Aku menulis maka aku belajar

Monday, March 30, 2009

Laboratorium Sosial dan Pengalaman Berteologi: Mencari Tumpuan Teologi Kontekstual


Penugasan untuk menyajikan materi “Analisis Sosial” bagi para mahasiswa peserta program Laboratorium Sosial dan Pengalaman Berteologi (LSPB) Kamal pada Kamis 26 Maret 2009, menjadi suatu pengalaman berharga sekaligus nostalgia. Saya menjadi mahasiswa peserta program LSPB Kamal Angkatan 1994, dan sejak lulus dari Fakultas Teologi UKIM tahun 1996 tidak lagi berkesempatan melihat lokasi pelatihan di Negri Kamal. Apalagi konflik sosial di Maluku yang pecah tahun 1999, membuat makin kecil kesempatan untuk pergi ke Pulau Seram.

Begitu turun dari kapal feri yang membawa penumpang dari pelabuhan Liang ke Waipirit, saya membayangkan pasti banyak perubahan yang terjadi. Namun, perkiraan saya agaknya meleset. Ternyata Waipirit tidak banyak berubah, selain kondisi jalan aspal yang lebih mulus dibandingkan dengan kondisi terakhir saya melihatnya plus SPBU yang berada tepat di pertigaan jalan ke Waisarisa/Piru dan Kairatu/Masohi. Kendati jalan aspal yang mulus, saya harus lebih berhati-hati karena tidak ada penerangan di sepanjang jalan dari Waipirit ke Kamal. Penerangan jalan hanya ada ketika melewati negri-negri sebelum Kamal. Dua jembatan terakhir sebelum mencapai negri Kamal pun kondisinya memprihatinkan karena masih berupa konstruksi kayu yang pada beberapa bagiannya sudah lapuk dan patah hingga membentuk lubang yang cukup berbahaya bagi pengendara sepeda motor pada malam hari.

Lokasi pelatihan Kamal juga tidak banyak perubahan, meskipun keadaan di sekitar lokasi mengalami beberapa perubahan yang nyaris membuat saya salah jalan. Pagar kawat duri yang mengitari lokasi kini sudah diganti dengan pagar tembok. Bentuk dan konfigurasi walang-walang dalam area pelatihan juga sudah berubah dan direnovasi. Begitu melewati pintu gerbang, saya agak tertegun. Tetapi saya cepat menyadari bahwa saya harus melaporkan diri di pos piket yang dijaga oleh beberapa mahasiswa (tradisi yang dulu juga pernah saya jalani). Setelah melapor diri dan maksud kedatangan, salah seorang mahasiswa mengantar saya ke Paparisa Thom Pattiasina menemui Pdt. J. Jambormias, mantan pendeta jemaat Passo yang kini menjadi sekretaris pengelola LSPB Kamal. Tak berapa lama kami terlibat dalam percakapan hangat seputar kenangan-kenangan ber-LSPB Kamal dan juga perubahan-perubahan yang terjadi selama kurun waktu beberapa tahun terakhir.

Setelah makan malam bersama, Pdt. Jambormias memperkenalkan diri saya kepada para mahasiswa. Malam itu saya sempat melihat beberapa aktivitas mahasiswa. Sepintas saya mendapat kesan bahwa pengelolaan LSPB Kamal tidaklah seseram dulu. Aktivitas-aktivitas pembinaan semi-militer seperti yang dulu pernah kami jalani tidak tampak dan terasa lagi. Interaksi mahasiswa dengan pengelola (dulu: program manajer) pun terkesan sangat longgar, kendati dalam aspek-aspek tertentu masih tetap mempertahankan beberapa “tradisi” disiplin. Perubahan dalam metode pembinaan memang tak terelakkan karena situasi mahasiswa teologi kini juga mengalami perubahan, baik secara psikologis maupun sosiologis.

LSPB Kamal: Pemetaan Teologi Praktis
Konsep pembinaan spiritual dan mental mahasiswa teologi melalui program LSPB Kamal, menurut saya, merupakan terobosan signifikan dalam konteks pendidikan teologi di Indonesia. Program pembinaan spiritual berbasis komunitas pedesaan dalam LSPB Kamal idealnya hendak mendaratkan seluruh konstruksi teoretis dalam pembelajaran teologi sebagai ilmu di kampus sebagai kemampuan doing theology dalam konteks sosial.

Pendekatan pembinaan yang berlangsung lebih banyak memperkuat kepekaan terhadap konteks konkret dan juga membangun solidaritas di antara mahasiswa (yang diharapkan menumbuhkan spirit korps yang solid kelak). Perjumpaan mahasiswa dalam tatap muka di kelas selama mengikuti perkuliahan di kampus disadari tidak memberi ruang leluasa untuk melakukan diskursus seputar teologi praktis. Hal itu dapat dipahami karena konteks “kelas” lebih ditujukan menjadi arena diskusi keilmuan pada aras teoretis dengan orientasi garapan text books.

Terminologi “laboratorium” yang dipadukan dengan “sosial” memang terasa paradoksal. Terminologi “laboratorium” lebih lazim digunakan dalam ranah ilmu-ilmu alam (natural science) yang mengandaikan objek kajian dapat diperlakukan dalam demarkasi rumus-rumus paten, yang pada gilirannya menghasilkan efek yang terukur (measureable). Sementara terminologi “sosial” jelas mengasumsikan berlangsungnya proses dalam dinamika kehidupan masyarakat. Kendati demikian, paradoks itu pun melahirkan suatu kesadaran bahwa makna “laboratorium” di sini lebih memberikan aksentuasi praktis pada dimensi “pelatihan”. Bukan trial and error melainkan “pengujian kualitatif” terhadap situasi problematika sosial yang hendak dipahami sebagai suatu proses pematangan kepribadian para mahasiswa teologi. Dalam batasan ini, mahasiswa teologi itu lebih diarahkan pada proses pembentukan karakter sebagai calon pendeta. Meskipun saya juga melihat bahwa jika dicermati lebih dalam LSPB Kamal sebenarnya memberikan ruang gerak leluasa untuk membangun konstruksi berteologi yang membumi.

Paradoks “laboratorium” dan “sosial” itu rupanya menjadi arena kontekstual untuk memahami dan mengelaborasi pengalaman-pengalaman berteologi. Kalau konotasi “laboratorium” menunjuk pada suatu lingkup keilmuan yang terbatas dan statis, maka “pengalaman berteologi” hendak membuka batasan-batasan itu hingga meluas menjadi sesuatu yang dialami secara konkret. Pada titik itulah, LSPB Kamal menghadirkan dialektika pembelajaran teologi yang kreatif. Konteks sosial tidak hanya dipelajari, tetapi dialami langsung. Teologi tidak hanya dikaji, tetapi dihadapkan langsung dengan realitas. Dengan perkataan lain, LSPB Kamal hendak dijadikan sebagai arena perjumpaan Tuhan dan manusia; Tuhan dipahami tidak dalam arti ontologis dan abstrak tetapi dimanifestasikan sebagai pengalaman-pengalaman bermakna dalam kebudayaan manusia. Melalui pengalaman-pengalaman konkret itulah manusia memikirkan eksistensi dan perannya, yang kemudian melahirkan asumsi-asumsi teologis seputar kehadiran Tuhan dalam ruang interaktif hidup sehari-hari.

Sejauh ini saya menyadari bahwa masih terasa kegamangan dalam menerapkan metode pembelajaran teologi praktis di LSPB Kamal. Pendekatan pembinaan semi-militeristik (yang masih sempat saya alami) tampaknya makin tidak relevan dengan konteks sosial yang terus berubah. Oleh karena itu untuk saat ini diperlukan suatu pemetaan konteks Maluku yang lebih up-to-date dan kajian mengenai perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara umum di jemaat-jemaat GPM sebagai muatan kurikulumnya. Hal ini menjadi sangat mendesak karena tanpa kemampuan untuk memetakan situasi sosial secara lebih cermat maka seorang pendeta akan kehilangan dasar-dasar sosiologis dalam proses berteologi. Jika demikian, maka teologi akan kehilangan isinya atau rohnya karena inti berteologi itu justru terletak pada aspek interaktif manusia dan masyarakat.

Penguatan karakter yang juga menjadi perhatian dalam program LSPB Kamal sejauh ini masih berkutat seputar pembentukan karakter pendeta yang ideal secara pragmatis. Aspek-aspek disiplin waktu, kerja sama, solidaritas, keterampilan praktis di bidang pertanian dan lain-lain, memang dibutuhkan oleh seorang pendeta dalam konteks pelayanan jemaat-jemaat kepulauan di wilayah GPM. Namun, aspek-aspek tersebut sebaiknya tidak mendapat bobot berlebihan sehingga melalaikan penguatan karakter sebagai motivator sosial. Peran sebagai motivator sosial penting untuk lebih digarap agar para calon pendeta ini tidak lagi terkungkung mindset pendeta sebagai “ketua” (majelis jemaat) yang berhak mengatur segala-galanya di jemaat kelak. Peran motivator sosial itu justru menitikberatkan pada pengembangan potensi kepemimpinan seorang pendeta secara lebih luas. Bukan hanya terkait pada peran struktural melainkan lebih kepada peran eksistensial, yakni mendorong berkembangnya potensi-potensi positif warga jemaat yang dibinanya. Bahkan dengannya lahir refleksi-refleksi teologis bernas karena digumuli secara partisipatoris dalam konteks kejemaatan.

Dengan pendekatan potensi kepribadian dan kerangka pikir positif, maka paradigma teologi praktis yang dijalankan dalam program LSPB Kamal lebih terpusat pada dimensi pembebasan. Dengannya para mahasiswa diberikan ruang untuk mengekspresikan kreativitas berpikir dan berdialog secara bebas, dengan orientasi pada upaya menumbuhkan spirit pemimpin-pemenang (winner attitude) dengan kualifikasi ilmiah dan eksperiensial yang memadai serta kontekstual. Dari sinilah pendidikan teologi praktis yang dijalankan dalam program LSPB Kamal tidak lagi berorientasi pragmatis hanya demi menjawab kebutuhan pelayanan di jemaat-jemaat kepulauan GPM. Tetapi secara esensial menjadi proyek berteologi kontekstual dengan dimensi pembebasan yang membongkar kebudayaan bisu. Sebagaimana dinyatakan oleh Paulo Freire bahwa:

Pendidikan yang membebaskan merupakan proses di mana pendidik mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkap kehidupan yang senyatanya secara kritis. Pendidikan yang membelenggu berusaha untuk menanamkan kesadaran yang keliru kepada siswa sehingga mereka mengikuti saja alur kehidupan ini; sedangkan pendidikan yang membebaskan tidak dapat direduksi menjadi sekedar usaha guru untuk memaksakan kebebasan pada siswa (Paulo Freire, Politik Pendidikan hlm. 176)

Dengan demikian, melihat esensi teologi praktis dalam program LSPB Kamal, ada optimisme bahwa model pendidikan (pembinaan) LSPB Kamal dapat dikembangkan sebagai model berteologi kontekstual yang masih relevan sejauh metodologi dan muatannya terus-menerus direlevansikan dengan perubahan sosial dalam konteks kehidupan jemaat-jemaat GPM. Dalam arti itulah maka teologi praktis yang menjadi landasan konseptual LSPB Kamal dibebaskan dari imperatif-imperatif militeristik yang seolah-olah disyaratkan bagi penguatan karakter pendeta sebagai “pemimpin”. Lebih jauh, teologi praktis itu justru membongkar kebudayaan bisu para calon pendeta dan teolog yang dilatih di LSPB Kamal sehingga tidak berhenti hanya pada determinasi panggilan spiritual untuk menjadi pendeta, tetapi terlebih bergerak progresif pada determinasi “belajar”. Belajar bukanlah mengonsumsi ide, melainkan menciptakan ide dan terus menciptakan ide. Pada titik itulah, analisis iman atau refleksi teologis berlangsung sebagai imperatif belajar terus-menerus.

Kamal, 26 Maret 2009

1 comment:

  1. Alhamdulilah... cerita tentang Kamal (LSPB) muncul lagi. Di satu sisi memang ada kerinduan, di sisi lain ada harapan. Kerinduan akan Kamal yang memberikan pelajaran tambahan, harapan akan masa depan teologi kontekstual di GPM dan Maluku. Pendeta khususnya di GPM memang memiliki nilai lebih... Beta pikir ada hal yang patut menjadi perhatian yaitu kemampuan praktis melakukan bargaining dengan pihak lain. Ini penting, khususnya setelah kita mengalami konflik. Kemampuan bargaining dan negotiating perlu diasah juga (di Kamal mungkin) baik dengan Pemerintah, maupun dengan masyarakat adat (tak lupa dengan basudara beragama lain). Ini cuma usulan saja Pak Steve... (beberapa teman beta yang tugas di wilayah-wilayah rawan selalu telpon, bagaimana bargaining dan negotiating dengan basudara Salam ketika ada masalah ... beta cuma bilang "Tanya Sinode jua..")

    ReplyDelete

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces