Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, May 22, 2019

Peziarah Sunyi Sejarah Sepi: kisah kecil di balik sebuah buku

"Cuma ada naskah asli disertasi yang beta simpan. Ada coretan-coretan penguji di dalamnya. Beta seng bisa kasi akang. Coba cek Anes Makatita. Dia sempat fotokopi," demikian kata beliau. Siang itu kami sengaja menyambangi rumah beliau di kawasan Kudamati untuk meminjam disertasi beliau tentang "Sejarah Gereja Protestan Maluku". Ketika beliau baru pulang studi doktor sekitar tahun 1992, beta sempat menjadi moderator dalam diskusi mahasiswa dengan narasumber Pdt. Dr. Mesakh Tapilatu, M.Th., atau yang akrab disapa Pa Eca.

Angkatan kami semasa kuliah (1990) tidak sempat bersua beliau yang sedang menjalani studi doktor. Matakuliah Sejarah Gereja diasuh oleh Jacob Seleky, M.Th. atau Pa Jop. Pada pertengahan masa studi sarjana barulah MT selesai studi dan menangani matakuliah tersebut. Jadi tidak banyak berinteraksi dengan beliau di dalam klas.

Interaksi intensif dengan MT justru terjadi selesai studi sarjana. Dalam beberapa kesempatan terlibat diskusi sejarah dengan MT. Misalnya, dalam rangkaian Memorial Lecture Johannes Leimena dan Johannes Latuharhary di UKIM tahun 1995. Saat itu pula bertemu dengan Dr. Zakaria Ngelow, M.Th. yang disertasinya baru diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dengan tajuk "Kekristenan dan Nasionalisme di Indonesia".

Tulisan-tulisan MT tersebar pada beberapa buku. Beliau kerap diundang sebagai narasumber-sejarawan dalam sejumlah proyek penulisan sejarah jemaat-jemaat GPM dan GPI. Yang termutakhir, seingat beta, adalah sebagai salah seorang kontributor artikel dalam buku tebal "History of Christianity in Indonesia" yang digarap kolaboratif bersama Prof. Thom Van den End, Prof. Karel Steenbrink dan Prof. Jan Aritonang.

Penolakannya secara halus untuk meminjamkan disertasinya bisa dipahami. Begitulah seorang sejarawan memperlakukan sebuah naskah atau teks. Sangat berhati-hati dan "pelit" sebab mereka menghargai proses sejarah lahirnya suatu naskah, buku atau teks. Meskipun alasan beta waktu itu adalah membantu mengetik ulang agar bisa disunting untuk diajukan kepada penerbit, lalu dipublikasi. Mengapa? Karena disertasi MT adalah karya akademik sejarah pertama yang mengulas Sejarah Gereja Protestan Maluku. Beta berasumsi disertasi itu harus dipublikasi agar menjadi referensi sejarah GPM yang ditulis oleh "orang" GPM sendiri. Selama ini, pembelajaran sejarah setia merujuk sejumlah karya Thom Van Den End. Baru belakangan, penulisan sejarah secara serius dilakukan oleh Cornelis Alyona dan Johan Saimima.

Jarak generasi mereka sangat jauh. "Tidak mudah mencari peminat kajian sejarah yang serius menekuni dokumen-dokumen atau arsip masa lalu," kata MT. Kondisi itulah yang sempat membuatnya prihatin dengan keberlanjutan ilmu sejarah dalam proses pembelajaran pada Fakultas Teologi UKIM. Untunglah, Cornelis Alyona melanjutkannya dengan aksentuasi pada studi kearsipan. Optimisme makin menguat dengan kehadiran Johan Saimima, generasi muda yang menekuni ilmu sejarah di bawah bimbingan Mesakh Tapilatu, digembleng di Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sejarah UGM dan akan segera menjalani ujian disertasinya.

Penerbitan buku penghormatan kepada Mesakh Tapilatu ini bukannya tanpa kesulitan. Cukup lama proyek penulisan buku ini mangkrak. Kesulitan serupa saat bersama Jusuf Anamofa menggarap buku penghormatan kepada Jacob Seleky. Seperti beta bilang, minim sekali para pengaji sejarah di lingkungan UKIM sehingga pengumpulan artikel bernuansa sejarah juga sulit dan lama dikumpulkan. Target terbit pada usia MT yang ke-70 pun meleset. Ketika Agus Batlajery mengajak bekerja sama untuk merampungkannya, beberapa bulan setelah beta selesai studi di UGM, setahap demi setahap proses pengumpulan tulisan dan penyuntingan mulai dilakukan. Sejumlah nama yang cukup dikenal dalam jagat teologi Indonesia pun turut berkontribusi, seperti Jan Aritonang, Robert Borong, dan Eben Nuban Timo. Sayangnya, Zakaria Ngelow urung menyumbang tulisan karena sedang konsentrasi pada proyek penelitian dan publikasi yang sementara digawanginya waktu itu. Demikian pula dengan Cornelis Alyona.

Apa mau dikata? Proses penggarapan buku ini harus terus jalan. Harapan besar, setelah ini harus dilanjutkan dengan penggarapan dan penerbitan disertasi Mesakh Tapilatu untuk menambah khazanah referensi sejarah yang ditulis oleh sarjana-sarjana penekun sejarah di Maluku. Penyuntingan dan publikasi buku ini tak lepas dari kerja keras murid Mesakh Tapilatu, Johan Saimima. Sudah pasti, tugas besar Johan Saimima adalah melanjutkan apa yang sudah dimulai dan dilakukan oleh Mesakh Tapilatu dan juga Cornelis Alyona.

Ini hanyalah catatan kecil tentang sejarah lahirnya satu buku tentang seorang sejarawan, sekaligus apresiasi atas segala karya yang pernah dilahirkannya tapi belum sempat dikenal luas. Semoga ketika anda membeli dan membacanya makin terkuak noktah-noktah sejarah yang masih terselimuti kabut dan menantang untuk ditelisik lebih jauh dan dalam. Sembari kita bersama terus berusaha melahirkan karya-karya ilmiah yang orisinal bagi pengembangan studi teologi di Tanah Lapang Kecil. Selamat membaca!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces