Pengantar
Pada
tahun 2005 saya terlibat dalam aktivitas penelitian teologi kontekstual yang
diinisiasi oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi
Teologi (STT) Jakarta. Penelitian tersebut disasarkan pada empat wilayah: Nias,
Toraja, Ambon, dan Papua; dengan melibatkan para peneliti yang diseleksi dari
Jakarta dan wilayah-wilayah tersebut. Jadi penelitian dilakukan secara tandem
(berpasangan) agar perspektifnya saling melengkapi antara peneliti Jakarta dan
peneliti lokal. Saya berpasangan dengan Pdt. Sulaiman Manguling, pendeta Gereja
Toraja dan dosen STT Rantepao di Toraja. Jadi jelas penelitian kami dilakukan
di Tana Toraja selama enam minggu.
Melakukan
penelitian di wilayah yang sama sekali baru tentu mempunyai tantangan
tersendiri. Untunglah, dua hari sebelum ke Toraja saya menginap di rumah Pdt.
Dr. Zakaria Ngelow di kompleks perumahan dosen STT Intim Makassar. Waktu dua
hari itu saya gunakan untuk mendiskusikan banyak hal tentang kebudayaan Toraja
dan corak kekristenan Toraja dengan pak Ngelow sebagai pengetahuan awal
melengkapi hal-ihwal Toraja yang sempat saya baca dari beberapa literatur. Di
Toraja, meskipun hari-hari pertama terasa berat untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan tinggal di rumah anggota jemaat di Buatalulolo dan juga pemahaman
bahasa daerah, tapi lambat laun saya bisa beradaptasi dengan bantuan Pdt.
Sulaiman Manguling. Ia mendampingi saya selama beberapa waktu dan mengajarkan
saya falsafah dasar hidup orang Toraja serta beberapa kosa kata Toraja untuk
percakapan ringan sehari-hari.
Singkat
kata, proses penelitian kami lakukan dengan berbagai dinamikanya. Namun, momen
yang paling berkesan adalah ketika saya mendapatkan kesempatan (dan itu
langka!) untuk mengikuti upacara Rambu Solo’, upacara kematian orang Toraja.
Upacara adat ini adalah upacara besar yang melibatkan ratusan warga kampung (dari
beberapa desa) yang masih punya hubungan kerabat dengan keluarga penyelenggara
Rambu Solo’, serta dilakukan sekitar 7 hari 7 malam. Pemandangan khas dari
upacara Rambu Solo’ adalah iring-iringan kerbau dengan tanduk yang panjangnya
melebihi tanduk kerbau umumnya. Ini memang kerbau-kerbau pilihan yang harga per
ekor bisa mencapai lebih dari Rp 100 juta. Derajat kebangsawanan orang yang
meninggal (dan keluarganya) umumnya diukur dari berapa banyak kerbau yang
disertakan dan dikurbankan dalam upacara tersebut. Waktu itu jumlahnya cukup
fantastis: ada sekitar 80 ekor kerbau pilihan. Percaya atau tidak percaya,
seorang teman pendeta Gereja Toraja pernah mengatakan bahwa ada upacara Rambu
Solo’ yang menghabiskan biaya sebesar Rp 50 miliar. Luar biasa!
Tanduk-tanduk
kerbau yang dikurbankan kemudian dipajang bersusun pada bagian depan atas tongkonan (rumah adat) keluarga. Makin
banyak susunan tanduk kerbau pilihan suatu tongkonan, makin tinggi derajat
kebangsawanan keluarga orang yang meninggal itu. Dari kenyataan itu maka orang
Kristen Toraja kerap merefleksikan teologi mereka dengan mengacu pada realitas
dan makna kematian, serta teologi tanduk kerbau. Di Toraja, kematian adalah
sebuah perayaan (celebration) di mana
orang yang meninggal diantar menuju “surga” dengan sukacita dan pesta akbar.
Kematian dipahami sebagai krisis yang dipulihkan melalui upacara adat Rambu
Solo’. Keluarga bahu-membahu membiayai pelaksanaan upacara itu dan menjadi
momentum untuk menegakkan martabat keluarga besar.
Sementara
itu, susunan tanduk kerbau pada tongkonan menjadi acuan refleksi teologis
penghormatan pada leluhur dan orangtua. Tanduk kerbau terpahami sebagai
instrumen kosmik yang menyatukan kehidupan dan martabat leluhur dengan
kehidupan dan martabat anak-cucu pada masa kini. Ada wilayah “antara” yang
terjembatani dengan simbol tanduk kerbau sehingga dunia orang mati dan dunia
orang hidup dipahami sebagai dunia yang satu dan tidak terpisahkan. Totalitas
hidup adalah kehidupan dan kematian. Bagi orang Toraja, kematian bukanlah
kembali ke tanah, tetapi justru berada di atas tanah. Orang Toraja tidak
menguburkan jenazah tetapi menaruhnya di atas tanah dalam gua-gua alami maupun
buatan karena tanah dipercaya sebagai “dunia jahat”. Tidak mungkin mengubur
jenazah orang yang dikasihi di dunia jahat (tanah); harus di atasnya.
Teologi
Ujung Tanduk
Sekelumit
kisah penelitian saya di atas bermaksud memperlihatkan betapa berharganya
tanduk kerbau dalam kosmologi kebudayaan orang Toraja, yang pada gilirannya
mempengaruhi cara mereka merefleksikan iman Kristen secara kontekstual di
Toraja. Kita, yang bukan orang Toraja, bisa saja geleng-geleng kepala ketika
mendengar nominal rupiah yang dihabiskan untuk upacara kematian Rambu Solo’;
atau bisa juga menjatuhkan vonis bahwa kebudayaan itu hanya sebuah pemborosan,
lebih baik uangnya dipakai untuk membiayai hal-hal lain yang lebih positif menurut
pikiran kita dan latar budaya kita yang non-Toraja. Namun, pengalaman
penelitian tersebut membawa kesadaran saya pada hal penting dalam berteologi
kontekstual, yaitu pemahaman mendalam, atau thick
description kata Clifford Geertz, terhadap fenomena kebudayaan suatu
masyarakat. Fenomena kebudayaan ibarat jejaring makna-makna simbolik yang
berkelindan membentuk wujud kebudayaan dan relasi-relasi sosial di dalamnya.
Tanpa memahami jejaring makna-makna simbolik tersebut maka orang tidak akan
memahami praktik-praktik kebudayaan suatu masyarakat.
Namun
demikian, dalam bagian ini saya ingin membicarakan tentang “ujung tanduk”. Ini
adalah istilah kiasan yang berarti “sedang berada dalam situasi krisis,
berbahaya, dan terancam”. Biasanya orang mengatakan “hidupku di ujung tanduk”
ketika sedang menghadapi saat-saat genting yang mengancam eksistensi hidupnya.
Ancaman kehidupan itu sangat serius karena bisa berakibat hilangnya sesuatu
paling berharga dalam hidupnya atau bahkan hilangnya kehidupan itu sendiri
alias mati. Jadi, “ujung tanduk” utamanya berkonotasi krisis yang berujung
kematian. Kematian dilihat sebagai realitas yang menakutkan karena dapat
meniadakan kehidupan. Kalau kehidupan sudah tidak ada maka berakhirlah eksistensi
manusia. Manusia tidak ada lagi ketika kematian datang. Kehidupan setelah
kematian tidak dapat terbayangkan oleh manusia. Kematian adalah titik. Oleh
karena itu, kematian adalah krisis ultim. Sedapat mungkin krisis ultim ini
ditunda atau diperlambat meskipun disadari sepenuhnya tidak dapat dihentikan.
Lantas,
apa hubungan “teologi” dan “ujung tanduk” sehingga harus disatukan menjadi
istilah “teologi ujung tanduk”? Sedikit penjelasan mengenai “ujung tanduk”
sudah diulas di atas. Sekarang istilah “teologi”. Secara etimologis, teologi
merupakan kesatuan dua kata yang membentuk satu pengertian: theos dan logos – yang secara umum diartikan “pengetahuan atau percakapan
tentang tuhan”. Istilah ini kemudian berkembang makin canggih seiring dengan
perkembangan diskursus teologi pada pemahaman orang Kristen (mulanya),
lingkungan ajaran gereja, dan komunitas kesarjanaan (scholarship) dalam ilmu
teologi di seminari atau sekolah/fakultas teologi. Kompleksitas makna teologi
itu sendiri dipengaruhi oleh persentuhannya dengan cabang ilmu-ilmu lain baik
secara kolaboratif maupun distingtif.
Saya
sendiri mengartikannya secara sederhana: teologi
adalah pantulan (refleksi) pemikiran dan penghayatan keagamaannya yang
mempengaruhi cara orang bertindak secara praktis dalam kehidupannya. Kata
“refleksi” mengimajinasikan orang melakukan sesuatu secara aktif, bukan pasif. Yang
dilakukannya adalah “memikirkan” dan “menghayati” dimensi keagamaannya
(struktur kepercayaan, interpretasi teks-teks keagamaan, legitimasi doktriner,
nilai yang dianut sebagai fermentasi ajaran keagamaan yang membentuk “iman”).
Pemikiran dan penghayatan tersebut secara konstruktif mempengaruhi tindakan
praktis dan etika: melakukan yang benar, hidup saleh atau takut tuhan dengan
indikator empirik yang terlihat (pergi ke rumah ibadah, berdoa, memberi
sumbangan kepada orang miskin, kontestasi simbol-simbol keagamaan, dll).
Dalam
batasan definitif tersebut saya memahami teologi bukanlah sesuatu yang abstrak
begitu saja (given), tetapi merupakan
sebuah abstraksi dari realitas dan pengalaman konkret yang dihadapi
manusia-manusia konkret vis-à-vis realitas misteri yang menjadi pencarian
sepanjang hidup manusia. Jadi, teologi adalah “jawaban-jawaban sementara” orang
beragama yang memadukan dimensi kenyataan dan misteri. Teologi bukan “jawaban
final”. Oleh karena itu, pada setiap zaman orang-orang beragama selalu
merumuskan “jawaban” atau “tanggapan” mereka terhadap isu-isu kontekstual yang
dihadapi. “Jawaban” itu bersifat kontekstual. Artinya, itu hanya berlaku pada
suatu zaman dan belum tentu berlaku pada zaman berikutnya. Dengan demikian,
teologi adalah proses mencari dan merumuskan jawaban-jawaban [sementara] yang
diperlukan untuk memahami persoalan kemanusiaan yang sedang dihadapi atau
mengancam eksistensi kemanusiaan.
Dengan
pengertian semacam itu maka “teologi ujung tanduk” dipahami sebagai pantulan (refleksi) pemikiran dan
penghayatan keagamaannya yang mempengaruhi cara orang bertindak secara praktis menghadapi
krisis dalam kehidupannya. Sisipan kata “krisis” menjadi signifikan karena
menempatkan proses berteologi dalam keadaan yang tak menentu (uncertainty), khaos, dilema,
ketimpangan, perubahan, ketidakadilan, ancaman terhadap kehidupan. Dalam
kenyataan semacam itu maka proses berteologi tidak pernah berhenti bergerak
untuk menentukan pijakan-pijakan substansial yang menolong manusia (orang
beragama terutama orang Kristen) bertahan di tengah krisis kehidupan. Dengan
perkataan lain, proses berteologi selalu disertai oleh kepekaan terhadap krisis
kemanusiaan (sense of crisis),
sebagaimana ditampilkan dalam Alkitab melalui tindakan para nabi, Yesus, dan
para murid yang kemudian disebut rasul-rasul, hingga ke periode-periode
pembentukan dan perkembangan jemaat awal serta beraneka ragam denominasi gereja
masa kini.
Teologi
Krisis atau Krisis Teologi?
Teologi
Krisis yang saya maksud di sini adalah teologi ujung tanduk seperti yang telah
diulas sebelumnya. Lantas, apakah bisa terjadi krisis teologi? Bisa saja.
Krisis teologi terjadi ketika pada setiap titian ruang dan waktu tidak muncul
refleksi pemikiran dan penghayatan iman sebagai bentuk jawaban sementara
terhadap dinamika situasi problematik kemanusiaan. Haruskah? Menurut saya,
harus! lantaran masyarakat membutuhkan pijakan-pijakan substansial untuk
menghadapi tantangan zaman yang mengancam eksistensi kemanusiaan.
Orang-orang
seperti Dietrich Bonhoeffer (Jerman), Martin Luther King, Jr. (Amerika
Serikat), Mother Theresa (Calcutta), dan Mahatma Gandhi (India) adalah figur-figur
utama yang mendobrak situasi krisis teologi pada zamannya masing-masing.
Bonhoeffer mengorbankan nyawanya di saat gereja-gereja pada zamannya mengalami
krisis teologi, lumpuh berhadapan dengan otoritarianisme Nazi-Hitler; Martin
Luther King, Jr. gugur dalam perjuangan mewujudkan mimpinya tentang kesetaraan
umat manusia di mana kekristenan Amerika Serikat mengalami krisis teologi
menanggapi realitas diskriminasi ras di negara itu; Mother Theresa menggeluti
realitas kemiskinan di Calcutta di saat kekristenan dan gereja-gereja mengalami
krisis teologi untuk menjawab masalah keberpihakan pada kaum miskin; Mahatma
Gandhi, seorang Hindu, yang beraskese dalam perjuangan dan penderitaan melawan
tirani kolonial nirkekerasan dan mengangkat martabat kemanusiaan di saat
agama-agama bungkam menyikapi kolonialisme di India.
Nama-nama
besar itu menjadi contoh bahwa krisis teologi dapat terjadi ketika krisis
kemanusiaan pada ruang dan waktu tertentu tidak menggugah kepekaan kita
terhadapnya dan tidak menjadi keprihatinan utama yang mengarahkan proses
berteologi orang Kristen secara partikular. Dengan begitu maka tidak muncul
jawaban atau tanggapan teologis yang dapat menjadi pijakan substansial orang
Kristen menghadapi situasi krisis atau “ujung tanduk” dalam hidupnya.
Proses
berteologi berlangsung dalam kehidupan setiap orang Kristen tanpa terkecuali.
Setiap orang [Kristen] punya cara merefleksikan pemikiran dan penghayatan
imannya secara khas. Semua refleksi itu perlu didengar, diperhatikan, disimak dan
dihayati agar orang lain dapat belajar bagaimana kearifan teologis setiap orang
berfungsi menjadi pijakan substansial mengatasi krisis hidupnya. Di sini
keberadaan sekolah/fakultas teologi menjadi penting untuk menangkap
sinyal-sinyal kegelisahan suatu zaman lalu mematangkannya melalui proses-proses
diskursif keilmuan yang disiplin agar “teologi kehidupan” orang Kristen pada
umumnya dapat mendorong terbangunnya “kehidupan [yang] teologis” yang dengannya
orang Kristen [jemaat] menemukan jawaban sementara untuk bertahan dalam situasi
“ujung tanduk”. Kehidupan [yang] teologis sebenarnya merupakan proses mengalami
kehidupan sebagai suatu totalitas yang dinamis, tidak statis. Kehidupan
diterima, bukan dinegasi. Kematian pun disyukuri sebagai realitas kehidupan
menyongsong misteri.
Menapaki
usia ke-128, pendidikan tinggi teologi di Maluku tidak diragukan telah menjadi
bagian integral pergulatan eksistensial kemanusiaan Maluku. Merentang di setiap
periode sejarah, sudah pasti banyak “jawaban-jawaban sementara” yang telah dilahirkan
setelah melalui pematangan dalam “rahim” jemaat-jemaat dan asupan nutrisi
keilmuan yang makin berkembang dari masa ke masa melalui geliat akademik di
lembaga pendidikan tinggi teologi.
Toh,
perjalanan 128 tahun tetap harus melewati tahapan-tahapan pengujian agar
pendidikan tinggi teologi di Maluku c.q. Fakultas Teologi UKIM tetap berpijak
pada paradigma teologi ujung tanduk: melahirkan refleksi-refleksi teologis yang
substantif dan eksistensial di tengah-tengah krisis kemanusiaan di Maluku dan
di Indonesia. Kajian biblika, teologi sistematika, teologi praktika, teologi
kontekstual, dan teologi pastoral, semestinya memantulkan sense of crisis kemanusiaan sehingga mampu menjadi pijakan substansial
orang Kristen dan jemaat-jemaat. Kepekaan terhadap krisis tersebut juga makin
diperkuat oleh kajian interdisipliner sehingga teologi ujung tanduk makin
relevan. Tanpa keterbukaan dan kesediaan saling melengkapi dalam proses
pembelajaran teologi di fakultas ini maka akan terjadi pengerasan batas-batas
keilmuan yang jumud. Jika sudah demikian maka bisa terjadi bukan teologi ujung
tanduk melainkan “teologi [saling] tanduk”. Disiplin ilmu teologi menjadi
pongah tanpa mengakui bahwa dirinya sedang terengah-engah menapaki jalan terjal
krisis yang kian mengganas dan menggerogoti kemanusiaan. Alhasil, teologi
produk fakultas teologi hanya menjadi realitas yang terbayangkan (imagined reality) tanpa pernah menjadi
realitas yang teralami (experienced
reality). Kata Wim Davidz, mendiang dosen senior fakultas teologi, “teologi
hanya mengawang tapi tidak menggawang”.
Selamat!
No comments:
Post a Comment