Peristiwanya terjadi beberapa minggu silam. Pulang membeli sebuah buku (Gerry van Klinken, Perang Kota Kecil, Penerbit KITLV Jakarta), saya mampir ke warung burjo (bubur-kacang-ijo) langganan di belakang kampus. Hari itu warung burjo cukup ramai pengunjung, yang sebagian besar mahasiswa. Sambil menunggu pesanan nasi telor (nastel), saya membolak-balik halaman buku untuk sepintas melihat isi dan butir-butir pembahasan tertentu.
Sementara asyik membaca, tiba-tiba seorang pemuda menimbrungi keasyikan saya: "Buku baru ya pak?" Saya pun menimpali: "Iya, baru beli tadi." Saya pikir hanya percakapan basa-basi. Ternyata tidak. Ia masih lanjut bertanya setelah sekilas saya tunjukkan judulnya, "Wah, buku bagus dan berat. Pasti ini bacaannya mahasiswa S2 atau S3." Saya hanya menanggapi dengan tersenyum.
Antrean yang panjang membuat si pemuda merasa bosan menunggu dan ia pun duduk semeja tepat di depan saya. Saling bertanya dan menjawab kemudian mengalir begitu saja. Saya pun memutuskan untuk menutup buku dan meladeni percakapan dengannya. Setelah ia berhasil memesan makanan dan saya juga mulai menyantap nastel saya, percakapan kami mulai melebar dan meluas. Mulai dari isi buku, yang berisi analisis Van Klinken tentang konflik massif di tiga wilayah di Indonesia (Maluku, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat), hingga ke isu-isu kontemporer tentang dialog antaragama dan sejumlah regulasi "aneh" yang - menurut teman ini - benar-benar telah menciderai relasi-relasi kemanusiaan di Indonesia.
Percakapan berlangsung cukup lama tanpa kami saling memperkenalkan nama masing-masing. Baru kemudian kami tersadar dan kemudian saling memperkenalkan nama, serta aktivitas keseharian. SH mengatakan bahwa ia sedang studi magister hukum sambil bekerja pada salah satu kantor pengacara di Jogja.
Makin lama percakapan kami kian serius sampai ke pokok-pokok ajaran agama: Islam dan Kristen. Dialog ini berlangsung santun dan cerdas. Kami saling menyadari - meskipun tidak mengungkapkan langsung - bahwa dialog kami di warung burjo ini sedang merepresentasikan dua pandangan keagamaan yang berbeda. Kami saling menjaga keberjarakan kritis tetapi tetap melanjutkan dialog secara terbuka. Makanan kami sudah habis dan pengunjung warung burjo pun menyusut. Tetapi kami masih melanjutkan dialog sambil memesan minuman untuk makin menghangatkan percakapan.
Sebenarnya "materi" dialog masih panjang. Tetapi berhubung esok pagi kami masih punya aktivitas masing-masing maka kami pun sepakat mengakhirinya saat itu, sambil bertukar nomor handphone untuk melanjutkannya lain waktu. Di akhir perpisahan, kami saling mengucapkan terima kasih atas dialog yang kritis, segar dan terbuka selama hampir 3 jam di warung burjo.
Sesampai di kamar kos, saya mencoba merefleksikan perjumpaan dan dialog dengan SH tadi. Sama sekali tak menyangka bahwa di warung burjo - jauh dari kesan "wah" dan elitis - kami yang awalnya tidak saling kenal ternyata dapat menjalin percakapan "berat" dan "sensitif" hingga tiba pada taraf pencerahan bersama: kemanusiaan - apapun corak identitasnya (agama, etnisitas, dll) - hanyalah dapat terbangun melalui tindakan komunikatif yang tulus, terbuka, dan cerdas. Tulus, karena dialog dibangun bukan untuk kepentingan sepihak; terbuka, karena dialog hanya bisa terjadi ketika setiap pihak tidak terkungkung dalam cangkang primordialismenya sendiri; cerdas, dialog antariman bukanlah dialog surgawi/nerakawi melainkan dialog yang bersumber dari keprihatinan kemanusiaan. Untuk itu memang dibutuhkan nalar untuk menelusuri kekayaan dimensionalnya (sejarah, fakta sosial, etika, kebudayaan, politik, dll).
Aku menulis maka aku belajar
Thursday, April 4, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment