Pengantar
Semula saya tidak begitu tertarik dengan buku ini. Tetapi beberapa teman menceritakan isinya dengan penuh semangat dan cukup mengusik saya untuk membeli dan membacanya. Tulisan ini merupakan tanggapan saya terhadap isi buku tersebut. Tidak ada pretensi untuk mencari pembenaran diri sendiri. Apa yang ingin saya lakukan melalui tulisan ini hanyalah upaya sederhana untuk memberikan alternatif perspektif yang saya rasa diperlukan untuk mengimbangi isi buku ini. Uraian penulis buku itu, menurut saya, sangat provokatif dan terkesan serampangan, sehingga bila tidak diikuti oleh beberapa ulasan dengan perspektif yang berbeda, bisa menimbulkan kesalahpahaman di kalangan orang-orang Kristen dan juga mengganggu relasi antarumat beragama (Kristen-Islam) di Indonesia, khususnya di Maluku.
Dalam tulisan ini saya juga tidak bermaksud menuding siapa salah siapa benar. Soal penilaian itu biarlah pembaca yang melakukannya. Saya mencoba untuk menempatkan seluruh argumentasi dalam kerangka keilmuan teologi sehingga dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah dan juga iman. Iman di sini bukanlah soal “percaya/tidak percaya”, melainkan soal mempertanggungjawabkan apa yang kita imani melalui penalaran yang sehat dan jernih. Bukan sekadar “memperkosa” Alkitab untuk mencari-cari pembenaran diri dan memengaruhi orang lain dengan paham-paham teologis yang dangkal dan destruktif.
Tentang Penulis
Profil singkat penulis tercantum pada halaman 95. Penulisnya bernama Harry Avner Sahertian (HAS). Latar pendidikannya tidak jelas. Hanya disebutkan “menyempatkan diri untuk sekolah theologia, tetapi karena panggilan lebih kuat untuk menggembalakan jemaat, maka penulis saat itu memprioritaskan untuk menggembalakan jemaat di kota Cilacap…”. Bisa disimpulkan bahwa pendidikan teologi yang dijalaninya tidak tuntas. Dengan demikian, dari segi perspektif keilmuan teologi, kompetensi HAS dalam mengelaborasi kajian-kajian teologis pun sangat diragukan.
Ada juga disebutkan mengenai pengalaman penelitiannya: “Dan saat terjadinya konflik di Maluku dan pasca konflik, penulis konsentrasi untuk meneliti hal-hal yang berhubungan dengan Maluku dan berhubungan dengan masyarakat Maluku serta yang berhubungan dengan tragedi Maluku”. Tidak dijelaskan penelitian seperti apa yang dilakukan dan apa saja hasil penelitiannya itu. Padahal, jika memang buku ini lahir dari sebuah proses penelitian (lapangan dan pustaka) maka tentu HAS wajib mencantumkannya sehingga seluruh ulasannya tertanggung jawab secara ilmiah. Nama HAS, tapi dengan nama tengah “Abner”, saya temukan melalui browsing internet <http://www.oocities.com/nunusaku/miol070504.htm>, yang menuliskan nama Harry Abner Sahertian sebagai salah seorang dari 11 orang yang diciduk polisi atas tuduhan makar (pengibaran bendera RMS).
Selanjutnya, saya tidak menemukan informasi lain mengenai HAS. Termasuk bagaimana sampai HAS bisa mendapatkan gelar “rabbi”. Sejauh yang saya tahu tidak sembarangan orang yang bisa memakai gelar “rabbi”, bahkan di kalangan para penganut Yudaisme modern sekalipun. Rabi atau Rabbi (Ibrani Klasik רִבִּי ribbī;; Ashkenazi modern dan Israel רַבִּי rabbī) dalam Yudaisme berarti “guru”, atau arti harafiahnya “yang agung”. Kata “Rabi” berasal dari akar kata bahasa Ibrani RaV, yang dalam bahasa Ibrani alkitabiah berarti “besar” atau “terkemuka (dalam pengetahuan)”. Dalam aliran-aliran Yudea kuno, kaum bijaksana disapa sebagai רִבִּי (Ribbi atau Rebbi) — dalam abad-abad belakangan ini diubah ucapannya menjadi Rabi (“guruku”). Istilah sapaan penghormatan ini lambat laun digunakan sebagai gelar, dan akhiran pronomina “i” (“-ku”) kehilangan maknanya karena seringnya kata ini digunakan.
Tentang Tampilan Fisik dan Isi Buku
Dari segi fisik buku, penggarapan desain sampul depan (cover) dan belakang (back-cover), serta tata letak (lay-out) terkesan seadanya. Padahal penggarapan sampul depan mesti sesuai dengan judul buku sebagai langkah awal menampilkan pesan buku. Ditilik lebih dalam, banyak sekali terdapat kesalahan pengetikan yang cukup fatal jika ditinjau dari sudut kaidah bahasa Indonesia. Dalam dunia penerbitan, profesionalisme penerbitan suatu buku akan tergambar dengan jelas pada tampilan isi buku yang menarik (pilihan font, header-footer, penggalan kata, marjin, ilustrasi). Demikian pula dengan penempatan beberapa gambar yang sekilas tampaknya dipasang tanpa tujuan yang jelas dan apa tautannya dengan isi buku. Bahkan peta Pulau Ambon, Lease, dan Pulau Seram pun diberi keterangan “Kepulauan Maluku”. Bisa saja dikatakan asal tempel, tetapi saya rasa HAS ingin menyampaikan pesan-pesan tertentu melalui visualisasi tersebut, yang tentu saja mesti dilihat dari latar belakang hidupnya yang pernah ditahan polisi karena kasus pengibaran bendera RMS beberapa waktu silam.
Di seluruh isi buku tidak ditemukan rujukan-rujukan terhadap literatur-literatur penting berkaitan dengan topik-topik yang diulasnya.HAS rupanya merasa apa yang ditulisnya merupakan ilham dari Tuhan. Namun, beberapa kali HAS menyebutkan tentang “penelitian” dan “hasil penelitian” (23, 24, 32, 33, dll.) tanpa memperlihatkan materi penelitian yang dimaksud dan dirujuknya. Satunya-satunya kitab yang disebut dan dipakai sebagai bahan kutipan adalah Alkitab. Absennya rujukan literatur-literatur utama berkaitan dengan topik yang diulasnya tentu saja mengindikasikan bahwa memang HAS tidak membaca literatur-literatur penunjang dan pembanding. Ini tercermin dari tidak adanya “Daftar Pustaka” sebagai pertanggungjawaban dari seluruh ulasannya. Seolah-olah seluruh isi buku murni pikirannya sendiri. Ini merupakan salah satu titik lemah argumentasi logisnya, baik secara historis maupun metodologis.
Secara substantif, isi buku ini hanya berisi tentang uraian-uraian yang tidak logis dan absurd. Pikiran HAS melompat kemana-mana dan tidak runut. Stuktur kalimat-kalimatnya pun tak beraturan sehingga pesannya melantur. Saya melihat ada beberapa kelemahan isi buku ini secara metodologis:
1. Kelemahan argumentasi rasional: Setiap pernyataan tidak diikuti oleh pendasaran-pendasaran logika berpikir sehingga pembaca mampu mencerna pendapatnya dan melihat antarhubungan logis setiap argumentasi yang dikemukakannya. HAS dengan seenaknya melakukan lompatan-lompatan berpikir dan mengabaikan banyak sekali celah epistemologis yang menganga dalam ulasannya. Misalnya: perspektif sejarah sosial-budaya Maluku seperti apa yang digunakan untuk menjelaskan asal-usul para leluhur orang Maluku? Siapakah yang menulis sejarah itu? Sumber-sumber sejarah sosial-budaya mana yang dipakai sebagai dasar pengetahuan untuk mengelaborasi dinamika kesejarahan para leluhur orang Maluku, terutama dalam menjelaskan lahirnya pranata Pela?
2. Kelemahan argumentasi sosio-historis: Sejak dari awal penulis selalu mengaitkan ulasannya dengan konflik sosial Maluku. Namun tidak ada ulasan kritis mengenai konflik Maluku, sejarah kebudayaan orang Maluku, dan juga sejarah Israel-Alkitab. Semuanya dicampur aduk seolah-olah merupakan bahan yang memang menyatu dari sononya. Konflik sosial seolah-olah hanya dilihat sesuatu yang terjadi begitu saja dan tidak ditempatkan dalam suatu kerangka analisis kontekstual yang menelusuri akar-akar persoalannya secara historis maupun sosiologis-politis. Konstruksi identitas orang Maluku yang muncul dalam varian-varian budaya yang berbeda-beda disimplifikasi seolah-olah menjadi identitas tunggal (monolitik).
3. Kelemahan argumentasi tafsir teks Alkitab: Penulis mengembangkan konsep-konsep teologi yang sangat provokatif dan kental spirit kekerasan. Semuanya itu disebabkan karena cara membaca teks-teks Alkitab yang harafiah. Ia mengecam orang lain yang membaca Alkitab sepotong-sepotong tetapi ia sendiri terjebak dalam kesalahan yang sama (hlm. 68). Teks-teks Alkitab dicomot begitu saja terlepas dari konteksnya, dan dipakai untuk melegitimasi pandangannya yang liar.
Mencermati Ideologi Kristen-Zionis
Fenomena identifikasi diri dengan suku-suku Israel bukanlah sesuatu yang baru. Mikkel Stjernholm Kragh dalam beberapa tulisannya mengulas tentang kecenderungan tersebut pada beberapa etnis di Eropa, seperti di British, Swedia dan Prusia. Konsep “Christian Identity” yang tumbuh subur di kalangan kaum Anglo-Saxon kemudian ditransmisikan ke Benua Amerika seiring dengan migrasi dan terbentuknya koloni-koloni imigran Inggris di sana.
Paham kaum Kristen-Zionis ini utamanya merupakan suatu gerakan politik di kalangan Kristen fundamentalis yang memandang bahwa berdirinya negara Israel modern adalah pemenuhan janji Tuhan kepada Abraham dan kaum Yahudi. Kaum Kristen-Zionis berpendapat bahwa orang-orang Kristen harus mengakui bahwa Tuhanlah yang berkehendak bagi berdirinya negara Israel modern dan oleh karena itu harus didukung tanpa syarat secara ekonomi, moral, politik, dan teologis.
Fenomena identifikasi identitas etnis dan nasional kepada Israel sebenarnya merupakan suatu gejala sosial keagamaan yang wajar saja. Kendati mesti diakui bahwa gerakan ini telah menggeser hakikat negara Israel modern sebagai suatu gerakan politik dengan mendasarkan Israel modern pada gagasan-gagasan teologis-alkitabiah yang literer. Interpretasi harafiah terhadap teks-teks Alkitab melahirkan suatu perilaku-perilaku keagamaan yang diskriminatif dan bertendensi kekerasan karena teks-teks Alkitab dibaca sebagai “teks surgawi” yang tidak membumi dalam ranah sosial-budaya-politik dalam konteks ruang dan waktu masyarakat konkret.
Dalam konteks pluralitas sosial-budaya-agama di Maluku dan di Indonesia, proses identifikasi ini sangat riskan. Mengapa? Karena jika tidak mengalami proses pemaknaan dan hermeneutik secara dekonstruktif maka sebenarnya cepat atau lambat sedang terjadi proses transfigurasi konflik Timur-Tengah ke Maluku dan Indonesia. Kristen menemukan kiblat identitasnya pada Israel (modern) dan Islam menyandarkan diri pada identifikasi Arab (atau Palestina). Jika sudah demikian, bisa dikatakan kita hanya menunggu pecahnya bom waktu konflik Israel-Palestina di Maluku dan Indonesia. Di sinilah saya melihat critical-point untuk menyimak buku-buku semacam ini yang muatannya sangat provokatif dan merusak proses-proses percakapan antariman yang cerdas dan inklusif.
Bapak Master Steve Gaspersz,terima kasih untuk ulasan Bapak ini, terus terang saya juga punya buku ini, dan telah membacanya,namun teru sterang saya iritasi menelaah semua maksud dari bung 'rabi' Sahertian ini, beliau seperti sedang bermimpi untuk menjadi sutradara film-film Hollywood. beberapa kawan-kawan juga telah membacanya ,dan terjebak pada hegemoni 'kebanggaan' tak berdasar dan buta!saya bahkan coba menganalogikan secara sederhana maksud tulisan 'rabi Sahertian ini kepada kawan-kawan,, sampai ketawa-ketawa sendiri saya. sekali lagi.Terima kasih. hormat.
ReplyDeleteTerima kasih bung atas komentarnya. Memang gagasan-gagasan keagamaan tertentu (hampir di semua agama) sering berpotensi dimanipulasi menjadi ideologi untuk membenarkan diri sendiri atau kelompok sendiri. Lalu itu kemudian berujung pada menguatnya pandangan yang rigid dan sikap pro-kekerasan atas nama agama. Setidaknya melalui pencermatan terhadap hal-hal semacam ini kita menjadi orang-orang beragama yang kritis dan mampu membangun sikap terbuka untuk terus belajar satu sama lain. Hormat.
ReplyDeleteBagi orang yang iri dan tidak percaya dan buta akan segala sesuatu yang mana nyata terjadi pada bangsa Maluku itu sendiri dengan sejarah hidup, maka dialah yang tertawa dengan kebodohan dan menyangkal kebenaran itu.
ReplyDeleteCoba lihat di dunia ini, manakah diantara negara-negara benua atau negara-negara kepulauan yang dikenal di dunia internasional oleh bangsa-bangsa asing sebagai Spice island? Yang dikenal tentunya adalah kepulauan Maluku, dan itu adalah nyata, sedangkan sejarah Indonesia yang mana dibuat sesuai dengan pemerintahan kolonial tentunya sudah merupakan manipulasi untuk jajahan berjalan terus menerus.
Sesuatu yang terjadi pada kepulauan Maluku sehingga dikatakan sebagai Spice Island oleh karena tanah yang diberkati Tuhan, dan secara logika bahwa Maluku adalah mempunyai keterkaitan dengan terkandasnya bahtera Nuh, dimana terkandasnya bahtera Nuh, maka tanah itulah yang diberkati Bapa di Surga, sehingga pada akhirnya menjadi satu taman Eden bagi seluruh dunia, dimana mereka datang ke Maluku dan mencari hasil alam Maluku sebagai rempah-rempah yang diperlukan oleh mereka.
Apa yang dilihat oleh Steve Gaspersz adalah dari segi politik manusia, tetapi yang dilihat oleh Harry A Sahertian adalah dari segi rohani. Jadi tidak usah berpikir jauh tetapi berpikir secara logika saja, dan tidak menyangkal dari kenyataan tersebut, sebab kebenaran itu adalah milik Tuhan dan bukan milik manusia.
Setelah mulainya pengenalan rempah-rempah dan terjadinya pencaharian dan perdagangan dunia, sehingga terjadinya perubahan peradaban hidup manusia dengan keadaan politik hidup di Maluku dan menyebar ke dunia internasional.
1920 SM: Alkitab menceritakan tentang Yusuf, mantel warna banyak yang dijual ke sebuah kafilah rempah-rempah oleh saudaranya.
1700 SM: Sebuah penggalian arkeologis baru-baru ini di Mesopotamia (modern Suriah) digali dari sebuah siung dapur rumah tangga biasa dari periode nya.
992 SM: Ratu Sheba mengunjungi Raja Salomo dengan "rempah-rempah bantalan unta" sebagai hadiah utamanya.
400 SM:. Hippocrates, bapak Medicine "mengumpulkan daftar panjang kegunaan korektif untuk bumbu dan rempah-rempah Hippalus 17 Masehi, seorang kapten laut Yunani, menemukan sebuah metode menggunakan angin hujan di layar, kesimpulan bahwa perdagangan laut langsung dibuka antara bagian timur Mediterania dan India.
65 upacara pemakaman di Roma itu untuk istri Nero, Poppaea, membutuhkan lama satu tahun kayu manis.
Alaric Visigoth 410 tuntutan £ 3000 lada sebagai tebusan dari Roma. Dua tahun kemudian ia mulai lada Ekstrak 300 lbs sebagai upeti tahunan.
595 Muhammad, pendiri Islam, menikah dengan seorang janda yang kaya rempah-, para pengikutnya semangat misionaris dikombinasikan dengan perdagangan rempah-rempah di Timur, membuat pembangunan monopoli rempah-rempah pertama, sementara penyebaran Islam.
900 Venice telah meningkat sebagai kekuatan komersial, terutama dalam rempah-rempah, saat ia mulai memimpin Eropa di Zaman Kegelapan.
Perang Salib dimulai pada tahun 1095, memperingatkan oportunis dengan potensi perdagangan Timur, dan kebutuhan untuk membebaskan Tanah Suci dari kaum muslim.
1165 Sebuah surat palsu terkenal konon ditulis oleh Yohanes Prester didistribusikan secara luas di Eropa, pembaca merangsang dengan kemungkinan Kerajaan Kristen di Timur.
1298 Marco Polo kembali ke Venesia dari perjalanan panjang untuk rempah-rempah Asia yang cerita dapat ditemukan. Jadi Eropa telah terbangun kemungkinan langsung Timur perdagangan.
1400 Perjalanan Sir John Mandeville diterbitkan oleh seorang kesatria Inggris yang menggambarkan pengalaman nyata dan fantastis di Timur. Penemuan mesin cetak pada pertengahan abad, kisah khalayak luas.
Note: Penjelasan pada link dibawah setelah semua foto yang anda akan lihat pada saat anda klik pada link tersebut, turun kebawah terus sampai pada penjelasannya.
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.1270937984188.2039846.1552033107&type=1
Terima kasih atas komentarnya. Ada beberapa tanggapan untuk anda:
ReplyDelete[1] Sebaiknya anda membaca dengan cermat tulisan saya sebelum berkomentar karena komentar anda justru memperlihatkan bahwa anda sedang menertawakan kebodohan anda sendiri terhadap sesuatu yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya (dalam hal ini oleh Harry Sahertian).
[2] Anda berulang kali menggunakan kata "logika" tapi justru menjelaskan sesuatu yang tidak logis, tidak teruji oleh hasil-hasil penelitian apapun (kalau ada tolong cantumkan sumber-sumber logika anda supaya kita bisa melanjutkan percakapan secara logis ~ logis itu artinya terukur kausalitas atau sebab-akibatnya, bukan asal ngomong).
[3] Wawasan anda tentang sejarah dunia dan sejarah Maluku sangat sempit karena anda hanya memahami sejarah sebagai angka-angka kronologis tapi bukan sebagai dinamika peristiwa masa lalu yang dipengaruhi oleh berbagai aspek sosial-budaya-ekonomi-politik-hukum-environmental condition dll, yang secara gradual mempengaruhi situasi kontemporer masyarakat dunia (termasuk Maluku) masa kini. Di situ anda kehilangan logika sejarah, dan karena itu bagi saya anda seperti sedang mendongeng romantisme tanpa dasar apapun untuk dibenarkan sebagai "logis".
[4] Angka-angka yang anda tulis seolah-olah itu adalah indikator "tahun" (waktu) adalah sesuatu yang absurd dan non-sense (tidak logis) karena ditulis tanpa suatu korelasi logis yang bisa dipertanggungjawabkan. Bagi saya itu hanya salinan dari buku-buku orang lain yang anda tidak tulis sebagai sumber. Di situ pendapat anda sangat menggelikan karena seorang anak kecil pun bisa mengarang atau menulis seperti itu.
[5] Anda mengatakan bahwa saya hanya melihat segi politiknya sedangkan Harry Sahertian melihat segi rohaninya. Tahukah anda bahwa sejarah agama-agama di dunia adalah sejarah politisasi agama dan agamanisasi politik? Tapi bagi saya, yang dilakukan oleh Harry Sahertian adalah pembodohan rohani. Buku Sahertian justru menunjukkan bahwa kerohanian dia adalah kerohanian bubur (lembek, padede, bergantung), dan bukan kerohanian sagu (keras, tahan uji, mandiri). Hampir 20 tahun saya belajar teologi, sejarah alkitab, sejarah Israel-alkitab, bahasa Ibrani, bahasa Yunani, hermeneutik, religious studies, dan anda tiba-tiba mengatakan "tidak usah berpikir jauh tapi logika saja". Logika seperti apa? Sementara anda sendiri menyatakan komentar anda dengan sangat tidak logis.
Saya tunggu komentar balik.
Beta Bangsa dengan bung Steve Gaspersz,
ReplyDeletedangke banya suda menulis yang baik untuk di baca semua orang terkait buku di maksud,
Sebagai Anak Maluku beta lebih bangga dengan sejarah Maluku asli ketimbang harus menempel pada sejarah negara asing atau pun Israel saat ini.
buku yang di sampaikan oleh Harry Sahetian justru bertentangan dengan sejarah Maluku sebenarnya serta, adat istiadat, agama mulu, budaya, alam dan sistim-sistim hukum adat yang ada di MALUKU,
beta tidak mengerti dari mana basudara beranggapan bahwa Maluku adalah salah satu keturunan Israel yang hilang, kalau bicara Alkitabia tidak ada satupun ayat dan nubuatan yang membuktikan Maluku adalah keturunan Isreal baik secara biologis maupun darah, kalaupun mengacu pada tulisan seorang yang katanya Rabbi (Rabbi Resly ) sementara dia tidak jelas Rabbi atau bukan, di kalangan Israel untuk menjadi seorang Rabbi seseorang itu harus masuk sekolah yang bernama Yeshiva dan berada di bawa bimbingan Rabbi terdahulu (senior) mereka yang bersatus Rabbi biasanya harus memiliki tingkat intelektual yang tinggi di dalam Debatebel (model kls dalam Yeshiva) tidak ada satupun literature dan bukti Resly ini lulus dari Yeshiva dan siapa yang mengangkat atau melantiknya. Apa yang di sampaikan Resly tidak dapat di pertanggungjawabkan secara empirit, penelitian dan fakta sebenarnya. Sehingga apa yang di sampaikan dalam buku ini tidaklah terbukti apapun, karena tidak ada bukti yang bisa diveripikasi dengan asumsi bahwa Maluku adalah Keturunan Bangsa Israel yang hilang, sebagai anak Maluku sejati jangan jadikan diri kita menyangkali dan melupakan jati diri kita sebagai orang MALUKU asli dengan fanatisme yang keliru yang justru menyesatkan katong sandiri, semua yang di sampaikan dalam Buku ini tentang Maluku adalah suku Israel yang hilang adalah kekaguaman sesaat terhadap sejarah orang lain yang kemudian di kaitkan dengan sejarah jati diri orang MALUKU dengan memutar balikan secara yang sebenarnya. Jika di kaitkan dengan kebudayaan, adat istiadat Maluku sejak semula tidak ada kaitannya dengan Bangsa Israel contoh kecil misalnya, sistim HEKA-LEKA, sistim SASI, sistim perkawinan dengan mas kawin berupa kepala manusia dll, sama sekali tidak ada kaitannya dengan bangsa isreal. Coba saja tarik garis geneologis (silsilah keturunan) apakah tersambung dengan bangsa Israel yang di maksud? Jelas tidak.! Tapi jika basudara penasaran silakan membuktikan sendiri garis silsila keturunannya apakah sambung atau tidak untuk membuktikan pernyatan basudara yang mengatakan DARAH CARI DARAH.! Kalupun ada basudara yang mengatakan sudah tes DNA kapan dan di mana serta hasilnya apa harus di buktikan jangan hasilnya tidak sama tapi di katakana sama, orang MALUKU jangan lagi di bohongi, katong satu darah dari MALUKU bukan yang lain. Inga Ambon sudah banyak di adu domba dengan hal-hal baru seperti ini yang membuat katong terpecah, jang lai, mari katong gali sejarah katong sandiri yang sudah ada bukan menempelkan diri dengan bangsa asing yang justru menyesatkan katong sandiri dari sejarah katong yang sebenarnya. Beta bangga dan tak akan perna malu untuk mengatakan BETA ANAK MALUKU ASLI DARI PULAU SERAM bukan suku isreal yang hilang.!
Dangke banya bung Hany su sedia datang mangente beta pung walang kabaressi. Salam kenal bung. MENA MURIA!
Deleteshalom buat ktong Samua, sy mau Tanya sdikit buat bung Steve gaspersz, sy menyimak pengalaman theologia bung dr dlm hingga mancanegara, mempelajari tentang Israel, bhasa ibrani, yunani dll, artinya bung sangat paham betul tentang bahasa tersebut, sy ingin tahu sj menurut yg bung pelajari secara theologia, siapakah nama Tuhan yg orang Kristen sembah?itu sj dlu bung..
ReplyDeleteTerima kasih sdr. Andrew. Ini pertanyaan sederhana yang bisa dijawab panjang lebar. Sederhananya begini. Kekristenan kita dibangun tidak hanya berdasarkan tafsir langsung dari kitab keagamaan (alkitab). Kekristenan kita juga sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh tradisi pemikiran, perdebatan teologi dan misi kristen dari Barat ke Nusantara/Indonesia.
DeletePenyebutan nama Tuhan dalam Kekristenan mengadopsi 2 kebudayaan: [1] kebudayaan semitik (PL) dan yunani (PB) yang kemudian mengalami proses romanisasi atau eropanisasi; (2) kekristenan yang kita terima dan jalani di Indonesia adalah bentukan banyak kebudayaan yaitu Barat (Eropa), yang masuk ke Indonesia bercampur dengan kebudayaan Arab dan Melayu, lalu dalam perkembangannya mengalami proses kontekstualisasi.
Jadi, singkatnya, sebagai orang Kristen kita bisa menyebut nama tuhan dengan nama-nama yang bermacam-macam - apakah itu yahweh, elohim, kristus, puang matua (toraja), upulahatala (maluku) dll. Sejauh kita menghayati nama-nama itu sebagai bentuk kehadiran Sang Misteri yang menghidupkan itu.
Demikian.