Sebenarnya ini adalah topik klasik yang pernah hangat diperbincangkan belasan tahun lampau. Sejauh yang saya tahu, isu ini pernah dimuat dalam salah satu edisi Jurnal Gema (Fakultas Theologia UKDW). Tetapi tampaknya – menurut pengalaman saya – banyak hal masih berkabut dan masih relevan untuk dibincangkan sebagai upaya menjernihkan beberapa hal yang relatif tidak jelas atau kerap menjadi bahan perdebatan. Saya ingin mulai dengan memaparkan apa yang saya sebut “tiga lapis narasi berteologi”.
Narasi pertama
Saya mengikuti salah satu sesi Kuliah Alih Tahun (KAT) PERSETIA tahun 1998 seputar “Doing Contextual Theology in Asia” oleh Prof. Dr. Choan-Seng Song (Pacific School of Religion, Berkeley). Salah satu pernyataan yang cukup menantang darinya adalah “Saya punya pengalaman unik dengan Karl Barth. Selama studi teologi saya, saya telah membaca seluruh seri Church Dogmatic Barth. Tidak hanya itu. Saya pernah mendapat kesempatan duduk di bawah kaki Karl Barth dan mendengarkan kuliahnya. Tapi, sejak ia membuka mulutnya untuk berbicara dan mengakhiri kuliahnya, saya tidak mengerti sebagian besar apa yang ia bicarakan. Semua terasa mengawang-awang di langit dan tidak menyentuh realitas saya sebagai manusia yang hidup dalam suatu konteks kemanusiaan di Asia.”
Narasi kedua
Pernah pada suatu masa, aktivitas berteologi pada sekolah-sekolah teologi didominasi oleh kajian biblika. Matakuliah-matakuliah biblika menjadi primadona dan dianggap “wow” di kalangan para sarjana teologi. Bahkan seorang dosen teologi yang jebolan salah satu universitas di Eropa pernah mengatakan bahwa “Dalam kajian biblika tidak perlu dipaksakan untuk dikontekstualisasikan, karena itu hanya akan mereduksi keilmiahan ilmu teologi (biblika) itu sendiri.” Maka hampir seluruh catatan eksplorasi biblika penuh sesak dengan catatankaki-catatankaki yang merujuk ke teks-teks klasik atau kodeks-kodeks yang dikatalogisasi menurut standarisasi keilmuan di belahan “Barat”. Kajian biblika tak perlu langsung bersentuhan dengan realitas kontekstual tertentu pada masa kini.
Narasi ketiga
Diskursus teologi di Indonesia sempat diramaikan oleh munculnya sejumlah publikasi teologi (artikel, tesis, disertasi) yang mencoba mempertautkan secara kreatif eksplorasi “master narratives” dalam teologi [Barat] dengan realitas pergumulan kontekstual-kemanusiaan dalam konteks Indonesia. Sebutlah Gerrit Singgih, sarjana biblika yang menaruh perhatian serius pada upaya kontekstualisasi di Indonesia; Andreas Yewangoe, seorang teolog sistematika yang menulis disertasi tentang realitas kemiskinan di Asia sebagai titik pijak memahami teologi salib; Eka Darmaputera, teolog sistematika lainnya yang juga serius mendialogkan diskursus kebudayaan dan politik di Indonesia dengan pemikiran teologi melalui kajian tentang Pancasila; John Titaley, sarjana biblika yang mengembangkan pendekatan sociological exegetic dengan mendiskusikan kajian biblika dan kajian teoretis ilmu-ilmu sosial; Zakaria Ngelow, sejarawan gereja yang menulis disertasi “Kekristenan dan Nasionalisme” dan aktif dalam gerakan pluralism di Indonesia; Th. Sumartana, yang mengembangkan kajian sosiologi agama dengan mempelajari kekristenan di Jawa dalam pergolakan konteks ruang dan waktu tertentu; Mariane Katoppo, teolog perempuan Indonesia yang sejak era 1970an bukunya "Compassionate and Free" telah menjadi rujukan internasional dalam membedah teologi feminis (baru diterjemahkan hampir 30 tahun kemudian, beberapa bulan sebelum ia meninggal dunia - karena dilarang oleh rezim Orde Baru); Eben Nuban Timo, teolog sistematika (dogmatika) yang mendialogkan dengan serius tradisi-tradisi teologis Barthian dengan realitas budaya lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT); dan beberapa lainnya.
Tiga lapis narasi tersebut sebenarnya upaya saya untuk memodelkan wacana teologi yang berkembang di Indonesia. Namun demikian, saya percaya bahwa sebagai model tentu saja itu tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Apa yang menjadi perhatian saya sebenarnya adalah: bagaimana model-model berteologi tersebut mampu menyumbang pada konstruksi teologi yang benar-benar serius menanggapi pergumulan dan pergulatan kemanusiaan? Ataukah seluruh wacana berteologi kita hanya penuh dengan hiruk-pikuk dan hingar-bingar membicarakan penulis-penulis “bule” yang telah memproduksi puluhan jilid buku teologi dan/atau filsafat-teologi?
Pertanyaan tersebut kemudian juga menggiring pada metode penelitian teologi yang kerap ditandai sebagai metode penelitian yang kabur dan tidak jelas. Jika menggunakan analisis teks, maka ada anggapan bahwa itu bukan metode penelitian teologi, tapi metode penelitian linguistik (sastra). Jika bermaksud menggarap ranah konteks, maka ada anggapan bahwa itu adalah metode penelitian sosial (sosiologi, antropologi, psikologi-sosial). Demikian juga dengan eksplorasi dialogis ide-ide “teologis” dan “filosofis” sebagaimana yang dilakukan oleh para sesepuh teologis seperti Karl Barth, Jurgen Moltmann, Paul Tillich, hingga John Cobb.
Ada yang berkelit dengan mengatakan bahwa "teologi" adalah ilmu yang memanfaatkan pendekatan interdisipliner dan karena itu sah-sah saja semua dipakai. Kendati, pada pihak yang lain, istilah "ilmu" itu sendiri agak dipersoalkan berkaitan dengan apa yang disebut perspektif keilmuan (epistemologi, paradigma, metode riset, teoretisasi), sehingga kemudian menuduh teologi hanyalah semacam metode kontemplasi personal dengan elaborasi filosofis yang canggih (sophisticated).
Catatan ini hanya ingin membuka sedikit celah percakapan di antara banyak isu-isu besar (grand-narratives) yang memadati dinding forum teologi dan biblika ini. [steve gaspersz]
Read more ...
Narasi pertama
Saya mengikuti salah satu sesi Kuliah Alih Tahun (KAT) PERSETIA tahun 1998 seputar “Doing Contextual Theology in Asia” oleh Prof. Dr. Choan-Seng Song (Pacific School of Religion, Berkeley). Salah satu pernyataan yang cukup menantang darinya adalah “Saya punya pengalaman unik dengan Karl Barth. Selama studi teologi saya, saya telah membaca seluruh seri Church Dogmatic Barth. Tidak hanya itu. Saya pernah mendapat kesempatan duduk di bawah kaki Karl Barth dan mendengarkan kuliahnya. Tapi, sejak ia membuka mulutnya untuk berbicara dan mengakhiri kuliahnya, saya tidak mengerti sebagian besar apa yang ia bicarakan. Semua terasa mengawang-awang di langit dan tidak menyentuh realitas saya sebagai manusia yang hidup dalam suatu konteks kemanusiaan di Asia.”
Narasi kedua
Pernah pada suatu masa, aktivitas berteologi pada sekolah-sekolah teologi didominasi oleh kajian biblika. Matakuliah-matakuliah biblika menjadi primadona dan dianggap “wow” di kalangan para sarjana teologi. Bahkan seorang dosen teologi yang jebolan salah satu universitas di Eropa pernah mengatakan bahwa “Dalam kajian biblika tidak perlu dipaksakan untuk dikontekstualisasikan, karena itu hanya akan mereduksi keilmiahan ilmu teologi (biblika) itu sendiri.” Maka hampir seluruh catatan eksplorasi biblika penuh sesak dengan catatankaki-catatankaki yang merujuk ke teks-teks klasik atau kodeks-kodeks yang dikatalogisasi menurut standarisasi keilmuan di belahan “Barat”. Kajian biblika tak perlu langsung bersentuhan dengan realitas kontekstual tertentu pada masa kini.
Narasi ketiga
Diskursus teologi di Indonesia sempat diramaikan oleh munculnya sejumlah publikasi teologi (artikel, tesis, disertasi) yang mencoba mempertautkan secara kreatif eksplorasi “master narratives” dalam teologi [Barat] dengan realitas pergumulan kontekstual-kemanusiaan dalam konteks Indonesia. Sebutlah Gerrit Singgih, sarjana biblika yang menaruh perhatian serius pada upaya kontekstualisasi di Indonesia; Andreas Yewangoe, seorang teolog sistematika yang menulis disertasi tentang realitas kemiskinan di Asia sebagai titik pijak memahami teologi salib; Eka Darmaputera, teolog sistematika lainnya yang juga serius mendialogkan diskursus kebudayaan dan politik di Indonesia dengan pemikiran teologi melalui kajian tentang Pancasila; John Titaley, sarjana biblika yang mengembangkan pendekatan sociological exegetic dengan mendiskusikan kajian biblika dan kajian teoretis ilmu-ilmu sosial; Zakaria Ngelow, sejarawan gereja yang menulis disertasi “Kekristenan dan Nasionalisme” dan aktif dalam gerakan pluralism di Indonesia; Th. Sumartana, yang mengembangkan kajian sosiologi agama dengan mempelajari kekristenan di Jawa dalam pergolakan konteks ruang dan waktu tertentu; Mariane Katoppo, teolog perempuan Indonesia yang sejak era 1970an bukunya "Compassionate and Free" telah menjadi rujukan internasional dalam membedah teologi feminis (baru diterjemahkan hampir 30 tahun kemudian, beberapa bulan sebelum ia meninggal dunia - karena dilarang oleh rezim Orde Baru); Eben Nuban Timo, teolog sistematika (dogmatika) yang mendialogkan dengan serius tradisi-tradisi teologis Barthian dengan realitas budaya lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT); dan beberapa lainnya.
Tiga lapis narasi tersebut sebenarnya upaya saya untuk memodelkan wacana teologi yang berkembang di Indonesia. Namun demikian, saya percaya bahwa sebagai model tentu saja itu tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Apa yang menjadi perhatian saya sebenarnya adalah: bagaimana model-model berteologi tersebut mampu menyumbang pada konstruksi teologi yang benar-benar serius menanggapi pergumulan dan pergulatan kemanusiaan? Ataukah seluruh wacana berteologi kita hanya penuh dengan hiruk-pikuk dan hingar-bingar membicarakan penulis-penulis “bule” yang telah memproduksi puluhan jilid buku teologi dan/atau filsafat-teologi?
Pertanyaan tersebut kemudian juga menggiring pada metode penelitian teologi yang kerap ditandai sebagai metode penelitian yang kabur dan tidak jelas. Jika menggunakan analisis teks, maka ada anggapan bahwa itu bukan metode penelitian teologi, tapi metode penelitian linguistik (sastra). Jika bermaksud menggarap ranah konteks, maka ada anggapan bahwa itu adalah metode penelitian sosial (sosiologi, antropologi, psikologi-sosial). Demikian juga dengan eksplorasi dialogis ide-ide “teologis” dan “filosofis” sebagaimana yang dilakukan oleh para sesepuh teologis seperti Karl Barth, Jurgen Moltmann, Paul Tillich, hingga John Cobb.
Ada yang berkelit dengan mengatakan bahwa "teologi" adalah ilmu yang memanfaatkan pendekatan interdisipliner dan karena itu sah-sah saja semua dipakai. Kendati, pada pihak yang lain, istilah "ilmu" itu sendiri agak dipersoalkan berkaitan dengan apa yang disebut perspektif keilmuan (epistemologi, paradigma, metode riset, teoretisasi), sehingga kemudian menuduh teologi hanyalah semacam metode kontemplasi personal dengan elaborasi filosofis yang canggih (sophisticated).
Catatan ini hanya ingin membuka sedikit celah percakapan di antara banyak isu-isu besar (grand-narratives) yang memadati dinding forum teologi dan biblika ini. [steve gaspersz]