Pengantar
Setiap orang yang hidup pada dekade terakhir abad ke-20 dan dekade awal abad ke-21 menjadi saksi-saksi hidup dahsyatnya perkembangan teknologi digital dan internet beserta seluruh bawaan dampaknya bagi kehidupan umat manusia. Teknologi digital merambah kehidupan manusia dalam wujud perangkat komunikasi yang praktis sekaligus rumit (sophisticated). “Praktis” karena hampir seluruh aplikasi dikemas dalam satu alat atau gadget; “rumit” karena penerapan aplikasi perangkat-lunak (software) di dalamnya membutuhkan pengetahuan tersendiri. Kata “komunikasi” pada terma alat komunikasi pun meluas maknanya – bukan hanya verbal melainkan lebih jauh mewujud dalam berbagai bentuk aplikasi komunikasi digital seperti “video”, “animasi”, “chatting”, “video-streaming”, “video-chat”, “digital-map”, “teleconference” dll.
Kecanggihan teknologi digital tersebut tentu saja tidak berdiri sendiri tetapi didukung oleh penemuan dan pengembangan teknologi net atau komunikasi nir-kabel yang sebelumnya disebut “3G” (third-generation technology). Kemajuan teknologi komunikasi nir-kabel ini kemudian makin merajalela dengan penemuan teknologi Wireless Fidelity atau yang kini lazim dikenal dengan singkatan Wi-Fi (baca: Waifai). Perkembangan mutakhir inilah yang menyebabkan internet tidak lagi sekadar sebuah mode dalam kemajuan teknologi komunikasi digital saat ini melainkan menjadi life-style atau gaya hidup. Perluasan makna komunikasi telah mendorong bentuk komunikasi lain yang lebih didasarkan pada pertukaran data nir-kabel sehingga ranah jelajahnya (hotspot) melintasi batas-batas material, teritorial, bahkan identitas sosial/personal. Di situlah kemudian makna globalisasi makin menguat kendati fenomena globalisasi itu sendiri sudah berlangsung sejak masa ekspansi kolonialisme berabad-abad silam. Informasi yang dikomunikasikan meluas dalam bentuk-bentuk yang lebih komprehensif dan subtil dengan cakupan berbagai dimensi kehidupan manusia. Tidak ada satu bidang kehidupan manusia yang kini tidak terlibas dampak teknologi digital dan internet. Fenomena inilah yang membuat umat manusia saat ini hidup sebagai network society (Manuel Castells).
Menurut Castells, network society adalah masyarakat dengan struktur sosial yang dibentuk oleh jejaring (network) melalui teknologi informasi dan komunikasi berbasis mikroelektronik. Struktur sosial yang dimaksud Castells adalah penataan organisasional relasi-relasi manusia dalam produksi, konsumsi, reproduksi, pengalaman dan kekuasaan yang terekspresikan dalam komunikasi bermakna yang dikodifikasikan oleh kebudayaan. Jejaring (network) adalah seperangkat simpul yang saling terkoneksi. Jejaring hanya memiliki simpul dan tidak memiliki pusat. Ketika salah satu simpul tidak lagi berfungsi maka jejaring cenderung untuk merekonfigurasi dirinya sendiri, menghapus beberapa simpul dan menambahkah simpul-simpul baru. Simpul-simpul hanya eksis dan berfungsi sebagai komponen dari jejaring. Jadi, jejaring selalu dalam gerak mengalir dalam wujud arus informasi antara simpul-simpul yang beredar melalui saluran-saluran koneksi antarsimpul. Setiap jejaring saling bekerja sama atau berkompetisi. Kerja sama didasarkan pada kemampuan membangun komunikasi antarjejaring. Sedangkan kompetisi bergantung pada kemampuan mengungguli jejaring-jejaring lain melalui keunggulan efisiensi dalam kinerja atau dalam kapasitas bekerja sama. Jejaring bekerja dengan mengikuti logika biner: inklusi/eksklusi. Ringkasnya, menurut Castells, jejaring adalah struktur-struktur komunikasi yang kompleks dan mampu merekonfigurasi diri sendiri (self-reconfigurable) yang sekaligus menjamin kesatuan tujuan dan fleksibilitas eksekusinya, melalui kapasitas untuk mengadaptasi lingkungan beroperasinya.
Sedikit ulasan mengenai masyarakat jejaring atau network society sebagaimana yang dipaparkan oleh Manuel Castells di atas jelas memperlihatkan wajah masyarakat modern saat ini dengan seluruh relasi yang terjaringkan oleh teknologi internet. Semua mempengaruhi semua. Tidak ada lagi satu masyarakat yang berdiri sendiri terlepas dari masyarakat yang lain. Realitas ini pada gilirannya mengubah cara kita memandang diri sendiri dan liyan (others). Dengan perkataan lain, network society yang kita hidupi sekarang telah menggeser prinsip-prinsip utama dari cara kita mengkonstruksi identitas kita yang lagi-lagi selalu terinterkoneksi dengan liyan. Batas-batas identitas pun memudar seiring dengan makin terbukanya akses informasi dan komunikasi yang melangkaui segala batas identitas primordial maupun nasional.
Gereja dalam konteks network society
Perkembangan teknologi infokom digital dan internet adalah realitas yang tak terhindari oleh siapapun atau institusi apapun yang hidup dalam konteks network society. Realitas semacam ini jelas membawa sejumlah implikasi dalam kehidupan setiap individu maupun institusi bentukan manusia (masyarakat, agama, politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan civil society). Kita dapat menyaksikannya selama beberapa dekade terakhir dalam kehidupan umat manusia di seluruh dunia. Perkembangan dan krisis yang terjadi di sejumlah negara maju (Barat) berdampak signifikan pada kondisi sosial-politik, ekonomi dan kebudayaan negara-negara di belahan dunia lain (Asia dan Afrika). Apa yang terjadi tidak hanya ihwal globalisasi kemajuan atau modernitas tetapi juga globalisasi krisis dan/atau penyakit (lihat kasus wabah HIV/AIDS dan Ebola).
Pada konteks yang lebih luas, kondisi ini pula yang menyebabkan pergeseran dan/atau penyesuaian sistem dan struktur sosial (structural adjustment) pada negara[-negara] tertentu yang lebih didasarkan pada negosiasi kepentingan ekonomi negara-negara industri maju. Sehingga krisis-krisis tersebut lebih merupakan dampak dari ketidakberesan pengelolaan ekonomi dan kebijakan politik global negara-negara maju tersebut. Namun, lagi-lagi, seluruh ketidakberesan global tersebut juga dipengaruhi oleh faktor network society dimana semua mempengaruhi semua. Kendati, pada pihak lain, banyak pula dimensi-dimensi kemajuan (misal: pengetahuan, pengobatan) dan modernitas (gaya hidup) yang terdifusi dan mendorong terjadinya pencerahan serta perubahan sosial yang positif atau relevan dalam konteks suatu masyarakat lokal (misal: demokratisasi, penguatan civil society dan hak asasi manusia).
Realitas keberagamaan dan hubungan antaragama pun tak luput dari dampak network society. Sejumlah studi mengenai agama dan cyberspace memperlihatkan peningkatan signifikan gerakan fundamentalisme agama akibat difusi ideologi kekerasan atas nama agama dan indoktrinasi fanatisme keberagamaan melawan realisme masyarakat pluralistik dan globalisasi yang dituduh sebagai biang kerok kebobrokan moral dan devaluasi agama-agama. Studi yang dilakukan oleh Merlyna Lim, Archipelago Online: The Internet and Political Activism in Indonesia (Disertasi Universitas Twente Belanda) dan Birgit Bräuchler, Cyberidentities at War: Religion, Identity, and the Internet in the Moluccan Conflict (Disertasi Ludwig-Maximillians University, Munich, Jerman) memperlihatkan betapa signifikan pengaruh internet dalam dinamika politik dan keberagamaan suatu masyarakat. Tarik-menarik kepentingan politik dan konflik fisik pada konteks riel bermetamorfosis menjadi arena pertarungan dan perang ideologi yang permanen. Di arena “www” (world-wide-web) itulah konflik lokal dilanggengkan, diperluas cakupannya hingga menjadi konflik global, yang pada gilirannya menanamkan benih-benih ideologis kekerasan dan kejumudan beragama yang menihilkan kemajemukan/perbedaan. Pertarungan pada tingkat diskursus (wacana) semacam ini, menurut saya, pada derajat tertentu merupakan fenomena yang mesti diwaspadai karena proses penanaman benih-benih ideologis kebencian dan kekerasan terhadap liyan berlangsung secara subtil (halus), kontinyu, mengakar dalam, lintas teritori dan lintas generasi. Maka tidak mustahil bahwa gejala ini kemudian membentuk habitus kebencian dan lingkaran setan kekerasan yang akan muncul secara massif di masa depan dalam bentuk-bentuk yang mengerikan serta mengancam kemanusiaan.
Pada titik itu, institusi-institusi keagamaan pun tidak dapat mengabaikan realitas perkembangan network society sebagai konteks gumul dan pelayanannya pada masa kini. Realitas network society menantang agama-agama untuk meninjau kembali secara kritis seluruh paradigma doktriner dan ritual-ritualnya yang konvensional. Pendekatan-pendekatan relasional umat beragama secara internal maupun antarumat beragama pun mengalami dekonstruksi fundamental terutama pada perspektif tekstual terhadap otoritas kitab suci dan aktivitas-aktivitas keagamaan yang bersifat interaktif. Batas-batas pembeda maupun demarkasi ruang dan waktu konvensional dalam kehidupan beragama kian memudar serta berubah substansi dan metodenya pada gejala yang disebut Castells sebagai “jejaring” (network) dan “simpul” (node). Di situ pula konstruksi identitas berlangsung melangkaui demarkasi teritorial dan sosial sehingga membentuk jejaring identitas baru melalui pembuatan simpul-simpul identitas virtual yang lebih cair dan progresif, seperti yang terjadi pada jejaring media sosial (facebook, twitter, path, instagram).
Keterlibatan agama-agama (terutama gereja) dalam konteks network society masa kini merupakan suatu keniscayaan. Gereja bisa saja mengabaikan konteks itu tetapi tidak berdaya menolaknya, apalagi membendung terjangan gelombang pengaruhnya yang maha-dahsyat. Individualisme pada era masyarakat digital atau network society saat ini lebih merupakan “keramaian yang sepi” dimana setiap orang hidup dalam dunianya (virtual) sendiri di tengah kerumunan sosial – entah di restoran, kantor, ibadah, ruang-ruang publik, bahkan dalam keluarga. Sosialitas pada era network society itu sendiri juga malah membentuk berbagai macam enclave yang berpotensi mengeksklusi liyan hanya berdasarkan pembuatan “group” hobby, minat, dan kepentingan. Ironisnya, setiap orang bisa menjadi bagian dari beberapa “group” dan bermain multiperan atau multi-identitas tanpa bisa terverifikasi kepribadian dan kepentingannya (misal: user yang menggunakan nama yang berbeda pada beberapa group).
Pada dunia riel, agama-agama dapat mengendalikan keanggotaan dan ajarannya tetapi itu tidak berlaku di dunia net. Di situ agama-agama perlu menanggapi realitas network society secara arif, bukan reaktif. Desain dan konstruksi laman (website) resmi yang dikelola oleh beberapa gereja di Indonesia, sejauh amatan saya, mampu menjadi kanal bagi penyaluran hasrat informasi dan komunikasi yang positif bagi warga gerejanya. Namun, tampaknya pengelolaan laman organisasi masih sebatas ruang display profil organisasi dan belum sampai pada aspek pendidikan virtual asas-asas spiritualitas dan teologi yang diperlukan untuk menanggapi tantangan masyarakat jejaring. Pengelolaannya pun masih [tetap] amatir sehingga tak banyak laman gereja yang mampu bertahan lama alias mati muda. Hal ini memperlihatkan bahwa [sebagian] gereja-gereja belum memandang penting signifikansi konteks network society sebagai medan gumul pelayanannya pada era ini. Atau, merasa lebih nyaman dalam kubangan status-quo model pelayanan konvensional. Tentu saja itu tidak salah, tetapi sudah tidak lagi kontekstual.
Pemerian di atas tidak semata-mata hendak menempatkan isu tersebut sebagai isu teknis-pragmatis. Lebih jauh, sebenarnya ada persoalan mengenai kepekaan agama-agama (gereja) untuk mempertimbangkan secara serius model-model pelayanan dalam konteks network society. Bisa dibayangkan, ketika para pendeta dan warga jemaat makin marak menggunakan aneka gadget dalam pelayanan konvensional (berkhotbah, PA, dll) tetapi semuanya hanya berhenti pada tataran simbolik “tidak mau dianggap jadul”, “gengsi”, atau “pamer gadget” saja. Itu tidak dilanjutkan lebih jauh pada tataran substansial bagaimana mengolah dan mengelola informasi global untuk penguatan kapasitas diri/kelompok/jemaat dan pengembangan model-model pelayanan yang kontekstual. Penyebaran gagasan-gagasan reflektif mengenai spiritualitas, teologi dan bahkan gerakan sosial tidak terjadi pada ruang virtual karena substansi networking atau berjejaring tidak termaknai secara utuh.
Padahal jika substansi networking mampu termaknai dan terimplementasi secara utuh gereja mampu melakukan perubahan besar dalam model-model pelayanan, pemberdayaan dan advokasi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi pertama-tama oleh warga jemaatnya. Contoh penting yang perlu kita cermati dalam dinamika GPM adalah model advokasi gerakan “Save Aru”. Gerakan advokasi terhadap masyarakat lokal berbasis pada kekuatan networking melalui jejaring media sosial facebook ini terbukti mampu meruntuhkan mitos bahwa “negara/kapitalisme kuat” dan “rakyat/proletar kalah”. Jika kita mengikutinya sejak awal maka kita akan menyadari betapa dahsyat kekuatan media sosial internet ini sehingga mampu menumbuhkan simpul solidaritas yang pada gilirannya membentuk simpul-simpul identitas berdasarkan satu keprihatinan meskipun berada pada ruang (teritori) dan waktu yang berbeda-beda. Menurut saya, di situlah letak substansi network society yang perlu dicermati serius oleh gereja untuk mengembangkan model-model pelayananannya pada masa depan.
Namun demikian, internet bukanlah segalanya sehingga dapat menggantikan fungsi dan relasi-relasi kemanusiaan sejati. Jelas bahwa tugas dan tanggung jawab gereja (GPM) sekarang semestinya tertuju pada upaya mengembangkan perspektif dan aktivitas pelayanan berbasis pada media-literacy atau melek media [internet]. Dalam konteks itu dimensi kemanusiaan tetap menentukan. Keseimbangan tersebut perlu terus dijaga agar teknologi infokom (internet) tidak malah menjebak kita dalam hyper-realitas dan mengalienasi kita dari konteks kemanusiaan riel. Tidak mudah untuk melakukannya jika kita tidak mulai merumuskan bagaimana perspektif teologis dan aksiologis dari fenomena network society dalam belantara teks-teks “suci” yang diproduksi ribuan tahun lampau agar “pesan”-nya menyentuh dan merengkuh kemanusiaan modern yang terkepung aneka gadget dan berbagai aplikasinya. Maka apa yang dibutuhkan dalam konteks ini adalah kapasitas berteologi para pekarya gereja dan warga jemaat untuk mereinterpretasi teks-teks “suci” tersebut serta menempatkannya secara kreatif dalam arena diskursus network society. Seperti apa bentuknya? Jawabannya terletak pada pada perspektif berteologi kita (GPM) untuk mendalami sungguh-sungguh realitas network society itu sendiri dan melihat secara kritis bahwa sekarang banyak orang [beragama] lebih percaya pada kuasa “roh” sinyal daripada “roh kudus”, lebih pusing kehilangan ponsel daripada kehilangan alkitab, lebih hafal nomor cantik milik kolega/pejabat/pengusaha daripada bersusah-susah menghafal ayat-ayat alkitab.
Read more ...
Setiap orang yang hidup pada dekade terakhir abad ke-20 dan dekade awal abad ke-21 menjadi saksi-saksi hidup dahsyatnya perkembangan teknologi digital dan internet beserta seluruh bawaan dampaknya bagi kehidupan umat manusia. Teknologi digital merambah kehidupan manusia dalam wujud perangkat komunikasi yang praktis sekaligus rumit (sophisticated). “Praktis” karena hampir seluruh aplikasi dikemas dalam satu alat atau gadget; “rumit” karena penerapan aplikasi perangkat-lunak (software) di dalamnya membutuhkan pengetahuan tersendiri. Kata “komunikasi” pada terma alat komunikasi pun meluas maknanya – bukan hanya verbal melainkan lebih jauh mewujud dalam berbagai bentuk aplikasi komunikasi digital seperti “video”, “animasi”, “chatting”, “video-streaming”, “video-chat”, “digital-map”, “teleconference” dll.
Kecanggihan teknologi digital tersebut tentu saja tidak berdiri sendiri tetapi didukung oleh penemuan dan pengembangan teknologi net atau komunikasi nir-kabel yang sebelumnya disebut “3G” (third-generation technology). Kemajuan teknologi komunikasi nir-kabel ini kemudian makin merajalela dengan penemuan teknologi Wireless Fidelity atau yang kini lazim dikenal dengan singkatan Wi-Fi (baca: Waifai). Perkembangan mutakhir inilah yang menyebabkan internet tidak lagi sekadar sebuah mode dalam kemajuan teknologi komunikasi digital saat ini melainkan menjadi life-style atau gaya hidup. Perluasan makna komunikasi telah mendorong bentuk komunikasi lain yang lebih didasarkan pada pertukaran data nir-kabel sehingga ranah jelajahnya (hotspot) melintasi batas-batas material, teritorial, bahkan identitas sosial/personal. Di situlah kemudian makna globalisasi makin menguat kendati fenomena globalisasi itu sendiri sudah berlangsung sejak masa ekspansi kolonialisme berabad-abad silam. Informasi yang dikomunikasikan meluas dalam bentuk-bentuk yang lebih komprehensif dan subtil dengan cakupan berbagai dimensi kehidupan manusia. Tidak ada satu bidang kehidupan manusia yang kini tidak terlibas dampak teknologi digital dan internet. Fenomena inilah yang membuat umat manusia saat ini hidup sebagai network society (Manuel Castells).
Menurut Castells, network society adalah masyarakat dengan struktur sosial yang dibentuk oleh jejaring (network) melalui teknologi informasi dan komunikasi berbasis mikroelektronik. Struktur sosial yang dimaksud Castells adalah penataan organisasional relasi-relasi manusia dalam produksi, konsumsi, reproduksi, pengalaman dan kekuasaan yang terekspresikan dalam komunikasi bermakna yang dikodifikasikan oleh kebudayaan. Jejaring (network) adalah seperangkat simpul yang saling terkoneksi. Jejaring hanya memiliki simpul dan tidak memiliki pusat. Ketika salah satu simpul tidak lagi berfungsi maka jejaring cenderung untuk merekonfigurasi dirinya sendiri, menghapus beberapa simpul dan menambahkah simpul-simpul baru. Simpul-simpul hanya eksis dan berfungsi sebagai komponen dari jejaring. Jadi, jejaring selalu dalam gerak mengalir dalam wujud arus informasi antara simpul-simpul yang beredar melalui saluran-saluran koneksi antarsimpul. Setiap jejaring saling bekerja sama atau berkompetisi. Kerja sama didasarkan pada kemampuan membangun komunikasi antarjejaring. Sedangkan kompetisi bergantung pada kemampuan mengungguli jejaring-jejaring lain melalui keunggulan efisiensi dalam kinerja atau dalam kapasitas bekerja sama. Jejaring bekerja dengan mengikuti logika biner: inklusi/eksklusi. Ringkasnya, menurut Castells, jejaring adalah struktur-struktur komunikasi yang kompleks dan mampu merekonfigurasi diri sendiri (self-reconfigurable) yang sekaligus menjamin kesatuan tujuan dan fleksibilitas eksekusinya, melalui kapasitas untuk mengadaptasi lingkungan beroperasinya.
Sedikit ulasan mengenai masyarakat jejaring atau network society sebagaimana yang dipaparkan oleh Manuel Castells di atas jelas memperlihatkan wajah masyarakat modern saat ini dengan seluruh relasi yang terjaringkan oleh teknologi internet. Semua mempengaruhi semua. Tidak ada lagi satu masyarakat yang berdiri sendiri terlepas dari masyarakat yang lain. Realitas ini pada gilirannya mengubah cara kita memandang diri sendiri dan liyan (others). Dengan perkataan lain, network society yang kita hidupi sekarang telah menggeser prinsip-prinsip utama dari cara kita mengkonstruksi identitas kita yang lagi-lagi selalu terinterkoneksi dengan liyan. Batas-batas identitas pun memudar seiring dengan makin terbukanya akses informasi dan komunikasi yang melangkaui segala batas identitas primordial maupun nasional.
Gereja dalam konteks network society
Perkembangan teknologi infokom digital dan internet adalah realitas yang tak terhindari oleh siapapun atau institusi apapun yang hidup dalam konteks network society. Realitas semacam ini jelas membawa sejumlah implikasi dalam kehidupan setiap individu maupun institusi bentukan manusia (masyarakat, agama, politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan civil society). Kita dapat menyaksikannya selama beberapa dekade terakhir dalam kehidupan umat manusia di seluruh dunia. Perkembangan dan krisis yang terjadi di sejumlah negara maju (Barat) berdampak signifikan pada kondisi sosial-politik, ekonomi dan kebudayaan negara-negara di belahan dunia lain (Asia dan Afrika). Apa yang terjadi tidak hanya ihwal globalisasi kemajuan atau modernitas tetapi juga globalisasi krisis dan/atau penyakit (lihat kasus wabah HIV/AIDS dan Ebola).
Pada konteks yang lebih luas, kondisi ini pula yang menyebabkan pergeseran dan/atau penyesuaian sistem dan struktur sosial (structural adjustment) pada negara[-negara] tertentu yang lebih didasarkan pada negosiasi kepentingan ekonomi negara-negara industri maju. Sehingga krisis-krisis tersebut lebih merupakan dampak dari ketidakberesan pengelolaan ekonomi dan kebijakan politik global negara-negara maju tersebut. Namun, lagi-lagi, seluruh ketidakberesan global tersebut juga dipengaruhi oleh faktor network society dimana semua mempengaruhi semua. Kendati, pada pihak lain, banyak pula dimensi-dimensi kemajuan (misal: pengetahuan, pengobatan) dan modernitas (gaya hidup) yang terdifusi dan mendorong terjadinya pencerahan serta perubahan sosial yang positif atau relevan dalam konteks suatu masyarakat lokal (misal: demokratisasi, penguatan civil society dan hak asasi manusia).
Realitas keberagamaan dan hubungan antaragama pun tak luput dari dampak network society. Sejumlah studi mengenai agama dan cyberspace memperlihatkan peningkatan signifikan gerakan fundamentalisme agama akibat difusi ideologi kekerasan atas nama agama dan indoktrinasi fanatisme keberagamaan melawan realisme masyarakat pluralistik dan globalisasi yang dituduh sebagai biang kerok kebobrokan moral dan devaluasi agama-agama. Studi yang dilakukan oleh Merlyna Lim, Archipelago Online: The Internet and Political Activism in Indonesia (Disertasi Universitas Twente Belanda) dan Birgit Bräuchler, Cyberidentities at War: Religion, Identity, and the Internet in the Moluccan Conflict (Disertasi Ludwig-Maximillians University, Munich, Jerman) memperlihatkan betapa signifikan pengaruh internet dalam dinamika politik dan keberagamaan suatu masyarakat. Tarik-menarik kepentingan politik dan konflik fisik pada konteks riel bermetamorfosis menjadi arena pertarungan dan perang ideologi yang permanen. Di arena “www” (world-wide-web) itulah konflik lokal dilanggengkan, diperluas cakupannya hingga menjadi konflik global, yang pada gilirannya menanamkan benih-benih ideologis kekerasan dan kejumudan beragama yang menihilkan kemajemukan/perbedaan. Pertarungan pada tingkat diskursus (wacana) semacam ini, menurut saya, pada derajat tertentu merupakan fenomena yang mesti diwaspadai karena proses penanaman benih-benih ideologis kebencian dan kekerasan terhadap liyan berlangsung secara subtil (halus), kontinyu, mengakar dalam, lintas teritori dan lintas generasi. Maka tidak mustahil bahwa gejala ini kemudian membentuk habitus kebencian dan lingkaran setan kekerasan yang akan muncul secara massif di masa depan dalam bentuk-bentuk yang mengerikan serta mengancam kemanusiaan.
Pada titik itu, institusi-institusi keagamaan pun tidak dapat mengabaikan realitas perkembangan network society sebagai konteks gumul dan pelayanannya pada masa kini. Realitas network society menantang agama-agama untuk meninjau kembali secara kritis seluruh paradigma doktriner dan ritual-ritualnya yang konvensional. Pendekatan-pendekatan relasional umat beragama secara internal maupun antarumat beragama pun mengalami dekonstruksi fundamental terutama pada perspektif tekstual terhadap otoritas kitab suci dan aktivitas-aktivitas keagamaan yang bersifat interaktif. Batas-batas pembeda maupun demarkasi ruang dan waktu konvensional dalam kehidupan beragama kian memudar serta berubah substansi dan metodenya pada gejala yang disebut Castells sebagai “jejaring” (network) dan “simpul” (node). Di situ pula konstruksi identitas berlangsung melangkaui demarkasi teritorial dan sosial sehingga membentuk jejaring identitas baru melalui pembuatan simpul-simpul identitas virtual yang lebih cair dan progresif, seperti yang terjadi pada jejaring media sosial (facebook, twitter, path, instagram).
Keterlibatan agama-agama (terutama gereja) dalam konteks network society masa kini merupakan suatu keniscayaan. Gereja bisa saja mengabaikan konteks itu tetapi tidak berdaya menolaknya, apalagi membendung terjangan gelombang pengaruhnya yang maha-dahsyat. Individualisme pada era masyarakat digital atau network society saat ini lebih merupakan “keramaian yang sepi” dimana setiap orang hidup dalam dunianya (virtual) sendiri di tengah kerumunan sosial – entah di restoran, kantor, ibadah, ruang-ruang publik, bahkan dalam keluarga. Sosialitas pada era network society itu sendiri juga malah membentuk berbagai macam enclave yang berpotensi mengeksklusi liyan hanya berdasarkan pembuatan “group” hobby, minat, dan kepentingan. Ironisnya, setiap orang bisa menjadi bagian dari beberapa “group” dan bermain multiperan atau multi-identitas tanpa bisa terverifikasi kepribadian dan kepentingannya (misal: user yang menggunakan nama yang berbeda pada beberapa group).
Pada dunia riel, agama-agama dapat mengendalikan keanggotaan dan ajarannya tetapi itu tidak berlaku di dunia net. Di situ agama-agama perlu menanggapi realitas network society secara arif, bukan reaktif. Desain dan konstruksi laman (website) resmi yang dikelola oleh beberapa gereja di Indonesia, sejauh amatan saya, mampu menjadi kanal bagi penyaluran hasrat informasi dan komunikasi yang positif bagi warga gerejanya. Namun, tampaknya pengelolaan laman organisasi masih sebatas ruang display profil organisasi dan belum sampai pada aspek pendidikan virtual asas-asas spiritualitas dan teologi yang diperlukan untuk menanggapi tantangan masyarakat jejaring. Pengelolaannya pun masih [tetap] amatir sehingga tak banyak laman gereja yang mampu bertahan lama alias mati muda. Hal ini memperlihatkan bahwa [sebagian] gereja-gereja belum memandang penting signifikansi konteks network society sebagai medan gumul pelayanannya pada era ini. Atau, merasa lebih nyaman dalam kubangan status-quo model pelayanan konvensional. Tentu saja itu tidak salah, tetapi sudah tidak lagi kontekstual.
Pemerian di atas tidak semata-mata hendak menempatkan isu tersebut sebagai isu teknis-pragmatis. Lebih jauh, sebenarnya ada persoalan mengenai kepekaan agama-agama (gereja) untuk mempertimbangkan secara serius model-model pelayanan dalam konteks network society. Bisa dibayangkan, ketika para pendeta dan warga jemaat makin marak menggunakan aneka gadget dalam pelayanan konvensional (berkhotbah, PA, dll) tetapi semuanya hanya berhenti pada tataran simbolik “tidak mau dianggap jadul”, “gengsi”, atau “pamer gadget” saja. Itu tidak dilanjutkan lebih jauh pada tataran substansial bagaimana mengolah dan mengelola informasi global untuk penguatan kapasitas diri/kelompok/jemaat dan pengembangan model-model pelayanan yang kontekstual. Penyebaran gagasan-gagasan reflektif mengenai spiritualitas, teologi dan bahkan gerakan sosial tidak terjadi pada ruang virtual karena substansi networking atau berjejaring tidak termaknai secara utuh.
Padahal jika substansi networking mampu termaknai dan terimplementasi secara utuh gereja mampu melakukan perubahan besar dalam model-model pelayanan, pemberdayaan dan advokasi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi pertama-tama oleh warga jemaatnya. Contoh penting yang perlu kita cermati dalam dinamika GPM adalah model advokasi gerakan “Save Aru”. Gerakan advokasi terhadap masyarakat lokal berbasis pada kekuatan networking melalui jejaring media sosial facebook ini terbukti mampu meruntuhkan mitos bahwa “negara/kapitalisme kuat” dan “rakyat/proletar kalah”. Jika kita mengikutinya sejak awal maka kita akan menyadari betapa dahsyat kekuatan media sosial internet ini sehingga mampu menumbuhkan simpul solidaritas yang pada gilirannya membentuk simpul-simpul identitas berdasarkan satu keprihatinan meskipun berada pada ruang (teritori) dan waktu yang berbeda-beda. Menurut saya, di situlah letak substansi network society yang perlu dicermati serius oleh gereja untuk mengembangkan model-model pelayananannya pada masa depan.
Namun demikian, internet bukanlah segalanya sehingga dapat menggantikan fungsi dan relasi-relasi kemanusiaan sejati. Jelas bahwa tugas dan tanggung jawab gereja (GPM) sekarang semestinya tertuju pada upaya mengembangkan perspektif dan aktivitas pelayanan berbasis pada media-literacy atau melek media [internet]. Dalam konteks itu dimensi kemanusiaan tetap menentukan. Keseimbangan tersebut perlu terus dijaga agar teknologi infokom (internet) tidak malah menjebak kita dalam hyper-realitas dan mengalienasi kita dari konteks kemanusiaan riel. Tidak mudah untuk melakukannya jika kita tidak mulai merumuskan bagaimana perspektif teologis dan aksiologis dari fenomena network society dalam belantara teks-teks “suci” yang diproduksi ribuan tahun lampau agar “pesan”-nya menyentuh dan merengkuh kemanusiaan modern yang terkepung aneka gadget dan berbagai aplikasinya. Maka apa yang dibutuhkan dalam konteks ini adalah kapasitas berteologi para pekarya gereja dan warga jemaat untuk mereinterpretasi teks-teks “suci” tersebut serta menempatkannya secara kreatif dalam arena diskursus network society. Seperti apa bentuknya? Jawabannya terletak pada pada perspektif berteologi kita (GPM) untuk mendalami sungguh-sungguh realitas network society itu sendiri dan melihat secara kritis bahwa sekarang banyak orang [beragama] lebih percaya pada kuasa “roh” sinyal daripada “roh kudus”, lebih pusing kehilangan ponsel daripada kehilangan alkitab, lebih hafal nomor cantik milik kolega/pejabat/pengusaha daripada bersusah-susah menghafal ayat-ayat alkitab.