Video kekerasan anggota TNI terhadap warga pedalaman di Papua menyentak kesadaran kita untuk mencermati persoalan lain yang terjadi selain rentetan bencana alam yang menimpa saudara-saudara kita di Wasior, Mentawai, dan Jawa Tengah (kaki Gunung Merapi). Sejumlah catatan kritis telah diajukan oleh dunia internasional berkaitan dengan tindakan kekerasan anggota TNI terhadap rakyat Indonesia-Papua. Menanggapi banyaknya sorotan dunia internasional [barulah] Presiden RI memerintahkan agar kasus ini segera ditindaklanjuti sesuai hukum. Meskipun agak janggal karena dalam pernyataannya Presiden RI juga “excuse” bahwa kasus seperti ini “biasa” terjadi di Irak, Afganistan, dll.
Pertanyaannya: Apakah memang dengan pernyataan ini Presiden RI mau menyamakan situasi di Papua (sebagai bagian dari Indonesia) dalam keadaan darurat perang seperti di Irak atau Afganistan? Sementara dalam kenyataannya kekerasan oleh anggota TNI tersebut dilakukan kepada sekelompok orang yang sama sekali tidak menyandang senjata? Apakah perlakuan ini bisa juga diterapkan kepada kelompok-kelompok yang terang-terangan menolak PANCASILA dengan memaksakan ideologi mereka sendiri yang dikemas dalam bungkusan “agama” untuk menghapus kedaulatan negara sebagai suatu entitas yang majemuk? Sebenarnya siapakah musuh TNI? Rakyat sendiri atau musuh asing? Kenapa sikap pemerintah Indonesia dan TNI lembek berhadapan dengan tentara Malaysia yang jelas-jelas sudah melanggar kedaulatan wilayah Indonesia? Ini sangat jauh berbeda dengan sikap pemerintah (termasuk TNI dan POLRI) ketika berhadapan dengan masalah-masalah kerakyatan. Pernyataan Ketua DPR (yang kemudian dibela oleh rekan separpol) terhadap bencana Mentawai, serta pernyataan Presiden RI dan pernyataan lain yang seolah-oleh menganggap “biasa” semua kasus ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia benar-benar sedang tidak peduli terhadap rakyat, jika tidak ingin mengatakan bahwa pemerintah yang – katanya – dipilih rakyat ini sedang terus-menerus menginjak-injak kepercayaan rakyat.
Saya bukan ahli politik atau militer. Saya hanya rakyat biasa yang merasa turut bertanggung jawab atas sikap pemerintah ini karena saya jugalah yang turut memilih mereka menjadi “penguasa” negara ini. Ini sikap politik saya sebaga warga negara (ketimbang cuci tangan mengatakan saya tidak memilih mereka). Saya tidak ingin memberikan komentar-komentar politik mengenai hal ini. Tetapi saya hanya ingin menyampaikan “pesan” kepada teman-teman yang sedang mengikuti Sidang Sinode ke-36 Gereja Protestan Maluku: Apakah seluruh realitas sosial-politik ini sudah menjadi bagian dari diskursus kegerejaan kita? Ataukah kita sekarang hanya ingin asyik-masyuk dengan persoalan-persoalan internal kita saja? Adakah geliat internal kita yang mampu menjadi kekuatan tawar (bargaining power) gereja terhadap seluruh realitas ini? Kehadiran Ketua Umum PGI dan Wakil Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI jelas mengindikasikan bahwa kita punya komitmen untuk melibatkan diri dalam seluruh proses menggereja dalam konteks keindonesiaan. Dan karena itu realitas keindonesiaan adalah orientasi praksis berteologi GPM juga.
Saya tidak menafikan pentingnya persoalan-persoalan kegerejaan kita saat ini. Tetapi kita juga seyogyanya tidak bisa mengabaikan begitu saja realitas sosial-politik di mana GPM berkiprah. Setidaknya persoalan stigmatisasi RMS (salah satu saja di antara sekian masalah) masih terus menjadi “senjata laten” untuk timbulnya tindakan-tindakan kekerasan di wilayah Maluku. Dan ini bisa dilakukan oleh siapa saja yang merasa memiliki kekuasaan untuk melakukan kekerasan tersebut.
Merujuk pada kenyataan itulah maka satu hal yang tidak dapat dianggap remeh adalah GPM membutuhkan suatu pola kepemimpinan gereja yang mampu membangun komunikasi politik dengan semua elemen sosial-politik yang ada di Maluku, di Indonesia, bahkan di ranah internasional. Kepemimpinan GPM ke depan benar-benar harus memperhitungkan kapabilitas komunikasi politik karena sejumlah persolaan krusial yang dihadapi oleh GPM memang menghadapkan kita pada kemampuan semacam itu. Jika tidak, GPM hanya akan kembali dalam “kurungan” gereja yang sibuk dengan diri sendiri, asyik-masyuk dengan persoalan-persoalan ritual, maniso dengan urusan-urusan administratif, padahal sama sekali tidak punya akses untuk “mendengar” dan “didengar” oleh kekuatan-kekuatan sosial-politik yang sedang terus berupaya menelikung potensi-potensi kegerejaan kita.
Saya kira hal itu merupakan critical point untuk merumuskan program-program pelayanan kita mulai dari masalah “70:30” hingga ke masalah “rumput laut”, yang bagi saya (yang bukan profesor) ini juga tidaklah sesederhana seperti yang disampaikan oleh Wakil Menteri Perindag RI. Karena dalam konteks Indonesia, diskursus tentang ekonomi kerakyatan kerap bertabrakan dengan ekonomi korporat (multinasional) dan kepentingan investor (domestik dan asing) yang “setia” saling berselingkuh dengan penguasa untuk kepentingan-kepentingan kapitalisme korporasi.
Dengan catatan singkat ini saya ingin mengucapkan: SELAMAT BERSIDANG! TETE MANIS KASI HIKMAT PAR BASUDARA!
No comments:
Post a Comment