Aku menulis maka aku belajar
Monday, January 24, 2011
Kalau Tuhan Kentut...
Agama-agama dunia – sebutlah demikian – dan terutama yang bertradisi sejarah abrahamik atau ibrahimi (Yahudi, Kristen, dan Islam – berikut seluruh sekte dan sempalannya) sejak mulanya menganut paham monoteisme. Percaya bahwa Allah itu esa; tunggal; monolitik; tak terbagi; tak beranak. Juga, hampir seluruh pemahaman definitif tentang “tuhan” itu dibahasakan secara negatif (Tuhan itu tidak pemarah; Tuhan itu tidak pendendam; dll). Ada memang yang membahasakan hakikat sang Tuhan itu dengan terminologi positif.
Namun, hampir seluruh artikulasi mengenai hakikat sang Tuhan itu selalu bercermin dari realitas kedirian manusia. Kalau manusia bisa dikuasai oleh dendam maka Tuhan itu tidak pendendam. Kalau manusia bisa terjerumus dalam nafsu kebencian maka Tuhan itu penuh kasih. Kalau manusia terbelenggu oleh dosa maka Tuhan itu pasti yang maha suci dan tak berdosa. Figurisasi hakikat sang Tuhan semacam ini yang dalam narasi-narasi keagamaan disebut “antropomorfisme”. Suatu upaya menggambarkan Tuhan menurut skema manusiawi; yang dipercaya oleh manusia sebagai “yang melampaui” realitas, tetapi justru ingin dijelaskan sebagai realitas. Diyakini tak kelihatan tapi justru selalu ingin didefinisikan secara normatif seolah-olah sang Tuhan itu kelihatan. Bahkan mengawasi tingkah polah manusia. Semacam simptom panoptik yang pernah disebut-sebut oleh Michel Focault.
Puncak artikulasi teologis agama-agama abrahamik itu adalah pada kekuatan “kata” atau “firman” (word, logos). Alkitab dimulai dengan narasi penciptaan dunia yang terjadi karena kekuatan “Firman Tuhan”. Ayat-ayat Al-Quran diyakini sebagai “Firman Allah SWT” yang langsung didengar oleh nabi Muhamad SAW. Itu juga yang rupanya menjadi kekuatan dalam pelestarian ajaran-ajaran agama yang ditransmisikan melalui “misi” dan “dakwah” yang lebih terpusat pada kekuatan “kata-kata” sebagai media mengalirnya “Firman Tuhan” itu. Kata, bahasa, dan percakapan menjadi kunci untuk memahami sang Tuhan itu. Ini bukan sesuatu yang mengherankan jika kita melihat bahwa kekuatan dan daya tahan suatu kebudayaan dan peradaban juga sangat dipengaruhi oleh “power of words” yang tertuang dalam tradisi-tradisi lisan dan tulisan. Tapi, lagi-lagi, penggambaran tentang Tuhan yang berfirman itu toh terpantul dari kapasitas budaya manusia untuk menggunakan media bahasa dalam berkomunikasi secara internal maupun lintas budaya.
Hanya saja, ketika membayangkan sang Tuhan itu dalam perwujudan antropos, seluruh pusat perhatian agama-agama tampaknya hanya tertuju pada kapasitas budaya manusia untuk berkata-kata. Padahal sebagai manusia, kita pasti menyadari bahwa eksistensi kita sangat rumit. Ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat pesat hanya karena membedah manusia dari berbagai aspeknya.
Nah, ini yang kemudian terpikirkan oleh saya. Salah satu hal yang menjadi bagian integral dari kehidupan kita sebagai manusia adalah KENTUT. Anda pernah kentut kan? Jangan malu-malu. Kentut itu bagian dari eksistensi kemanusiaan kita. Kalau anda tidak pernah kentut maka eksistensi kemanusiaan anda perlu dipertanyakan. Jangan-jangan anda adalah “alien” atau makhluk UFO (Unidentified Flying Object). Tentu tidak, bukan? Kita semua pernah dan selalu kentut. Tetapi cukup aneh bahwa ternyata aktivitas yang cukup vital dalam proses biologis dan sosiologis manusia ini ternyata luput dari upaya untuk memahami sang Tuhan dalam agama-agama. Saya tidak tahu kenapa. Mungkin karena kentut itu dianggap “kotor” karena keluar dari lubang anus. Mungkin juga karena kentut itu baunya tak sedap. Atau mungkin karena dalam hampir semua budaya masyarakat manusia, kentut itu dianggap sebagai “tanda ketidaksopanan”. Padahal, mulut kita juga bisa berbau tak sedap karena tidak gosok gigi berhari-hari. Atau mulut kita juga bisa mengumbar kata-kata tak sopan dan “kotor”, yang seharusnya keluar dari anus. Misalnya kata-kata umpatan “tai lu”. La, itu kan seharusnya keluar dari anus, tapi sering juga keluar dari mulut. Jadi, apa bedanya?
Dalam teologi agama[-agama], ternyata kentut tidak pernah difigurisasi sebagai salah satu bagian penting dari hakikat Tuhan. Cukup aneh. Lah, kalau banyak penganut agama-agama percaya manusia diciptakan Tuhan, dan Tuhan menciptakan metabolisme tubuh manusia sedemikian rupa sehingga manusia bisa kentut, tentu Tuhan juga bisa kentut dong… Masak Tuhan gak bisa kentut?!
Ini yang saya rasa penting untuk direnungkan. Bagaimana mengimajinasikan Tuhan kentut sebagaimana mengimajinasikan Tuhan berfirman? Yah, sorry aja, Anda tidak akan menemukan tentang kentut Tuhan dalam kitab-kitab suci semua agama. Jadi interpretasi teologis kita memang akan menyimpang dari kelaziman. Padahal, kalau kita percaya dan beriman bahwa Tuhan menciptakan manusia seutuhnya maka tentu kentut mesti dimaknai sebagai bagian dari cara manusia menjadi manusia yang utuh. Dan di situlah – dalam eksistensi dan pengalaman manusia, yakni kentut – manusia bisa merenungkan “ultimate concern” itu (Paul Tillich).
Sederhananya saya melihat begini. Kalau Tuhan kentut, tentu kita bisa juga memaknainya sebagai sebuah proses pembuangan “energi” yang tak diperlukan lagi. Proses biologis adalah sebuah proses penyerapan unsur-unsur penting (saripati) dari apa yang kita terima (atau telan), yang kemudian dilanjutkan oleh proses pemadatan residu-residunya yang berwujud gas dan feses. Kedua unsur yang disebut terakhir tidak bisa disimpan, tetapi harus dikeluarkan agar keseimbangan tubuh tetap terjaga. Jika tidak dikeluarkan, unsur-unsur gas dan feses itu bisa menjadi racun dalam tubuh.
Jika mengimajinasikan Tuhan kentut, saya melihat proses ini sebagai sebuah proses penyerapan energi “doa”, “ibadah”, “amal”, “persembahan”, “pergumulan” dll yang selalu tiap saat disampaikan manusia kepada Tuhan. Lantas, semua itu didengar dan diserap oleh Tuhan (tentu dalam bahasa antropomorfis – karena kita selalu mohon “Ya, Tuhan dengarlah doa kami”); yang kemudian ditelan “saripati”-nya. Kalau ada residu-residunya, tentulah itu unsur-unsur yang harus dibuang – salah satunya melalui kentut Tuhan. Kalau tidak, perut Tuhan pasti mules. Tuhan hanya menyerap “saripati” iman manusia, yang tentu saja cukup mengandung vitamin dan zat-zat spiritual yang menyehatkan. Embel-embel iman (termasuk kemunafikan) hanyalah residu yang akan keluar lewat kentut Tuhan.
Saya jadi teringat pesan Yesus agar kalau kita berdoa jangan bertele-tele. Mungkin Yesus juga mau bilang: Sampaikan kepada Tuhan “saripati” pergumulanmu. Kalau terlalu berlebihan nanti malah jadi kentut. Dibuang oleh Tuhan karena kalau disimpan perut Tuhan bisa mules. Pada bagian lain narasi Alkitab, saya juga teringat kisah janda miskin yang memberikan uang terakhir yang ada padanya. Yesus menjadikan pengorbanan janda ini sebagai teladan agar murid-muridnya juga memberikan “saripati” hidupnya. Tanpa atribut-atribut “kekayaan” atau “jabatan” seperti ibadah yang dilakukan oleh banyak orang kaya dan pemuka agama pada zaman Yesus. Semua itu hanya residu yang akan keluar jadi kentut Tuhan.
Mungkin anda bisa menambahkan contoh lainnya bagaimana menarasikan kentut Tuhan. Silakan. Monggo kerso. Tapi jangan tanya saya kentut Tuhan itu bunyinya seperti apa. Atau baunya seperti apa. Kalau anda paksa diri untuk tahu, yah, setidaknya anda bisa membayangkan sedikit bunyi kentut anda dan mencium bau kentut anda sendiri…. Monggo kerso. Silakan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment