Aku menulis maka aku belajar
Saturday, January 8, 2011
Mencetak Manusia Pelahap
Lahan bekas rumah sakit itu kini sedang dipersiapkan untuk bangunan baru. Bukan bangunan rumah sakit lagi, tetapi rencana pembangunan “Mal Maluku”. Sebuah pusat perbelanjaan baru, yang menurut rumor akan lebih “wah”, “megah”, dan “mewah”. Rumor itu bisa saja sebagian dianggap benar kalau menilik luas lahan – bekas rumah sakit – yang kini sedang dipersiapkan untuk pembangunan mal itu.
Sebagai orang biasa, saya bingung juga dengan rencana pembangunan Mal Maluku itu. Kebingungan saya hanya berdasarkan pikiran sederhana dan praktis kebanyakan orang: Apakah rakyat Maluku memang memerlukannya? Atau, apakah memang pembangunan mal ini adalah prioritas pembangunan kesejahteraan manusia Maluku setelah pemerintah daerah agak kelimpungan dihajar data BPS yang mengklaim Maluku sebagai provinsi termiskin ketiga di Indonesia? Ada setumpuk masalah serius yang mesti dihadapi secara sistematis dan strategis oleh pemda Maluku – di samping sejumlah masalah turunan konflik yang belum tuntas – memasuki dekade kedua abad ke-21 ini. Kepastian hukum atas kelompok-kelompok pengungsi terhadap tanah-tanah yang mereka tinggalkan karena konflik beberapa tahun silam; pembalakan liar yang mencukur habis hutan-hutan di Maluku; marjinalisasi kaum pencari ikan tradisional oleh ketimpangan kebijakan pembangunan bidang kelautan; rusaknya tata ruang kota yang makin “haram” bagi kenyamanan publik, dan lain-lain untuk menyebut segelintir masalah yang mendera kota Ambon dan provinsi Maluku.
Sekarang, ternyata yang menjadi acuan pembangunan adalah orientasi penguatan citra “modern”. Setidaknya di hampir semua kota pembangunan mal adalah daya dorong pencitraan modernisasi. Dalam urusan pencitraan semacam ini, maka media sudah pasti memegang peranan penting untuk menyebarkan aroma modernisasi itu terlebih dulu. Meski belum terlihat wujudnya – apalagi fungsinya secara menyeluruh. Pola-pola pembiusan massal oleh media semacam itu sudah menjadi bagian dari strategi pemasaran kaum kapitalis. Lihat saja lembar-lembar digital printing ukuran raksasa yang menggaungkan gaya hidup urban masa kini. Semuanya sedang mendesakkan suatu ideologi “new life style” yang pragmatis, minimalis, dan stylish. Mulai dari real-estate bertarif ratusan juta hingga iPhone atau iPad Apple berlabel belasan juta. Semua sedang dijejali ke dalam nalar publik. Ini bukan soal kebutuhan lagi, tapi soal gaya hidup. Tanpa semua atribut itu, manusia tak bisa disebut modern. Kalau sudah begitu, ya artinya “we are nothing”.
Lahan bekas rumah sakit itu mestinya bisa dikembalikan bagi pembangunan kembali rumah sakit yang memang dibutuhkan bagi layanan kesehatan masyarakat di kota Ambon. Tapi begitulah. Jika dihitung, bisa dipastikan jumlah hotel-hotel baru lebih banyak daripada fasilitas rumah sakit. Jangankan bangun rumah sakit. Yang ada sekarang ini saja – kecuali rumah sakit daerah – sudah megap-megap nyaris kehabisan oksigen untuk terus hidup menangani masalah kesehatan masyarakat di kota Ambon. Ternyata rumah sakit tak penting dibandingkan mal atau bahkan jembatan merah-putih.
Manusia Pelahap
Pencitraan media massa merupakan salah satu penanda perubahan pola nalar masyarakat kontemporer, termasuk di Maluku. Hampir seluruh waktu hidup manusia “modern” sekarang ini dihabiskan untuk berinteraksi melalui media (cetak dan elektronik). Jika konon Karl Marx pernah mengatakan “agama adalah candu” maka kini bisa saja Marx akan mengatakan “media adalah candu”. Ketika agama menggiring para penganutnya untuk khusuk menimbang-nimbang keselamatan surgawi dan abai pada keduniaan, Marx menuding agama semacam itu hanyalah kemabukan yang menyesatkan. Namun kini kemabukan itu sedang kita nikmati karena tawaran-tawaran ideologi gaya hidup baru oleh media massa (terutama televisi).
Kemabukan massal itu penting bagi daya kapitalisme mendongkrak profit setinggi-tingginya. Media tidak lagi menawarkan “sesuatu” untuk memenuhi kebutuhan manusia. Media justru sedang “menciptakan” kebutuhan itu terus-menerus, dan merangsang hasrat manusia untuk tidak cepat puas dalam membelanjakan apa saja demi gaya hidup. Media sedang mencipta kita menjadi manusia-manusia pelahap. Atau seperti yang dikatakan oleh Peter K. Fallon dalam The Metaphysics of Media: “We consume, and are consumed” (2009:196). Ledakan informasi (termasuk iklan-iklan komersial), menurut Fallon, memang sangat terkait dengan media elektronik. Ini terutama dialami oleh kalangan remaja dan pemuda, yang selalu menjadi mangsa empuk eksploitasi media. Fallon menyebutkan kaum remaja Amerika menghabiskan 3.518 jam per tahun – atau mendekati 5 bulan – untuk melahap media: 65 hari nonton tv, 41 hari mendengarkan siaran radio, dan seminggu untuk berinternet. Rata-rata kaum muda Amerika menghabiskan 900 jam per tahun di sekolah.
Persoalan Amerika ya biarlah itu menjadi persoalan di sono. Tapi gaya hidup dalam electric culture ini sedang melesat dengan kecepatan cahaya menusuk dan merasuk nalar kaum muda di seluruh dunia. Dengan satu pesan teonologis (teologis-teknologis): “jadikanlah semua bangsa pelahap-pelahap gaya hidup baru”. Dan “injil” media itu kini tengah menawarkan pembebasan hidup dan spiritualitas baru ke dalam hidup kaum muda sejagat.
Apa hubungannya dengan mal Maluku? Mungkin belum ada hubungannya. Namun, yang pasti seluruh proses digitalisasi kehidupan manusia kini sedang sibuk memutuskan tali-tali kekerabatan, persaudaraan, persahabatan antarmanusia. Proyek besar yang sedang digulirkan kini adalah mencetak manusia-manusia individualistik yang dirangsang agar lebih asyik-masyuk dengan dirinya dalam kemabukan pesona media elektronik dan virtual. Dalam kemabukan atau cognitive dissonance yang terkrital sedikit demi sedikit, kita dilumpuhkan sehingga hanya mampu accept tanpa reject. Semua kita terima karena kita meyakini apa yang ditawarkan oleh media adalah benar. Maka batas antara realitas dan ilusi pun makin menipis. Realitas diilusikan. Ilusi dijadikan realitas. Menjadi sebuah nama baru yang ganjil: reality show. Kita pun makin terhenyak dalam kenikmatan agama baru ini dan tergopoh-gopoh memberi diri dalam pertobatan menjadi manusia baru: manusia pelahap. Pelahap informasi. Pelahap gaya hidup. Pelahap gengsi. Tapi kita makin kesepian karena semuanya melahap untuk diri sendiri.
Mal Maluku sedang dibangun. Untuk kepentingan siapa? Kita sudah tahu jawabnya. Tapi kita seolah tak mampu menepis mimpi bahwa Maluku akan menjadi modern dengan berdirinya mal megah-mewah-wah di atas lahan bekas rumah sakit. Siapa yang diuntungkan? Kita juga sudah tahu jawabnya. Tapi lagi-lagi kita tak mampu menangkis kekuatan yang makin meminggirkan rakyat kecil-miskin-jelata-melata, karena kita pun ingin menikmati kemabukan dan tak sabar menjadi manusia pelahap. Ya, kan supaya sama seperti orang Amerika…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment