Pengantar
Salah
seorang anggota forum komunitas teologi UKIM menulis status menarik: “Puluhan Mahasiswa UKIM
Berdemo di Rumah Sendiri. Ada apa dengan kampus Biru??”. Status singkat ini
kemudian mengundang beberapa komentar. Catatan ringkas ini bermaksud untuk
menanggapi status tersebut pada level diskusi yang lebih kritis dan sistematis.
“Kritis” artinya mencoba menelisik faktor-faktor penyebabnya secara lebih
jernih dan konkret. “Sistematis” artinya mencoba mengelaborasi faktor-faktor
penyebab tersebut pada suatu kerangka kerja sistemik dari sebuah institusi
bernama universitas. Tujuannya agar status itu tidak hanya sekadar perangsang
gosip berdasarkan rumor tetapi menjadi catatan pembuka diskusi yang lebih
terang-benderang menanggapi pertanyaan “ada apa dengan kampus biru?”. Meskipun
sebenarnya saya lebih mengharapkan ada catatan yang lebih jelas dari
teman-teman di kampus talake sendiri, namun karena sejauh ini (sejak status
dipasang pada 13 April 2013 hingga catatan ini ditulis) belum ada, maka saya
mencoba saja membuka diskusi kita.
Telisik
Istilah
Pertama,
saya ingin menempatkan status dari “status fb” tersebut sebagai sebuah
pernyataan informatif yang tidak jelas karena tidak didukung oleh
catatan-catatan pelengkap yang memperjelas peristiwa demonstrasi tersebut.
Tentu saja, jika menggunakan kerangka penulisan jurnalistik maka status
tersebut sama sekali tidak menggambarkan peristiwa yang hendak diinformasikan.
Status itu bisa saja menjadi judul berita. Sayangnya, berita yang diharapkan
oleh publik pembaca tidak muncul sehingga menimbulkan komentar-komentar
spekulatif dari kebanyakan anggota forum yang tidak berada di Ambon atau di
kampus talake. Dengan demikian, status semacam itu bisa dikategorikan sebagai
stimulus yang mengundang tanggapan dan/atau pertanyaan mengenai peristiwa
(demonstrasi) yang terjadi, dengan spesifikasi “mahasiswa UKIM” dan “rumah
sendiri/kampus biru”.
Kedua,
ada beberapa asumsi hipotetik yang muncul dari status tersebut, antara lain:
[1]
Puluhan mahasiswa
Penggunaan
frase “puluhan mahasiswa” menunjukkan bahwa aktivitas demonstrasi dilakukan
oleh lebih dari satu orang. Oleh karena tidak spesifik menyebut jumlah
(kuantitas) maka frase ini kabur dan bersifat umum. Tidak juga disebutkan
demonstrasi itu ditampilkan seperti apa sehingga bisa menimbulkan
bermacam-macam imajinasi. Ada sekelompok (puluhan) orang (mahasiswa) yang
melakukan aksi demonstrasi tersebut.. Dengan demikian diasumsikan ada
kepentingan kolektif yang menggerakkan mahasiswa untuk demonstrasi. Istilah
“mahasiswa” juga memperlihatkan bahwa orang-orang yang berdemonstrasi punya
hubungan formal dengan institusi pendidikan tinggi (universitas). Jadi,
mengatakan mahasiswa berdemo berarti ada sekelompok orang yang menyatakan
aspirasi dan/atau kepentingan dalam kaitan dengan keberadaan mereka secara
formal di institusi perguruan tinggi. Itu berarti masalah demonstrasi tidak
bisa dilihat terpisah dari persoalan institusi universitas dan bukan masalah
individu. Bahwa ada kecurigaan munculnya demo itu karena agitasi “seseorang”
(individu) itu bisa diterima tetapi juga dengan melihat bahwa “seseorang” itu
memiliki otoritas untuk mengagitasi dan mengerahkan kelompok untuk berdemo.
Artinya, “seseorang” itu juga pasti punya keterkaitan formal dengan institusi
sehingga persoalannya tidak bisa dilihat secara sederhana sebagai masalah
pribadi tetapi sebagai masalah sistemik.
[2]
UKIM/kampus biru
Penyebutan
“UKIM/kampus biru” dengan gamblang menunjuk pada sebuah institusi pendidikan
(universitas). Sebagai sebuah institusi pendidikan, penyelenggaraan pendidikan
tinggi di universitas tentu berlangsung dengan mekanisme konstitusional dan
sistem manajemen yang spesifik. Artinya, proses-proses pembelajaran dan
manajemen institusi berlangsung dengan prosedur tertentu yang diikat oleh
kesepakatan pada aturan-aturan formal dari pemerintah (Dikti) yang selalu
menjadi acuannya. Dengan begitu maka penyebutan “UKIM/kampus biru”
mengasumsikan adanya sebuah sistem, yang dengannya pula masalah demonstrasi di
atas mesti dilihat sebagai masalah sistem pendidikan yang berlangsung di UKIM.
Kedua
asumsi hipotetik di atas dengan sendirinya meluruhkan asumsi (komentar) bahwa
persoalan demonstrasi puluhan mahasiswa UKIM adalah masalah “beliau”
sebagaimana yang muncul dalam beberapa komentar. Dengan demikian, saya ingin
menempatkan isu demonstrasi mahasiswa ini sebagai masalah sistemik, bukan
masalah individual (pribadi). Kalau terjadi demonstrasi terhadap suatu lembaga
maka pertama-tama yang harus dicermati sebenarnya adalah apakah ada yang tidak
beres dengan sistem penyelenggaraan
kelembagaannya sehingga membuka celah bagi penyimpangan otoritas dan/atau
pelanggaran aturan-aturan yang berdampak pada terganggunya kepentingan terutama
para penerima jasa layanan lembaga tersebut (dalam hal ini, mahasiswa). Oleh
karena itu, demonstrasi bisa juga dilihat sebagai alat kontrol terhadap
mekanisme penyelenggaraan dan kinerja birokrasi suatu institusi (universitas).
Demonstrasi
dan Kebebasan Akademik
Demonstrasi
mahasiswa bukanlah sesuatu yang tabu dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di
Indonesia. Sejarah demonstrasi mahasiswa di Indonesia malah memperlihatkan
bahwa demonstrasi mahasiswa secara historis berperan vital bagi pembaruan
sistem kehidupan masyarakat yang lebih luas. Sebutan “Angkatan 65” adalah
sebutan bagi para penggerak demonstrasi mahasiswa di era 1965-an yang
tokoh-tokoh mahasiswanya kelak menjadi pemimpin-pemimpin kaliber nasional pada
level politik negara. Demikian pula dengan tokoh-tokoh “Forkot” (Forum Kota)
yang menjadi salah satu motor penggerak demo mahasiswa menentang rezim Suharto
hingga tumbang pada tahun 1998. Banyak tokoh-tokoh Forkot yang kemudian menjadi
pelopor-pelopor gerakan kritis terhadap kecenderungan otoritarian negara
melalui berbagai lembaga advokasi di Indonesia.
Bagaimana
dengan mahasiswa UKIM? Tidak banyak catatan yang saya peroleh mengenai demo
mahasiswa UKIM pra-1998 sejak UKIM berdiri tahun 1985 dari bentuk awalnya
Sekolah Tinggi Theologia GPM. Demo mahasiswa UKIM terbesar, sejauh saya ikuti,
terjadi pada tahun 1998 bersamaan dengan gelombang demo mahasiswa se-Indonesia
melawan rezim Orde Baru. Demo tidak hanya berlangsung di area kampus tetapi
juga di beberapa instansi pemerintahan (kantor gubernur/walikota) dan markas
KOREM (waktu itu belum menjadi KODAM). Dengan demikian, mahasiswa UKIM waktu
itu sudah terlibat untuk menyuarakan aspirasi dan perlawanan terhadap mekanisme
sistemik penyelenggaraan negara yang otoriter dan semena-mena. Jadi, bukan
sekadar demo dengan urusan “rumah sendiri” (kampus) tetapi “rumah bersama”
(negara).
Mengapa
terjadi demonstrasi dalam arti pengerahan kelompok besar di universitas? Banyak
faktor penyebabnya. Bagi saya, dalam konteks ini, hipotesanya mesti diarahkan
pada tersedianya saluran-saluran komunikasi sebagai media penghubung para
penyedia jasa (birokrasi kampus) dan penerima jasa (mahasiswa). Media apakah
yang tersedia di mana pihak birokrat kampus dapat membangun komunikasi objektif
dengan para mahasiswa untuk membicarakan kepentingan bersama dalam sistem
berkampus? Apakah kultur akademik komunitas UKIM cukup membuka ruang bagi
terbangunnya diskursus-diskursus keilmuan di mana kepentingan bersama sebagai
komunitas ilmiah terjamin tanpa intervensi subjektivisme berdasarkan pola
patron-klien?
Dua
pertanyaan sederhana tersebut setidaknya mengimplikasikan tersedianya media
yang mumpuni yang menjadi arena diskursus keilmuan dalam menyoroti dinamika
kehidupan berkampus, bergereja, bermasyarakat, dan bernegara. Media tersebut
bisa berupa forum diskusi mingguan/bulanan ataupun jurnal ilmiah mahasiswa
ataupun jurnalisme kampus. Media tersebut menjadi outlet dari berbagai ketidakpuasan atau keluhan yang disuarakan
secara khas sebagai komunitas akademik. Hal itu yang pada taraf substansi
membedakan jurnalisme kampus dengan jurnalisme publik. Jika jurnalisme
(tulisan) publik mencoba menggambarkan sesuatu dengan prinsip 5W1H maka
jurnalisme (tulisan) kampus harus maju beberapa langkah dengan menerapkan
tahap-tahap dan kerangka analitis terhadap suatu fakta (5W1H) sehingga menjadi
terang-benderang pertautan berbagai peubahnya (variable) dalam peristiwa yang dielaborasi (bukan lagi sekadar
bersifat informatif).
Berikut,
kultur akademik komunitas kampus terbentuk melalui proses belajar yang panjang
sehingga membentuk habitus akademik
yang khas. Kultur akademik adalah sesuatu yang dibentuk secara prosesual (structured structures) yang pada gilirannya
menjadi struktur yang membentuk (structuring
structures) dalam konteks lembaga pendidikan. Itu tidak bisa muncul begitu
saja. Habitus semacam itu harus
dimulai dari aktivitas inti universitas, yaitu proses pembelajaran di kelas.
Apakah proses pembelajaran di kelas (UKIM) sudah berlangsung dalam
relasi-relasi yang saling melengkapi? Ataukah masih berlangsung dalam pola
relasi “menguasai” (dosen/patron) dan “dikuasai” (mahasiswa/klien)? Tentu
diperlukan evaluasi bersama secara fair.
Namun, jika pola pembelajaran di kelas [masih] berlangsung dengan relasi
patron-klien maka dapat dipastikan bahwa proses pembelajaran hanya menjadi
arena dominasi patron terhadap klien dengan asumsi patron (dosen) lebih
berkuasa karena “lebih tahu” (indikator: gelar) daripada klien (mahasiswa) yang
dianggap “kurang tahu” (indikator: masih mahasiswa dan belum bergelar
akademik). Maka habitus yang
terbentuk – menurut Bourdieu – hanya berdasarkan doxa semata di mana patron mengekspresikan kekuasan dominan untuk
merepresi keingintahuan klien pada level pencarian pengetahuan.
Kebebasan
akademik atau mimbar akademik sebenarnya merupakan arena di mana dominasi
epistemik dalam lingkungan kampus dilawan (resistance)
dan dihadapi secara kritis (deconstruction).
Artinya, diskursus keilmuan harus dihadapi dengan diskursus keilmuan dengan
bersandar pada telaah fakta,formulasi data, dan analisis sehingga setiap isu
dihadapi sebagai materi untuk memunculkan diskursus, dan bukan sekadar
isu/gosip yang simpang-siur sumber dan tendensinya. Di sini persoalan kita
sebagai komunitas kampus adalah menyediakan outlet
diskursif dan membangun karakter keilmuan yang dialektis antara subjektivitas
dan objektivitas. Objektivitas murni hanyalah mitos karena tidak seorang pun
yang bisa melakukannya. Subjektivitas murni pun hanyalah malapetaka karena
dapat menjadi sumber perebutan kebenaran [yang belum tentu benar karena apa
yang benar itu hanyalah sepenggal penglihatan subjektif]. Keduanya harus
ditempatkan secara dialektis, saling mempengaruhi secara kritis.
Jadi,
ketika mahasiswa berdemo di “rumah sendiri” maka perhatian perlu ditujukan
secara fair pada berbagai pemicunya
dalam konteks universitas itu sendiri (internal) dan juga konteks
sosial-politik yang memproduksi regulasi pendidikan tinggi (eksternal). Jika
demonstrasi terpahami sebagai akumulasi ketidakpuasan mahasiswa (kolektif) maka
kita juga harus mengoreksi apakah mekanisme manajemen berkampus kita telah
menyediakan saluran atau wadah yang memadai bagi penampungan aspirasi mahasiswa
dan terjadinya komunikasi akademik komunitas kampus? Jawaban kita terhadapnya
pun bergantung pada sejauh mana komitmen akademik komunitas kampus mengerahkan
energi dan mengarahkan misinya untuk beralih dari paradigma teaching university menjadi research university.
Begitu
dulu.
No comments:
Post a Comment