Aku menulis maka aku belajar
Saturday, January 29, 2011
19011999-19012011
Tulisan ini sengaja saya susun setelah melewati tanggal 19 Januari 2011. Anda masih ingat peristiwa 19 Januari 1999? Semoga ingatan akan peristiwa itu belum luntur dari dinding benak kita. Meskipun saya menyadari bahwa bisa saja pembaca tulisan ini adalah generasi yang saat peristiwa itu terjadi masih berusia belia. Saya hanya ingin melihat seberapa jauh memori kolektif kita terhadap peristiwa kelam 19 Januari 1999 masih mengental. Namun rupanya tak banyak yang ingin menguak lagi kisah pahit “kerusuhan” Ambon pada 19 Januari 1999. Kendati saya percaya masih banyak orang yang mengingatnya, bahkan tetap hidup dalam kerangkeng trauma psikologis.
Sudah 12 tahun berlalu sejak peristiwa “kerusuhan” itu pecah. Namun, ingatan akan “kerusuhan” atau konflik sosial itu tentu masih kental dalam benak kita jika kita mengikuti bahwa intensitas konflik baru mereda secara gradual pada tahun 2005. Itu berarti situasi “normal” pascakonflik Ambon baru kita nikmati sekitar 6 tahun. Itupun kerap diinterupsi oleh sejumlah riak-riak kecil yang tak urung mengganggu proses normalisasi kehidupan sosial di Ambon dan Maluku.
Tulisan ini tidak berpretensi memaparkan cerita tragis penuh derita, tangis, dan darah. Tidak pula ingin mengorek-ngorek tentang kebenaran versi siapa yang mesti dipertahankan dan pihak mana yang bertanggung jawab penuh atas tragedi Maluku. Melalui tulisan ini saya hanya ingin menorehkan sedikit refleksi agar kita, terutama generasi pascakonflik di Maluku, tidak begitu saja melupakan dan mengabaikan sejarah kelam Maluku kontemporer di akhir abad ke-20 tersebut. Tetapi sekaligus saya tidak bermaksud mengeksplorasi sejarah kelam itu untuk sekadar mengingat, melainkan untuk memandang ke depan: apa yang masih bisa kita gali sebagai pelajaran masa depan bagi kehidupan bersama sebagai manusia Maluku?
Memaknai Kembali Relasi Agama-Politik di Indonesia
Konflik Maluku 1999 memberi pelajaran berharga kepada kita bahwa ranah agama dan politik bukanlah suatu ranah steril atau sakral. Dalam konteks sosial-budaya Indonesia, agama dan politik telah melakukan gerak interpenetrasi yang kreatif dan saling memanfaatkan. Konflik Maluku telah menyingkapkan suatu realitas sosiologis bahwa agama (dan juga konsep ketuhanan yang diusungnya) – terutama Kristen dan Islam – ternyata mengendapkan lumpur sejarah masa lalu di dasar teologinya dalam hubungan satu dengan yang lain. Endapan lumpur sejarah ini rapuh karena nyaris pada setiap zaman selalu diobok-obok sehingga mengeruhkan relasi-relasi sosial di kalangan para penganut agama.
Perselingkuhan agama dan politik merupakan suatu fakta sosial. Sejarah agama-agama memperlihatkan dengan jelas bahwa legitimasi kekuasaan ilahi telah menjadi faktor determinan dalam pengelolaan kekuasaan para klerus untuk memengaruhi dan melanggengkan kekuasaan individual maupun kelompok. Secara sosiologis, legitimasi ilahi yang mewujud dalam tafsir kitab suci telah memproduksi simpul-simpul kekuasaan di kalangan agamawan yang mendaku memiliki hak teologis untuk mengartikan kehendak Tuhan. Di sisi lain, kekuatan-kekuatan politik merasa mendapat infus kekuasaan ketika mampu menjadikan teologi agama[nya] sebagai pilar-pilar penopang kekuasaannya (dan kelompoknya).
Mengenang sejarah kelam konflik Maluku di sini hendak pula dimaknai sebagai upaya merefleksikan peran agama-agama untuk menjadi modus vivendi di tengah kegamangan relasional agama-politik. Namun, sudahkah peran-peran itu makin menguat pascakonflik Maluku? Ataukah justru agama-agama kini makin tenggelam dalam romantisme baru perselingkuhan agama-politik yang lebih menggiurkan?
Salam-Sarane sebagai Redefinisi Identitas Lokal
Konflik Maluku telah menyingkap tirai perselingkuhan agama-politik itu dengan gamblang. Suatu pelajaran dan pengalaman berharga bagi agama-agama untuk selalu kritis menilai apakah nilai-nilai keagamaan telah menjadi kekuatan moral bagi kebaikan sosial ataukah hanya menjadi sekadar kesalehan individual yang mempertegas segregasi sosial (ini Kristen vis a vis itu Islam, dsb) atas nama keselamatan ilahi yang diyakininya. Komunitas Salam-Sarane di Maluku telah menghadapi ujian berat yang menyoal seberapa tangguh nilai-nilai dan struktur-struktur budaya lokal bertahan terhadap gempuran desakralisasi agama ke dalam ranah pertarungan politik empiris.
Desakralisasi Salam-Sarane merupakan sebentuk upaya meluruhkan ikatan-ikatan kultural yang berkelindan dengan spiritualitas kedua agama abrahamik. Salam-Sarane tidak lagi tersekat sebagai identitas agama, tetapi telah membentuk lapisan-lapisan dialektis identitas kemalukuan. Oleh karena itu, dalam kosmologi budaya manusia Maluku, Salam-Sarane tidak bisa ditranslasi secara harfiah sebatas “Islam-Kristen”. Desakralisasi Salam-Sarane serta-merta mengikis-sistematis makna identitas kemalukuan itu sendiri. Maka sebagai orang Maluku, eksistensi kita kini lebih ditentukan oleh simbol-simbol keagamaan yang kita warisi dari generasi demi generasi; sementara simbol-simbol budaya makin tersisihkan dari diskursus kebudayaan kita.
Penonjolan identitas keagamaan makin mengeras, tapi solidaritas budaya tampaknya kian tergerus oleh apa yang kita sebut “perimbangan”. Hampir dalam setiap aspek – terutama pascakonflik – yang kita persoalkan adalah bagaimana kekuatan Islam berimbang dengan kekuatan Kristen, dan vice versa. Diskursus kebudayaan kita tidak lagi tertuju pada upaya memperkuat percakapan Salam-Sarane, karena bagi sebagian orang – apalagi yang tak mengenal gramatika budaya Maluku – itu tak menguntungkan kepentingan-kepentingan “nasional”. Kepentingan “nasional” itu seperti apa? Ternyata tak lebih dari kepentingan “Jakarta”, yang sulit dilepaskan sebagai patron politik dan budaya Indonesia. Kita – bangsa Maluku – makin terpinggirkan dan dibisukan oleh “gula-gula” politik “Jakarta”.
Sudah 12 tahun kita menapaki kegetiran sejarah kelam konflik Maluku. Ternyata tak banyak yang berubah kendati ribuan nyawa melayang sia-sia, milyaran rupiah melayang bersamaan dengan puing-puing sosial-ekonomi masyarakat, tak terhitung berapa social cost dari kebencian yang mengharu-biru nurani kita. Tak banyak yang berubah. Kita senang ada gong perdamaian yang berdiri di atas lahan yang pernah menjadi arena pertumpahan darah. Tapi itu tak cukup membuat kita bangga jika akar-akar perdamaian dan persaudaraan itu tidak tertanam dalam-dalam di tanah Maluku ini. Bahkan kita makin terpesona dengan bermunculannya real-estate mewah dan hotel-hotel megah, sementara persoalan pengungsi secara faktual belum tuntas.
Masih panjang deretan soal kita di Maluku, yang bisa menjadi penyulut baru jika kita tidak terus-menerus merekonsiliasi memori kolektif ini bersama sebagai anak-anak Salam-Sarane. Atau kita akan menguburnya dengan lantunan lagu “Jangan kamu takut, Aku adalah…” mengiringi pemakaman generasi Maluku yang makin amnesia di tengah hiruk-pikuk hip-hop dan romantisme “mari pulang bangun Maluku”? 19011999… siapa yang masih ingat?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment