Aku menulis maka aku belajar

Thursday, April 18, 2013

Demonstrasi dan Kebebasan Akademik: Catatan Kecil Demo Mahasiswa UKIM


Pengantar
Salah seorang anggota forum komunitas teologi UKIM menulis status menarik: “Puluhan Mahasiswa UKIM Berdemo di Rumah Sendiri. Ada apa dengan kampus Biru??”. Status singkat ini kemudian mengundang beberapa komentar. Catatan ringkas ini bermaksud untuk menanggapi status tersebut pada level diskusi yang lebih kritis dan sistematis. “Kritis” artinya mencoba menelisik faktor-faktor penyebabnya secara lebih jernih dan konkret. “Sistematis” artinya mencoba mengelaborasi faktor-faktor penyebab tersebut pada suatu kerangka kerja sistemik dari sebuah institusi bernama universitas. Tujuannya agar status itu tidak hanya sekadar perangsang gosip berdasarkan rumor tetapi menjadi catatan pembuka diskusi yang lebih terang-benderang menanggapi pertanyaan “ada apa dengan kampus biru?”. Meskipun sebenarnya saya lebih mengharapkan ada catatan yang lebih jelas dari teman-teman di kampus talake sendiri, namun karena sejauh ini (sejak status dipasang pada 13 April 2013 hingga catatan ini ditulis) belum ada, maka saya mencoba saja membuka diskusi kita.

Telisik Istilah
Pertama, saya ingin menempatkan status dari “status fb” tersebut sebagai sebuah pernyataan informatif yang tidak jelas karena tidak didukung oleh catatan-catatan pelengkap yang memperjelas peristiwa demonstrasi tersebut. Tentu saja, jika menggunakan kerangka penulisan jurnalistik maka status tersebut sama sekali tidak menggambarkan peristiwa yang hendak diinformasikan. Status itu bisa saja menjadi judul berita. Sayangnya, berita yang diharapkan oleh publik pembaca tidak muncul sehingga menimbulkan komentar-komentar spekulatif dari kebanyakan anggota forum yang tidak berada di Ambon atau di kampus talake. Dengan demikian, status semacam itu bisa dikategorikan sebagai stimulus yang mengundang tanggapan dan/atau pertanyaan mengenai peristiwa (demonstrasi) yang terjadi, dengan spesifikasi “mahasiswa UKIM” dan “rumah sendiri/kampus biru”.

Kedua, ada beberapa asumsi hipotetik yang muncul dari status tersebut, antara lain:

[1] Puluhan mahasiswa
Penggunaan frase “puluhan mahasiswa” menunjukkan bahwa aktivitas demonstrasi dilakukan oleh lebih dari satu orang. Oleh karena tidak spesifik menyebut jumlah (kuantitas) maka frase ini kabur dan bersifat umum. Tidak juga disebutkan demonstrasi itu ditampilkan seperti apa sehingga bisa menimbulkan bermacam-macam imajinasi. Ada sekelompok (puluhan) orang (mahasiswa) yang melakukan aksi demonstrasi tersebut.. Dengan demikian diasumsikan ada kepentingan kolektif yang menggerakkan mahasiswa untuk demonstrasi. Istilah “mahasiswa” juga memperlihatkan bahwa orang-orang yang berdemonstrasi punya hubungan formal dengan institusi pendidikan tinggi (universitas). Jadi, mengatakan mahasiswa berdemo berarti ada sekelompok orang yang menyatakan aspirasi dan/atau kepentingan dalam kaitan dengan keberadaan mereka secara formal di institusi perguruan tinggi. Itu berarti masalah demonstrasi tidak bisa dilihat terpisah dari persoalan institusi universitas dan bukan masalah individu. Bahwa ada kecurigaan munculnya demo itu karena agitasi “seseorang” (individu) itu bisa diterima tetapi juga dengan melihat bahwa “seseorang” itu memiliki otoritas untuk mengagitasi dan mengerahkan kelompok untuk berdemo. Artinya, “seseorang” itu juga pasti punya keterkaitan formal dengan institusi sehingga persoalannya tidak bisa dilihat secara sederhana sebagai masalah pribadi tetapi sebagai masalah sistemik.

[2] UKIM/kampus biru
Penyebutan “UKIM/kampus biru” dengan gamblang menunjuk pada sebuah institusi pendidikan (universitas). Sebagai sebuah institusi pendidikan, penyelenggaraan pendidikan tinggi di universitas tentu berlangsung dengan mekanisme konstitusional dan sistem manajemen yang spesifik. Artinya, proses-proses pembelajaran dan manajemen institusi berlangsung dengan prosedur tertentu yang diikat oleh kesepakatan pada aturan-aturan formal dari pemerintah (Dikti) yang selalu menjadi acuannya. Dengan begitu maka penyebutan “UKIM/kampus biru” mengasumsikan adanya sebuah sistem, yang dengannya pula masalah demonstrasi di atas mesti dilihat sebagai masalah sistem pendidikan yang berlangsung di UKIM.

Kedua asumsi hipotetik di atas dengan sendirinya meluruhkan asumsi (komentar) bahwa persoalan demonstrasi puluhan mahasiswa UKIM adalah masalah “beliau” sebagaimana yang muncul dalam beberapa komentar. Dengan demikian, saya ingin menempatkan isu demonstrasi mahasiswa ini sebagai masalah sistemik, bukan masalah individual (pribadi). Kalau terjadi demonstrasi terhadap suatu lembaga maka pertama-tama yang harus dicermati sebenarnya adalah apakah ada yang tidak beres dengan sistem penyelenggaraan kelembagaannya sehingga membuka celah bagi penyimpangan otoritas dan/atau pelanggaran aturan-aturan yang berdampak pada terganggunya kepentingan terutama para penerima jasa layanan lembaga tersebut (dalam hal ini, mahasiswa). Oleh karena itu, demonstrasi bisa juga dilihat sebagai alat kontrol terhadap mekanisme penyelenggaraan dan kinerja birokrasi suatu institusi (universitas).

Demonstrasi dan Kebebasan Akademik
Demonstrasi mahasiswa bukanlah sesuatu yang tabu dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Sejarah demonstrasi mahasiswa di Indonesia malah memperlihatkan bahwa demonstrasi mahasiswa secara historis berperan vital bagi pembaruan sistem kehidupan masyarakat yang lebih luas. Sebutan “Angkatan 65” adalah sebutan bagi para penggerak demonstrasi mahasiswa di era 1965-an yang tokoh-tokoh mahasiswanya kelak menjadi pemimpin-pemimpin kaliber nasional pada level politik negara. Demikian pula dengan tokoh-tokoh “Forkot” (Forum Kota) yang menjadi salah satu motor penggerak demo mahasiswa menentang rezim Suharto hingga tumbang pada tahun 1998. Banyak tokoh-tokoh Forkot yang kemudian menjadi pelopor-pelopor gerakan kritis terhadap kecenderungan otoritarian negara melalui berbagai lembaga advokasi di Indonesia.

Bagaimana dengan mahasiswa UKIM? Tidak banyak catatan yang saya peroleh mengenai demo mahasiswa UKIM pra-1998 sejak UKIM berdiri tahun 1985 dari bentuk awalnya Sekolah Tinggi Theologia GPM. Demo mahasiswa UKIM terbesar, sejauh saya ikuti, terjadi pada tahun 1998 bersamaan dengan gelombang demo mahasiswa se-Indonesia melawan rezim Orde Baru. Demo tidak hanya berlangsung di area kampus tetapi juga di beberapa instansi pemerintahan (kantor gubernur/walikota) dan markas KOREM (waktu itu belum menjadi KODAM). Dengan demikian, mahasiswa UKIM waktu itu sudah terlibat untuk menyuarakan aspirasi dan perlawanan terhadap mekanisme sistemik penyelenggaraan negara yang otoriter dan semena-mena. Jadi, bukan sekadar demo dengan urusan “rumah sendiri” (kampus) tetapi “rumah bersama” (negara).

Mengapa terjadi demonstrasi dalam arti pengerahan kelompok besar di universitas? Banyak faktor penyebabnya. Bagi saya, dalam konteks ini, hipotesanya mesti diarahkan pada tersedianya saluran-saluran komunikasi sebagai media penghubung para penyedia jasa (birokrasi kampus) dan penerima jasa (mahasiswa). Media apakah yang tersedia di mana pihak birokrat kampus dapat membangun komunikasi objektif dengan para mahasiswa untuk membicarakan kepentingan bersama dalam sistem berkampus? Apakah kultur akademik komunitas UKIM cukup membuka ruang bagi terbangunnya diskursus-diskursus keilmuan di mana kepentingan bersama sebagai komunitas ilmiah terjamin tanpa intervensi subjektivisme berdasarkan pola patron-klien?

Dua pertanyaan sederhana tersebut setidaknya mengimplikasikan tersedianya media yang mumpuni yang menjadi arena diskursus keilmuan dalam menyoroti dinamika kehidupan berkampus, bergereja, bermasyarakat, dan bernegara. Media tersebut bisa berupa forum diskusi mingguan/bulanan ataupun jurnal ilmiah mahasiswa ataupun jurnalisme kampus. Media tersebut menjadi outlet dari berbagai ketidakpuasan atau keluhan yang disuarakan secara khas sebagai komunitas akademik. Hal itu yang pada taraf substansi membedakan jurnalisme kampus dengan jurnalisme publik. Jika jurnalisme (tulisan) publik mencoba menggambarkan sesuatu dengan prinsip 5W1H maka jurnalisme (tulisan) kampus harus maju beberapa langkah dengan menerapkan tahap-tahap dan kerangka analitis terhadap suatu fakta (5W1H) sehingga menjadi terang-benderang pertautan berbagai peubahnya (variable) dalam peristiwa yang dielaborasi (bukan lagi sekadar bersifat informatif).

Berikut, kultur akademik komunitas kampus terbentuk melalui proses belajar yang panjang sehingga membentuk habitus akademik yang khas. Kultur akademik adalah sesuatu yang dibentuk secara prosesual (structured structures) yang pada gilirannya menjadi struktur yang membentuk (structuring structures) dalam konteks lembaga pendidikan. Itu tidak bisa muncul begitu saja. Habitus semacam itu harus dimulai dari aktivitas inti universitas, yaitu proses pembelajaran di kelas. Apakah proses pembelajaran di kelas (UKIM) sudah berlangsung dalam relasi-relasi yang saling melengkapi? Ataukah masih berlangsung dalam pola relasi “menguasai” (dosen/patron) dan “dikuasai” (mahasiswa/klien)? Tentu diperlukan evaluasi bersama secara fair. Namun, jika pola pembelajaran di kelas [masih] berlangsung dengan relasi patron-klien maka dapat dipastikan bahwa proses pembelajaran hanya menjadi arena dominasi patron terhadap klien dengan asumsi patron (dosen) lebih berkuasa karena “lebih tahu” (indikator: gelar) daripada klien (mahasiswa) yang dianggap “kurang tahu” (indikator: masih mahasiswa dan belum bergelar akademik). Maka habitus yang terbentuk – menurut Bourdieu – hanya berdasarkan doxa semata di mana patron mengekspresikan kekuasan dominan untuk merepresi keingintahuan klien pada level pencarian pengetahuan.

Kebebasan akademik atau mimbar akademik sebenarnya merupakan arena di mana dominasi epistemik dalam lingkungan kampus dilawan (resistance) dan dihadapi secara kritis (deconstruction). Artinya, diskursus keilmuan harus dihadapi dengan diskursus keilmuan dengan bersandar pada telaah fakta,formulasi data, dan analisis sehingga setiap isu dihadapi sebagai materi untuk memunculkan diskursus, dan bukan sekadar isu/gosip yang simpang-siur sumber dan tendensinya. Di sini persoalan kita sebagai komunitas kampus adalah menyediakan outlet diskursif dan membangun karakter keilmuan yang dialektis antara subjektivitas dan objektivitas. Objektivitas murni hanyalah mitos karena tidak seorang pun yang bisa melakukannya. Subjektivitas murni pun hanyalah malapetaka karena dapat menjadi sumber perebutan kebenaran [yang belum tentu benar karena apa yang benar itu hanyalah sepenggal penglihatan subjektif]. Keduanya harus ditempatkan secara dialektis, saling mempengaruhi secara kritis.

Jadi, ketika mahasiswa berdemo di “rumah sendiri” maka perhatian perlu ditujukan secara fair pada berbagai pemicunya dalam konteks universitas itu sendiri (internal) dan juga konteks sosial-politik yang memproduksi regulasi pendidikan tinggi (eksternal). Jika demonstrasi terpahami sebagai akumulasi ketidakpuasan mahasiswa (kolektif) maka kita juga harus mengoreksi apakah mekanisme manajemen berkampus kita telah menyediakan saluran atau wadah yang memadai bagi penampungan aspirasi mahasiswa dan terjadinya komunikasi akademik komunitas kampus? Jawaban kita terhadapnya pun bergantung pada sejauh mana komitmen akademik komunitas kampus mengerahkan energi dan mengarahkan misinya untuk beralih dari paradigma teaching university menjadi research university.

Begitu dulu.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces