Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, May 22, 2019

Jakarta 22 Mei 2019

Dini hari Bawaslu mengumumkan penetapan Pasangan Calon 01 (Joko Widodo/Maaruf Amin) sebagai peraih suara terbanyak dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 17 April 2019. Kubu Paslon 02 (Prabowo Subianto/Sandiaga Uno) tidak menerima keputusan tersebut. Sudah sejak jauh hari sebelum penetapan, Paslon 02 dan koalisi partai pengikutnya menyatakan ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif sehingga dengan jelas memperlihatkan gelagat menolak hasil penghitungan suara cepat (quick count) dan final count. Bahkan secara gamblang mendeklarasikan kemenangan sebanyak empat kali dengan klaim kemenangan 62%, meskipun prosentase itu berubah beberapa kali.

Tak berselang lama, gema people power dikumandangkan dan mereduksi kewibawaan institusi-institusi negara yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pilpres, jika memang tuduhan kecurangan itu hendak ditarik ke jalur hukum nasional, yaitu Mahkamah Konstitusi. Berbagai bentuk agitasi dan penghinaan kepada figur Presiden Joko Widodo menyebar melalui media sosial (gambar dan video). Bahkan ada yang dengan sok jagoan mengancam akan memenggal kepala Presiden Joko Widodo (JW). Lapisan-lapisan kepentingan berkelindan sehingga tidak jelas lagi kemana arah ketidakpuasan terhadap hasil pilpres dan tuduhan kecurangan ini tertuju.

Pecahnya bentrokan antara aparat kepolisian yang bersiaga di Gedung Bawaslu, serta penumpukan kerumunan orang pada beberapa titik area di Jakarta, memperlihatkan dengan jelas kompleksitas kepentingan politik yang menunggangi momentum pilpres sebagai kesempatan untuk memenuhi syahwat berkuasa yang tidak lagi mampu dikendalikan. Konsekuensinya, segala cara, strategi dan agitasi pun dianggap "halal" untuk dilakukan. Permainan politik identitas primordial lantas menjadi amunisi yang diledakkan melalui pernyataan-pernyataan politik yang dibumbui dengan sangat tegas oleh citarasa diksi-diksi keagamaan.

Tuntutan apa yang hendak disampaikan melalui aksi-aksi vandalistik kerumunan orang-orang marah ini? Makin tidak jelas. Para elite yang sempat "membakar" kemarahan massa dengan orasi-orasi jalanan tiba-tiba menghilang dan "cuci tangan" lalu berdalih para pelaku kerusuhan bukan kelompok pendukung atau sahabat mereka. Sementara pada saat yang sama, tidak ada ajakan atau anjuran agar massa mundur atau pulang. Jalur hukum melalui gugatan ke MK pun seakan menguap karena tidak tersedia barang bukti yang kuat memperlihatkan indikasi kecurangan pilpres 2019.

Suhu publik Jakarta memanas dengan kekacauan pada beberapa titik. Aparat polisi masih dalam posisi bertahan menghadapi agresivitas sekelompok orang yang melempari dan memaki pasukan polisi. Entah berapa lama benteng kesabaran polisi bisa bertahan di tengah khaos yang sepertinya didesain secara sengaja. Apalagi asrama Brimob di kawasan Petamburan turut dibakar.

Situasi khaos ini jelas bukan kebetulan dan ketidaksengajaan belaka. Wacana-wacana khilafah, "ganti presiden", dan penolakan terhadap sistem demokrasi, sudah tampak sejak tumbangnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam pertarungannya melawan Anies Baswedan untuk menduduki kursi Gubernur DKI. Amunisi politik identitas dengan berbagai bentuk agitasi "penolakan pemimpin kafir" dan "penista agama" berhasil menembus jantung nalar publik sehingga kualifikasi kepemimpinan yang berkualitas dan profesional pun tak lagi determinan. Fenomena itu lantas menjadi parameter dalam sejumlah proses pilkada di daerah-daerah lain, bahkan pilpres dengan pembentukan opini publik "Jokowi PKI" atau "Jokowi antek asing/aseng" dll.

Tidak ada khaos di daerah-daerah lain seperti di Jakarta. Itulah yang menjadi makanan empuk media sehingga menarik semua mata hanya melihat Jakarta dan tidak melirik ketenangan pasca penetapan di banyak daerah luar Jakarta. Maka sebenarnya sentrum pamer syahwat kuasa dan pertarungan politik hanya berputar-putar di Jakarta. Tidak ada model kedewasaan berdemokrasi yang diperlihatkan elite-elite politik Jakarta. Hanya ada kepongahan politik dengan tetap menjadikan rakyat biasa sebagai tumbal dari ritual-ritual politik yang dikendalikan oleh oligarkhi politik.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces