Pengantar
Semula saya tidak begitu tertarik dengan buku ini. Tetapi beberapa teman menceritakan isinya dengan penuh semangat dan cukup mengusik saya untuk membeli dan membacanya. Tulisan ini merupakan tanggapan saya terhadap isi buku tersebut. Tidak ada pretensi untuk mencari pembenaran diri sendiri. Apa yang ingin saya lakukan melalui tulisan ini hanyalah upaya sederhana untuk memberikan alternatif perspektif yang saya rasa diperlukan untuk mengimbangi isi buku ini. Uraian penulis buku itu, menurut saya, sangat provokatif dan terkesan serampangan, sehingga bila tidak diikuti oleh beberapa ulasan dengan perspektif yang berbeda, bisa menimbulkan kesalahpahaman di kalangan orang-orang Kristen dan juga mengganggu relasi antarumat beragama (Kristen-Islam) di Indonesia, khususnya di Maluku.
Dalam tulisan ini saya juga tidak bermaksud menuding siapa salah siapa benar. Soal penilaian itu biarlah pembaca yang melakukannya. Saya mencoba untuk menempatkan seluruh argumentasi dalam kerangka keilmuan teologi sehingga dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah dan juga iman. Iman di sini bukanlah soal “percaya/tidak percaya”, melainkan soal mempertanggungjawabkan apa yang kita imani melalui penalaran yang sehat dan jernih. Bukan sekadar “memperkosa” Alkitab untuk mencari-cari pembenaran diri dan memengaruhi orang lain dengan paham-paham teologis yang dangkal dan destruktif.
Tentang Penulis
Profil singkat penulis tercantum pada halaman 95. Penulisnya bernama Harry Avner Sahertian (HAS). Latar pendidikannya tidak jelas. Hanya disebutkan “menyempatkan diri untuk sekolah theologia, tetapi karena panggilan lebih kuat untuk menggembalakan jemaat, maka penulis saat itu memprioritaskan untuk menggembalakan jemaat di kota Cilacap…”. Bisa disimpulkan bahwa pendidikan teologi yang dijalaninya tidak tuntas. Dengan demikian, dari segi perspektif keilmuan teologi, kompetensi HAS dalam mengelaborasi kajian-kajian teologis pun sangat diragukan.
Ada juga disebutkan mengenai pengalaman penelitiannya: “Dan saat terjadinya konflik di Maluku dan pasca konflik, penulis konsentrasi untuk meneliti hal-hal yang berhubungan dengan Maluku dan berhubungan dengan masyarakat Maluku serta yang berhubungan dengan tragedi Maluku”. Tidak dijelaskan penelitian seperti apa yang dilakukan dan apa saja hasil penelitiannya itu. Padahal, jika memang buku ini lahir dari sebuah proses penelitian (lapangan dan pustaka) maka tentu HAS wajib mencantumkannya sehingga seluruh ulasannya tertanggung jawab secara ilmiah. Nama HAS, tapi dengan nama tengah “Abner”, saya temukan melalui browsing internet <http://www.oocities.com/nunusaku/miol070504.htm>, yang menuliskan nama Harry Abner Sahertian sebagai salah seorang dari 11 orang yang diciduk polisi atas tuduhan makar (pengibaran bendera RMS).
Selanjutnya, saya tidak menemukan informasi lain mengenai HAS. Termasuk bagaimana sampai HAS bisa mendapatkan gelar “rabbi”. Sejauh yang saya tahu tidak sembarangan orang yang bisa memakai gelar “rabbi”, bahkan di kalangan para penganut Yudaisme modern sekalipun. Rabi atau Rabbi (Ibrani Klasik רִבִּי ribbī;; Ashkenazi modern dan Israel רַבִּי rabbī) dalam Yudaisme berarti “guru”, atau arti harafiahnya “yang agung”. Kata “Rabi” berasal dari akar kata bahasa Ibrani RaV, yang dalam bahasa Ibrani alkitabiah berarti “besar” atau “terkemuka (dalam pengetahuan)”. Dalam aliran-aliran Yudea kuno, kaum bijaksana disapa sebagai רִבִּי (Ribbi atau Rebbi) — dalam abad-abad belakangan ini diubah ucapannya menjadi Rabi (“guruku”). Istilah sapaan penghormatan ini lambat laun digunakan sebagai gelar, dan akhiran pronomina “i” (“-ku”) kehilangan maknanya karena seringnya kata ini digunakan.
Tentang Tampilan Fisik dan Isi Buku
Dari segi fisik buku, penggarapan desain sampul depan (cover) dan belakang (back-cover), serta tata letak (lay-out) terkesan seadanya. Padahal penggarapan sampul depan mesti sesuai dengan judul buku sebagai langkah awal menampilkan pesan buku. Ditilik lebih dalam, banyak sekali terdapat kesalahan pengetikan yang cukup fatal jika ditinjau dari sudut kaidah bahasa Indonesia. Dalam dunia penerbitan, profesionalisme penerbitan suatu buku akan tergambar dengan jelas pada tampilan isi buku yang menarik (pilihan font, header-footer, penggalan kata, marjin, ilustrasi). Demikian pula dengan penempatan beberapa gambar yang sekilas tampaknya dipasang tanpa tujuan yang jelas dan apa tautannya dengan isi buku. Bahkan peta Pulau Ambon, Lease, dan Pulau Seram pun diberi keterangan “Kepulauan Maluku”. Bisa saja dikatakan asal tempel, tetapi saya rasa HAS ingin menyampaikan pesan-pesan tertentu melalui visualisasi tersebut, yang tentu saja mesti dilihat dari latar belakang hidupnya yang pernah ditahan polisi karena kasus pengibaran bendera RMS beberapa waktu silam.
Di seluruh isi buku tidak ditemukan rujukan-rujukan terhadap literatur-literatur penting berkaitan dengan topik-topik yang diulasnya.HAS rupanya merasa apa yang ditulisnya merupakan ilham dari Tuhan. Namun, beberapa kali HAS menyebutkan tentang “penelitian” dan “hasil penelitian” (23, 24, 32, 33, dll.) tanpa memperlihatkan materi penelitian yang dimaksud dan dirujuknya. Satunya-satunya kitab yang disebut dan dipakai sebagai bahan kutipan adalah Alkitab. Absennya rujukan literatur-literatur utama berkaitan dengan topik yang diulasnya tentu saja mengindikasikan bahwa memang HAS tidak membaca literatur-literatur penunjang dan pembanding. Ini tercermin dari tidak adanya “Daftar Pustaka” sebagai pertanggungjawaban dari seluruh ulasannya. Seolah-olah seluruh isi buku murni pikirannya sendiri. Ini merupakan salah satu titik lemah argumentasi logisnya, baik secara historis maupun metodologis.
Secara substantif, isi buku ini hanya berisi tentang uraian-uraian yang tidak logis dan absurd. Pikiran HAS melompat kemana-mana dan tidak runut. Stuktur kalimat-kalimatnya pun tak beraturan sehingga pesannya melantur. Saya melihat ada beberapa kelemahan isi buku ini secara metodologis:
1. Kelemahan argumentasi rasional: Setiap pernyataan tidak diikuti oleh pendasaran-pendasaran logika berpikir sehingga pembaca mampu mencerna pendapatnya dan melihat antarhubungan logis setiap argumentasi yang dikemukakannya. HAS dengan seenaknya melakukan lompatan-lompatan berpikir dan mengabaikan banyak sekali celah epistemologis yang menganga dalam ulasannya. Misalnya: perspektif sejarah sosial-budaya Maluku seperti apa yang digunakan untuk menjelaskan asal-usul para leluhur orang Maluku? Siapakah yang menulis sejarah itu? Sumber-sumber sejarah sosial-budaya mana yang dipakai sebagai dasar pengetahuan untuk mengelaborasi dinamika kesejarahan para leluhur orang Maluku, terutama dalam menjelaskan lahirnya pranata Pela?
2. Kelemahan argumentasi sosio-historis: Sejak dari awal penulis selalu mengaitkan ulasannya dengan konflik sosial Maluku. Namun tidak ada ulasan kritis mengenai konflik Maluku, sejarah kebudayaan orang Maluku, dan juga sejarah Israel-Alkitab. Semuanya dicampur aduk seolah-olah merupakan bahan yang memang menyatu dari sononya. Konflik sosial seolah-olah hanya dilihat sesuatu yang terjadi begitu saja dan tidak ditempatkan dalam suatu kerangka analisis kontekstual yang menelusuri akar-akar persoalannya secara historis maupun sosiologis-politis. Konstruksi identitas orang Maluku yang muncul dalam varian-varian budaya yang berbeda-beda disimplifikasi seolah-olah menjadi identitas tunggal (monolitik).
3. Kelemahan argumentasi tafsir teks Alkitab: Penulis mengembangkan konsep-konsep teologi yang sangat provokatif dan kental spirit kekerasan. Semuanya itu disebabkan karena cara membaca teks-teks Alkitab yang harafiah. Ia mengecam orang lain yang membaca Alkitab sepotong-sepotong tetapi ia sendiri terjebak dalam kesalahan yang sama (hlm. 68). Teks-teks Alkitab dicomot begitu saja terlepas dari konteksnya, dan dipakai untuk melegitimasi pandangannya yang liar.
Mencermati Ideologi Kristen-Zionis
Fenomena identifikasi diri dengan suku-suku Israel bukanlah sesuatu yang baru. Mikkel Stjernholm Kragh dalam beberapa tulisannya mengulas tentang kecenderungan tersebut pada beberapa etnis di Eropa, seperti di British, Swedia dan Prusia. Konsep “Christian Identity” yang tumbuh subur di kalangan kaum Anglo-Saxon kemudian ditransmisikan ke Benua Amerika seiring dengan migrasi dan terbentuknya koloni-koloni imigran Inggris di sana.
Paham kaum Kristen-Zionis ini utamanya merupakan suatu gerakan politik di kalangan Kristen fundamentalis yang memandang bahwa berdirinya negara Israel modern adalah pemenuhan janji Tuhan kepada Abraham dan kaum Yahudi. Kaum Kristen-Zionis berpendapat bahwa orang-orang Kristen harus mengakui bahwa Tuhanlah yang berkehendak bagi berdirinya negara Israel modern dan oleh karena itu harus didukung tanpa syarat secara ekonomi, moral, politik, dan teologis.
Fenomena identifikasi identitas etnis dan nasional kepada Israel sebenarnya merupakan suatu gejala sosial keagamaan yang wajar saja. Kendati mesti diakui bahwa gerakan ini telah menggeser hakikat negara Israel modern sebagai suatu gerakan politik dengan mendasarkan Israel modern pada gagasan-gagasan teologis-alkitabiah yang literer. Interpretasi harafiah terhadap teks-teks Alkitab melahirkan suatu perilaku-perilaku keagamaan yang diskriminatif dan bertendensi kekerasan karena teks-teks Alkitab dibaca sebagai “teks surgawi” yang tidak membumi dalam ranah sosial-budaya-politik dalam konteks ruang dan waktu masyarakat konkret.
Dalam konteks pluralitas sosial-budaya-agama di Maluku dan di Indonesia, proses identifikasi ini sangat riskan. Mengapa? Karena jika tidak mengalami proses pemaknaan dan hermeneutik secara dekonstruktif maka sebenarnya cepat atau lambat sedang terjadi proses transfigurasi konflik Timur-Tengah ke Maluku dan Indonesia. Kristen menemukan kiblat identitasnya pada Israel (modern) dan Islam menyandarkan diri pada identifikasi Arab (atau Palestina). Jika sudah demikian, bisa dikatakan kita hanya menunggu pecahnya bom waktu konflik Israel-Palestina di Maluku dan Indonesia. Di sinilah saya melihat critical-point untuk menyimak buku-buku semacam ini yang muatannya sangat provokatif dan merusak proses-proses percakapan antariman yang cerdas dan inklusif.