah?

Benar juga kata Choan Seng-Song, selagi teologi kita masih teologi linear atau teologi tegak-lurus, kita tetap seperti memakai kacamata kuda yang tahunya hanya melihat ke depan namun abai pada kesekitaran kita. Biarlah Oprah dengan kristologinya sendiri, sebagaimana kita juga memiliki kristologi kita sendiri. Yang jadi soal, apakah kristologi kita mampu menebar kebaikan dan manfaat bagi sebanyak mungkin orang? Ataukah kita cuma mengumbar shalom secara verbalistik tetapi lumpuh dalam praksis sosial?

Ada satu buku menarik berjudul Injil menurut Oprah (BPK Gunung Mulia, 2007). Di dalam buku itu terungkap banyak sekali pandangan-pandangan Oprah yang mestinya diterima sebagai "kabar sukacita" oleh semua orang, tak peduli apa latar belakangnya. Tetapi sayang, konotasi "Injil" dalam judul itu sudah terlanjur melekat pada kekristenan sehingga banyak pembaca yang mengharapkan bahwa Oprah akan berbicara atau berpikir seperti seorang penginjil. Tentu saja asumsi semacam ini keliru. Konotasi Injil pada judul buku itu, yang menguak dalam isinya, lebih tertuju pada pesan-pesan kemanusiaan versi Oprah, yang melaluinya dia menggali masalah-masalah yang dialami oleh manusia kontemporer dan mencari pemecahan atas masalah-masalah tersebut juga secara kontemporer. Gak harus dengan berkhotbah ala pendeta kristen. Bukan itu maksudnya. Soal kita memang lebih terletak pada dominasi kristiani atas pemaknaan injil itu. Kalau mau fair (meski gak mungkin 100% objektif), injil itu sendiri kan secara harfiah berarti "kabar baik" atau "kabar sukacita".

Ipso facto, tidak terbayang oleh Yesus untuk bikin agama baru yang namanya kristen. Yesus mungkin - pinjam istilah Derrida - hanya ingin melakukan dekonstruksi terhadap realitas keberagamaan yang sudah sangat pekat ideologis dan elitis di kalangan para penganut yudaisme awal. Dekonstruksi itu dilakukan agar agama kembali pada akar esensialnya sebagai "spirit pembebasan" yang membuka orientasi baru dalam "bertuhan" dan "bermanusia".

Dalam bingkai itu, istilah injil tidak bisa [lagi] dikapling hanya menjadi konsep eksklusif kekristenan. Melainkan injil seharusnya menjadi suatu adagium universal yang selalu melakukan kritik terhadap tendensi agama-agama untuk tertutup dan jumud.

Nah, kalau kekristenan yang - katanya - menjadi pengusung utama "injil" ternyata berkali-kali gagal memberitakan sukacita kepada dunia, tidaklah heran bahwa akan muncul gerakan-gerakan pseudo-religious yang akan mengambil-alih fungsi pembebasan tersebut atas nama kemanusiaan.

Saya teringat bagaimana cerita tentang kekalahan telak Israel ketika melawan Filistin (1 Samuel 4:1b-22). Kekalahan pertama korban di pihak Israel sebanyak 4000 orang. Kekalahan telak kedua di pihak Israel jatuh korban 30.000 orang. Ironisnya, kekalahan kedua justru karena Israel membawa Tabut Perjanjian dari Silo yang dipikul oleh dua anak Imam Eli, Hofni dan Pinehas. Ironis bukan? Bahwa ternyata kebanggaan Israel lebih bersifat simbolis dan mengurung Tuhan hanya pada sebuah tampilan semu "tabut perjanjian". Cerita ini bagi saya justru menjadi refleksi bahwa kekristenan sudah selayaknya belajar dan melakukan otokritik apakah kita memang sudah "berinjil", ataukah hanya menjadi pengusung simbol injil tapi impoten ketika berbicara tentang apa makna sukacita yang membebaskan itu sendiri?
Read more ...

Friday, May 9, 2008

Ke Sekolah - Kemana?

Beberapa hari lalu kami mengantar anak kami, Kainalu, untuk mencari sekolahnya yang baru. Tersisa beberapa bulan ke depan, Kainalu menghabiskan kegiatan bermain dan belajarnya di jenjang taman kanak-kanak. Dari pihak TK sudah mengundang rapat orangtua murid untuk membicarakan tahap akhir kegiatan "mabel" (main-belajar) dan sudah menyepakati soal waktu dan tempat perpisahan. Mengingat waktu yang terus bergulir, kami mempertimbangkan untuk segera mencari sekolah dasar sebelum masa pendaftaran murid baru ditutup.

Ini soal yang gampang-gampang susah. Gampang, karena banyak sekolah yang bertebaran di sekitar kompleks rumah kami. Susah, karena dalam menentukan pilihan kami mempunyai standar tertentu sehingga dari yang banyak itu kami harus memilih mana yang - menurut kami orangtua - cocok untuk Kainalu. Maklumlah, mendengar dan menyimak berita-berita yang beredar tentang maraknya tindakan kekerasan terbuka/terselubung di sekolah-sekolah, baik oleh para guru maupun teman-teman sebaya, membuat kami benar-benar harus selektif. Selain itu, faktor yang tidak bisa diabaikan ialah pertimbangan mutu sekolah itu sendiri. Masalah dana tentu juga diperhitungkan, tetapi untuk sementara mesti diabaikan karena di mana lagi sih di Jakarta ini bisa dapat uang pendaftaran yang murah tetapi bermutu? Rasanya sudah dimaklumi oleh publik bahwa yang murah itu selalu identik dengan murahan, dan mahal itu sudah pasti bermutu. Meskipun saya sendiri menganggapnya nisbi. Sebab saya mengakui bahwa ukuran-ukuran sumir semacam itu tetap perlu diuji kesahihannya. Tetapi, lagi-lagi, kami toh harus tunduk pada hukum sosial bahwa citra yang berkembang atau dikembangkan oleh khalayak itulah yang cenderung menjadi ukuran.

Sekelumit pengalaman itu tiba-tiba menyentakkan kesadaran dalam diri saya, betapa sulitnya menjadi orangtua saya dulu ketika harus mencari sekolah yang baru. Untunglah, pada masa saya masih SD di Malang jarak rumah-sekolah tidak terlalu jauh sehingga dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki atau bersepeda. Lalu-lintas kota pun tak terlalu sibuk sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan orangtua kami. Yang cukup meringankan, saya kira, pertimbangan soal mutu "sekolah negeri" dan "sekolah swasta" tidak terlampau mencolok sehingga orangtua kami pun terlalu ekstrem dalam menentukan pilihan. Meski, saya tahu, faktor itu pun tak luput dari perhitungan mereka. Siapa sih orangtua yang mau melihat dididik dalam sebuah lembaga pendidikan yang tak jelas program dan output-nya? Sekarang, itulah yang kami rasakan.

Kalau dulu, saya melihat sekolah tak lebih dari suatu mekanisme alamiah yang mesti dilakukan dalam perkembangan hidup seseorang sejak dia masih anak hingga mencapai jenjang usia dewasa. Namun, seiring dengan berjalannya waktu serta tempaan pengalaman, saya makin menyadari bahwa sekolah bukanlah melulu "mekanisme", melainkan suatu tanda "organisme" yang berproses dalam pembentukan jatidiri dan karakter. Jika dulu sekolah hanya saya pahami sebagai pengasahan kemampuan berpikir kognitif; kini saya sadar bahwa saya keliru. Sekolah bukan tempat "berpikir" semata, melainkan suatu sistem pembentukan karakter yang utuh dari setiap anak.

Keprihatinan terhadap makin sulitnya mencari sekolah yang bermutu - dalam kategori character building - itulah yang membuat kami merasa harus semakin jeli dalam menentukan pilihan sekolah kepada anak kami. Mutu suatu sekolah tentu tidak hanya terukur pada ketersediaan fasilitas yang "wah", tetapi juga pada visi-misi sekolah tersebut. Selain itu, kapasitas gurunya pun mesti teruji, bukan dengan sederet gelar di depan dan/atau di belakang namanya, tetapi dari kemampuan menjadi teladan yang pada gilirannya turut menanamkan suatu citra model pemimpin yang ideal bagi anak didik.

Persoalan keteladanan ini tidak bisa dianggap basi karena bagi saya itulah esensi dari sekolah. Saya tidak bisa membayangkan diri saya seperti saat ini jika sejak jenjang SD hingga perguruan tinggi hanya dicekokin dengan seabrek ilmu, tanpa merujuk pada karakter kepemimpinan yang diperlihatkan oleh guru-guru saya. Hanya berlomba membentuk manusia-manusia pintar otaknya, tetapi rapuh kepribadiannya. Dengan segala plus-minusnya, saya tetap respek terhadap pola pembentukan disiplin diri melalui upacara bendera setiap hari Senin; pemeriksaan rambut dan kuku; sepatu sekolah yang harus sama warna dan merek - supaya yang kaya tidak perlu pamer dan yang miskin tidak harus minder; buku-buku harus disampul dengan kertas berwarna coklat; mengikuti kegiatan pramuka untuk mengasah solidaritas dan keterampilan survive di tengah kondisi yang tidak memungkinkan. Wah, masih banyak lagi.

Bernostalgia memang mengasyikkan. Tetapi kini tak cukup waktu untuk melakukannya. Zaman sudah berubah. Saya kini mempunyai anak yang harus melanjutkan sekolahnya di tengah krisis karakter yang melanda sekolah-sekolah kita. Tidak hendak menimpakan semua kesalahan di pundak para guru, karena mereka juga bergelut di tengah himpitan hidup yang makin susah. Ingin membela murid malah dituduh membocorkan soal. Ingin menanamkan disiplin dituding melakukan kekerasan. Ingin membantu mahasiswa dianggap mencari tambahan yang tidak pantas. Macam-macamlah. Padahal, berapa sih penghasilan seorang guru sekarang? Apalagi dengan kenaikan harga barang-barang yang jauh dari penghargaan kepada manusia.

Tak heranlah jika sekolah kita kini makin kedodoran dalam pembinaan dan penguatan karakter anak didik. Idealisme "pahlawan tanpa tanda jasa" sudah tidak laku lagi di tengah-tengah tuntutan hidup zaman sekarang. Mau apa dengan model "pahlawan" seperti itu? Kalau ternyata, yang dielu-elukan sebagai "pahlawan" sekarang adalah orang-orang yang menuntut jasa besar alias uang upeti? Lihat saja, mister-mister yang duduk nyaman di Senayan sana yang "atas nama rakyat" berkoar-koar mengaku pahlawan pembela rakyat. Apa mau mereka melakukan tugas-tugas mewakili rakyat tanpa "tanda jasa"?

Masih kental dalam ingatan ketika beberapa bulan lalu saya dan Nancy menjadi fasilitator dan narasumber pada kegiatan Retreat Guru-guru Kristen se-Kecamatan Jatinegara, betapa tangguhnya manusia-manusia yang mengabdikan dan mendedikasikan hidupnya menjadi guru. Kami menyebut mereka manusia tangguh - rasanya lebih pas ketimbang pahlawan tanpa tanda jasa - karena dalam segala keterbatasan mereka baik yang tidak disengaja maupun disengaja mereka toh tetap bersedia menjalani panggilan tugas ini. Belum lagi harus menangani persoalan-persoalan di dalam keluarga mereka sendiri.

Dalam hati kecil, kami tetap bermimpi bahwa dengan terus bersekolah Kainalu dapat menimba banyak pengalaman dan belajar terus membentuk jatidirinya sendiri. Kami pun sadar bahwa institusi sekolah formal hanyalah salah satu bagian kecil dari konsep "sekolah" yang lebih luas lagi. Lingkungan anak itu sendiri adalah sekolah yang hakiki - keluarga, pola didik orangtua, pengaruh media, pergaulan usia sebaya, dll. Hal-hal itu tidak boleh luput dari perhatian jika kita hendak memaknai sekolah sebagai ruang bagi pembentukan karakter anak.

Memang masih ada banyak celah dalam sistem pendidikan anak, khususnya di Indonesia, saat ini. Masih banyak sekolah yang hanya dilihat dan berfungsi sebagai "tempat cetak" orang-orang bergelar akademis, tetapi belum berkarakter akademis - yang lebih mengandalkan logika dalam penyelesaian masalah ketimbang like-dislike. Kita memang punya ukuran tentang sekolah yang bermutu, tetapi juga harus realistis bahwa perjalanan ke sana masih tertatih-tatih. Saya jadi teringat ucapan penulis lagu, Leonard Cohen, "There is a crack in everything; that's how the light gets in." Well, mungkin tak perlu menuding siapa salah siapa benar, tetapi mulai dengan menjadikan keluarga sendiri sebagai sekolah yang sejati.
Read more ...

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces