Selama dua bulan, 34 mahasiswa Fakultas Teologi (semester ke-8) menjalani program "hidup-bersama" (live-in) di 16 masyarakat (jemaat) di wilayah Klasis GPM Aru Tengah. Beta merasa beruntung bisa menjadi bagian dari tim pembina yang ditugaskan untuk menjemput mereka kembali ke Ambon (10-14 Mei 2018). Lalu selanjutnya mereka akan menjalani program pelatihan tahap berikut di Negeri Kamal, Seram Bagian Barat.
Penerbangan dari Ambon menuju Dobo, ibukota Kabupaten Kepulauan Aru, memakan waktu 1,5 jam. Setelah menginap semalam di rumah pastori Sekretaris Klasis Pulau-pulau Aru, Pdt. Henkie Mussa, keesokan harinya beta dan Pdt. Sonny Romkeny bertolak menuju Benjina dengan menumpang kapalmotor yang oleh masyarakat setempat disebut "palembang". Nama yang unik namun hampir semua orang yang ditanyai mengapa dinamai itu, tak seorang pun bisa memberi jawaban pasti. Dugaan yang membayang hanyalah kemungkinan bahwa "orang palembang" yang konon merintis mengoperasikan kapalmotor jenis ini di perairan Aru. Pelayaran dengan "palembang" dari Dobo (Pulau Wamar) ke Benjina (Pulau Kobror) memakan waktu sekitar 2 jam.
Ada dua lokasi dermaga untuk merapat. "Palembang" bisa sandar pada satu bagian pantai yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai "dermaga batu", karena hanya pada satu bagian pantai yang kontur batuan alam memungkinkan untuk orang turun-naik dari/ke "palembang". Atau yang lain, "dermaga kayu" yang lebih dekat dengan wilayah perkampungan Benjina.
Sebagai suatu kawasan hasil pemekaran wilayah, Kota Dobo memang sedang menggeliat dengan berbagai bentuk pembangunan. Namun, tak bisa disangkali bahwa di balik segala hiruk-pikuk pembangunannya terselip di sana-sini kisah-kisah pilu orang-orang yang merasa terpinggirkan dan merana. Imajinasi pembangunan pun luruh jika orang tahu bahwa di kawasan yang kaya raya dengan hasil laut ini banyak sisi kehidupan yang miris dan mengenaskan namun mengendap di bawah permukaan realitas sosial dan kebudayaan masyarakat Aru. Berjubel kapal-kapal ikan dengan berbagai bendera perusahaan dan/atau negara yang berlabuh di perairan Dobo (Pulau Wamar). Namun, tentu saja jika ditelusuri tak satu pun yang dikelola oleh orang Aru.
Pernah dengar nama Benjina? Silakan anda menanyakannya kepada mbah google. Di Benjina pernah beroperasi sebuah perusahaan perikanan besar dengan nama PT Pusaka Benjina Resources (PBR). Ada kasus yang terjadi hingga membuat Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, menutup operasi perusahaan ini. Terlepas dari segala analisis dan pertimbangan dari menteri, tapi dampak penutupan PBR sangat dirasakan oleh masyarakat setempat yang untuk sejenak menikmati secercah harapan menggeliat bangkit dari keterpurukan ekonomi yang mereka jalani selama puluhan tahun. Apa mau dikata, kini mereka harus menelan ludah kepahitan dari morat-maritnya harapan-harapan yang sempat mereka impikan. Dari Benjina, tampak sisa-sisa kejayaan perusahaan tersebut yang membisu dengan deretan kapal-kapal ikan yang hanya berlabuh menjadi besi tua menunggu saat berkarat dan tenggelam sendiri.
Wajah Benjina dan Dobo tak simetris dengan "kemeriahan" para pemburu "harta" di laut biru Aru. Suatu kawasan yang menjadi arena perburuan mutiara klas-1 dan limpah-ruah isi perut laut Arafura. Orang-orang Aru tampaknya tak kunjung lepas dari pencitraan historis sebagai "orang-orang kalah" seperti yang pernah digambarkan oleh Roem Topatimasang dkk dalam hasil penelitian mereka tahun 1993 bertajuk "Potret Orang-Orang Kalah". Hasil penelitian tersebut kemudian dipublikasi dengan judul "Orang-Orang Kalah: Kasus Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku (Insist Press 2004).
Beta percaya ada banyak catatan menarik dan "panas" yang telah diguratkan oleh 34 mahasiswa dari pengalaman mereka berjibaku dengan realitas kehidupan 16 masyarakat negeri di kawasan Aru Tengah. Semoga saja mereka tidak hanya menorehkannya sebagai suatu "kewajiban" studi mereka tapi sungguh-sungguh merekamnya dengan kegelisahan akan berbagai ketimpangan yang nyata di depan biji mata.
Terima kasih untuk saudara-saudaraku Pdt. Sonny Romkeny (Ketua Klasis Aru Tengah) dan Pdt. Peter Manuputty (Sekretaris Klasis Aru Tengah), Pdt. Adolof Fariman dan Pdt. Henkie Mussa (Sekretaris Klasis Pulau-Pulau Aru), termasuk Achy Mussa yang rela meminjamkan sepedamotor matic-nya untuk berkeliling menelusuri sudut-sudut Kota Dobo, serta rekan-rekan pendeta yang telah menjadi mentor-mentor hebat bagi 34 mahasiswa Fakultas Teologi selama dua bulan mereka belajar "mengalami teologi kehidupan" orang Aru.
Catatan kecil ini sekaligus menjadi suatu penanda "demarkasi" dari karya komprehensif Patricia Spyer dengan disertasi antropologinya "The Memory of Trade: Modernity's Entanglements on an Eastern Indonesian Island" (2000) yang digarap dengan kajian arsip dan etnografi selama lebih dari 2 tahun. Suatu "demarkasi" untuk menguji tesis Spyer sekaligus mendeteksi perubahan-perubahan mutakhir di Kepulauan Aru: adakah orang Aru turut menikmati segala bentuk perubahan yang terjadi ataukah terus digulung dalam jeratan korban sejarah dan modernisasi itu sendiri?
Aku menulis maka aku belajar
Saturday, May 19, 2018
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment