Aku menulis maka aku belajar

Thursday, April 18, 2013

Teologi Ujung Tanduk: Menapaki Tahun ke-128 Pendidikan Teologi di Maluku


Pengantar
Pada tahun 2005 saya terlibat dalam aktivitas penelitian teologi kontekstual yang diinisiasi oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Penelitian tersebut disasarkan pada empat wilayah: Nias, Toraja, Ambon, dan Papua; dengan melibatkan para peneliti yang diseleksi dari Jakarta dan wilayah-wilayah tersebut. Jadi penelitian dilakukan secara tandem (berpasangan) agar perspektifnya saling melengkapi antara peneliti Jakarta dan peneliti lokal. Saya berpasangan dengan Pdt. Sulaiman Manguling, pendeta Gereja Toraja dan dosen STT Rantepao di Toraja. Jadi jelas penelitian kami dilakukan di Tana Toraja selama enam minggu.

Melakukan penelitian di wilayah yang sama sekali baru tentu mempunyai tantangan tersendiri. Untunglah, dua hari sebelum ke Toraja saya menginap di rumah Pdt. Dr. Zakaria Ngelow di kompleks perumahan dosen STT Intim Makassar. Waktu dua hari itu saya gunakan untuk mendiskusikan banyak hal tentang kebudayaan Toraja dan corak kekristenan Toraja dengan pak Ngelow sebagai pengetahuan awal melengkapi hal-ihwal Toraja yang sempat saya baca dari beberapa literatur. Di Toraja, meskipun hari-hari pertama terasa berat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tinggal di rumah anggota jemaat di Buatalulolo dan juga pemahaman bahasa daerah, tapi lambat laun saya bisa beradaptasi dengan bantuan Pdt. Sulaiman Manguling. Ia mendampingi saya selama beberapa waktu dan mengajarkan saya falsafah dasar hidup orang Toraja serta beberapa kosa kata Toraja untuk percakapan ringan sehari-hari.

Singkat kata, proses penelitian kami lakukan dengan berbagai dinamikanya. Namun, momen yang paling berkesan adalah ketika saya mendapatkan kesempatan (dan itu langka!) untuk mengikuti upacara Rambu Solo’, upacara kematian orang Toraja. Upacara adat ini adalah upacara besar yang melibatkan ratusan warga kampung (dari beberapa desa) yang masih punya hubungan kerabat dengan keluarga penyelenggara Rambu Solo’, serta dilakukan sekitar 7 hari 7 malam. Pemandangan khas dari upacara Rambu Solo’ adalah iring-iringan kerbau dengan tanduk yang panjangnya melebihi tanduk kerbau umumnya. Ini memang kerbau-kerbau pilihan yang harga per ekor bisa mencapai lebih dari Rp 100 juta. Derajat kebangsawanan orang yang meninggal (dan keluarganya) umumnya diukur dari berapa banyak kerbau yang disertakan dan dikurbankan dalam upacara tersebut. Waktu itu jumlahnya cukup fantastis: ada sekitar 80 ekor kerbau pilihan. Percaya atau tidak percaya, seorang teman pendeta Gereja Toraja pernah mengatakan bahwa ada upacara Rambu Solo’ yang menghabiskan biaya sebesar Rp 50 miliar. Luar biasa!

Tanduk-tanduk kerbau yang dikurbankan kemudian dipajang bersusun pada bagian depan atas tongkonan (rumah adat) keluarga. Makin banyak susunan tanduk kerbau pilihan suatu tongkonan, makin tinggi derajat kebangsawanan keluarga orang yang meninggal itu. Dari kenyataan itu maka orang Kristen Toraja kerap merefleksikan teologi mereka dengan mengacu pada realitas dan makna kematian, serta teologi tanduk kerbau. Di Toraja, kematian adalah sebuah perayaan (celebration) di mana orang yang meninggal diantar menuju “surga” dengan sukacita dan pesta akbar. Kematian dipahami sebagai krisis yang dipulihkan melalui upacara adat Rambu Solo’. Keluarga bahu-membahu membiayai pelaksanaan upacara itu dan menjadi momentum untuk menegakkan martabat keluarga besar.

Sementara itu, susunan tanduk kerbau pada tongkonan menjadi acuan refleksi teologis penghormatan pada leluhur dan orangtua. Tanduk kerbau terpahami sebagai instrumen kosmik yang menyatukan kehidupan dan martabat leluhur dengan kehidupan dan martabat anak-cucu pada masa kini. Ada wilayah “antara” yang terjembatani dengan simbol tanduk kerbau sehingga dunia orang mati dan dunia orang hidup dipahami sebagai dunia yang satu dan tidak terpisahkan. Totalitas hidup adalah kehidupan dan kematian. Bagi orang Toraja, kematian bukanlah kembali ke tanah, tetapi justru berada di atas tanah. Orang Toraja tidak menguburkan jenazah tetapi menaruhnya di atas tanah dalam gua-gua alami maupun buatan karena tanah dipercaya sebagai “dunia jahat”. Tidak mungkin mengubur jenazah orang yang dikasihi di dunia jahat (tanah); harus di atasnya.

Teologi Ujung Tanduk
Sekelumit kisah penelitian saya di atas bermaksud memperlihatkan betapa berharganya tanduk kerbau dalam kosmologi kebudayaan orang Toraja, yang pada gilirannya mempengaruhi cara mereka merefleksikan iman Kristen secara kontekstual di Toraja. Kita, yang bukan orang Toraja, bisa saja geleng-geleng kepala ketika mendengar nominal rupiah yang dihabiskan untuk upacara kematian Rambu Solo’; atau bisa juga menjatuhkan vonis bahwa kebudayaan itu hanya sebuah pemborosan, lebih baik uangnya dipakai untuk membiayai hal-hal lain yang lebih positif menurut pikiran kita dan latar budaya kita yang non-Toraja. Namun, pengalaman penelitian tersebut membawa kesadaran saya pada hal penting dalam berteologi kontekstual, yaitu pemahaman mendalam, atau thick description kata Clifford Geertz, terhadap fenomena kebudayaan suatu masyarakat. Fenomena kebudayaan ibarat jejaring makna-makna simbolik yang berkelindan membentuk wujud kebudayaan dan relasi-relasi sosial di dalamnya. Tanpa memahami jejaring makna-makna simbolik tersebut maka orang tidak akan memahami praktik-praktik kebudayaan suatu masyarakat.

Namun demikian, dalam bagian ini saya ingin membicarakan tentang “ujung tanduk”. Ini adalah istilah kiasan yang berarti “sedang berada dalam situasi krisis, berbahaya, dan terancam”. Biasanya orang mengatakan “hidupku di ujung tanduk” ketika sedang menghadapi saat-saat genting yang mengancam eksistensi hidupnya. Ancaman kehidupan itu sangat serius karena bisa berakibat hilangnya sesuatu paling berharga dalam hidupnya atau bahkan hilangnya kehidupan itu sendiri alias mati. Jadi, “ujung tanduk” utamanya berkonotasi krisis yang berujung kematian. Kematian dilihat sebagai realitas yang menakutkan karena dapat meniadakan kehidupan. Kalau kehidupan sudah tidak ada maka berakhirlah eksistensi manusia. Manusia tidak ada lagi ketika kematian datang. Kehidupan setelah kematian tidak dapat terbayangkan oleh manusia. Kematian adalah titik. Oleh karena itu, kematian adalah krisis ultim. Sedapat mungkin krisis ultim ini ditunda atau diperlambat meskipun disadari sepenuhnya tidak dapat dihentikan.

Lantas, apa hubungan “teologi” dan “ujung tanduk” sehingga harus disatukan menjadi istilah “teologi ujung tanduk”? Sedikit penjelasan mengenai “ujung tanduk” sudah diulas di atas. Sekarang istilah “teologi”. Secara etimologis, teologi merupakan kesatuan dua kata yang membentuk satu pengertian: theos dan logos – yang secara umum diartikan “pengetahuan atau percakapan tentang tuhan”. Istilah ini kemudian berkembang makin canggih seiring dengan perkembangan diskursus teologi pada pemahaman orang Kristen (mulanya), lingkungan ajaran gereja, dan komunitas kesarjanaan (scholarship) dalam ilmu teologi di seminari atau sekolah/fakultas teologi. Kompleksitas makna teologi itu sendiri dipengaruhi oleh persentuhannya dengan cabang ilmu-ilmu lain baik secara kolaboratif maupun distingtif.

Saya sendiri mengartikannya secara sederhana: teologi adalah pantulan (refleksi) pemikiran dan penghayatan keagamaannya yang mempengaruhi cara orang bertindak secara praktis dalam kehidupannya. Kata “refleksi” mengimajinasikan orang melakukan sesuatu secara aktif, bukan pasif. Yang dilakukannya adalah “memikirkan” dan “menghayati” dimensi keagamaannya (struktur kepercayaan, interpretasi teks-teks keagamaan, legitimasi doktriner, nilai yang dianut sebagai fermentasi ajaran keagamaan yang membentuk “iman”). Pemikiran dan penghayatan tersebut secara konstruktif mempengaruhi tindakan praktis dan etika: melakukan yang benar, hidup saleh atau takut tuhan dengan indikator empirik yang terlihat (pergi ke rumah ibadah, berdoa, memberi sumbangan kepada orang miskin, kontestasi simbol-simbol keagamaan, dll).

Dalam batasan definitif tersebut saya memahami teologi bukanlah sesuatu yang abstrak begitu saja (given), tetapi merupakan sebuah abstraksi dari realitas dan pengalaman konkret yang dihadapi manusia-manusia konkret vis-à-vis realitas misteri yang menjadi pencarian sepanjang hidup manusia. Jadi, teologi adalah “jawaban-jawaban sementara” orang beragama yang memadukan dimensi kenyataan dan misteri. Teologi bukan “jawaban final”. Oleh karena itu, pada setiap zaman orang-orang beragama selalu merumuskan “jawaban” atau “tanggapan” mereka terhadap isu-isu kontekstual yang dihadapi. “Jawaban” itu bersifat kontekstual. Artinya, itu hanya berlaku pada suatu zaman dan belum tentu berlaku pada zaman berikutnya. Dengan demikian, teologi adalah proses mencari dan merumuskan jawaban-jawaban [sementara] yang diperlukan untuk memahami persoalan kemanusiaan yang sedang dihadapi atau mengancam eksistensi kemanusiaan.

Dengan pengertian semacam itu maka “teologi ujung tanduk” dipahami sebagai pantulan (refleksi) pemikiran dan penghayatan keagamaannya yang mempengaruhi cara orang bertindak secara praktis menghadapi krisis dalam kehidupannya. Sisipan kata “krisis” menjadi signifikan karena menempatkan proses berteologi dalam keadaan yang tak menentu (uncertainty), khaos, dilema, ketimpangan, perubahan, ketidakadilan, ancaman terhadap kehidupan. Dalam kenyataan semacam itu maka proses berteologi tidak pernah berhenti bergerak untuk menentukan pijakan-pijakan substansial yang menolong manusia (orang beragama terutama orang Kristen) bertahan di tengah krisis kehidupan. Dengan perkataan lain, proses berteologi selalu disertai oleh kepekaan terhadap krisis kemanusiaan (sense of crisis), sebagaimana ditampilkan dalam Alkitab melalui tindakan para nabi, Yesus, dan para murid yang kemudian disebut rasul-rasul, hingga ke periode-periode pembentukan dan perkembangan jemaat awal serta beraneka ragam denominasi gereja masa kini.

Teologi Krisis atau Krisis Teologi?
Teologi Krisis yang saya maksud di sini adalah teologi ujung tanduk seperti yang telah diulas sebelumnya. Lantas, apakah bisa terjadi krisis teologi? Bisa saja. Krisis teologi terjadi ketika pada setiap titian ruang dan waktu tidak muncul refleksi pemikiran dan penghayatan iman sebagai bentuk jawaban sementara terhadap dinamika situasi problematik kemanusiaan. Haruskah? Menurut saya, harus! lantaran masyarakat membutuhkan pijakan-pijakan substansial untuk menghadapi tantangan zaman yang mengancam eksistensi kemanusiaan.

Orang-orang seperti Dietrich Bonhoeffer (Jerman), Martin Luther King, Jr. (Amerika Serikat), Mother Theresa (Calcutta), dan Mahatma Gandhi (India) adalah figur-figur utama yang mendobrak situasi krisis teologi pada zamannya masing-masing. Bonhoeffer mengorbankan nyawanya di saat gereja-gereja pada zamannya mengalami krisis teologi, lumpuh berhadapan dengan otoritarianisme Nazi-Hitler; Martin Luther King, Jr. gugur dalam perjuangan mewujudkan mimpinya tentang kesetaraan umat manusia di mana kekristenan Amerika Serikat mengalami krisis teologi menanggapi realitas diskriminasi ras di negara itu; Mother Theresa menggeluti realitas kemiskinan di Calcutta di saat kekristenan dan gereja-gereja mengalami krisis teologi untuk menjawab masalah keberpihakan pada kaum miskin; Mahatma Gandhi, seorang Hindu, yang beraskese dalam perjuangan dan penderitaan melawan tirani kolonial nirkekerasan dan mengangkat martabat kemanusiaan di saat agama-agama bungkam menyikapi kolonialisme di India.

Nama-nama besar itu menjadi contoh bahwa krisis teologi dapat terjadi ketika krisis kemanusiaan pada ruang dan waktu tertentu tidak menggugah kepekaan kita terhadapnya dan tidak menjadi keprihatinan utama yang mengarahkan proses berteologi orang Kristen secara partikular. Dengan begitu maka tidak muncul jawaban atau tanggapan teologis yang dapat menjadi pijakan substansial orang Kristen menghadapi situasi krisis atau “ujung tanduk” dalam hidupnya.

Proses berteologi berlangsung dalam kehidupan setiap orang Kristen tanpa terkecuali. Setiap orang [Kristen] punya cara merefleksikan pemikiran dan penghayatan imannya secara khas. Semua refleksi itu perlu didengar, diperhatikan, disimak dan dihayati agar orang lain dapat belajar bagaimana kearifan teologis setiap orang berfungsi menjadi pijakan substansial mengatasi krisis hidupnya. Di sini keberadaan sekolah/fakultas teologi menjadi penting untuk menangkap sinyal-sinyal kegelisahan suatu zaman lalu mematangkannya melalui proses-proses diskursif keilmuan yang disiplin agar “teologi kehidupan” orang Kristen pada umumnya dapat mendorong terbangunnya “kehidupan [yang] teologis” yang dengannya orang Kristen [jemaat] menemukan jawaban sementara untuk bertahan dalam situasi “ujung tanduk”. Kehidupan [yang] teologis sebenarnya merupakan proses mengalami kehidupan sebagai suatu totalitas yang dinamis, tidak statis. Kehidupan diterima, bukan dinegasi. Kematian pun disyukuri sebagai realitas kehidupan menyongsong misteri.

Menapaki usia ke-128, pendidikan tinggi teologi di Maluku tidak diragukan telah menjadi bagian integral pergulatan eksistensial kemanusiaan Maluku. Merentang di setiap periode sejarah, sudah pasti banyak “jawaban-jawaban sementara” yang telah dilahirkan setelah melalui pematangan dalam “rahim” jemaat-jemaat dan asupan nutrisi keilmuan yang makin berkembang dari masa ke masa melalui geliat akademik di lembaga pendidikan tinggi teologi.

Toh, perjalanan 128 tahun tetap harus melewati tahapan-tahapan pengujian agar pendidikan tinggi teologi di Maluku c.q. Fakultas Teologi UKIM tetap berpijak pada paradigma teologi ujung tanduk: melahirkan refleksi-refleksi teologis yang substantif dan eksistensial di tengah-tengah krisis kemanusiaan di Maluku dan di Indonesia. Kajian biblika, teologi sistematika, teologi praktika, teologi kontekstual, dan teologi pastoral, semestinya memantulkan sense of crisis kemanusiaan sehingga mampu menjadi pijakan substansial orang Kristen dan jemaat-jemaat. Kepekaan terhadap krisis tersebut juga makin diperkuat oleh kajian interdisipliner sehingga teologi ujung tanduk makin relevan. Tanpa keterbukaan dan kesediaan saling melengkapi dalam proses pembelajaran teologi di fakultas ini maka akan terjadi pengerasan batas-batas keilmuan yang jumud. Jika sudah demikian maka bisa terjadi bukan teologi ujung tanduk melainkan “teologi [saling] tanduk”. Disiplin ilmu teologi menjadi pongah tanpa mengakui bahwa dirinya sedang terengah-engah menapaki jalan terjal krisis yang kian mengganas dan menggerogoti kemanusiaan. Alhasil, teologi produk fakultas teologi hanya menjadi realitas yang terbayangkan (imagined reality) tanpa pernah menjadi realitas yang teralami (experienced reality). Kata Wim Davidz, mendiang dosen senior fakultas teologi, “teologi hanya mengawang tapi tidak menggawang”.

Selamat! 

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces