Pagi hari Nancy sudah bertolak menuju Pelabuhan Tulehu untuk naik kapal cepat jurusan Masohi. Ada undangan dari Klasis Masohi untuk mengisi salah satu sesi dalam kegiatan di sana. Beta bersiap pergi ke kampus sekaligus mengantar Kailani ke sekolah.
Baru saja selesai berpakaian, tiba-tiba terdengar bunyi seperti gemuruh hujan yang kemudian diikuti getaran makin hebat yang mengguncang dinding-dinding rumah. Sontak beta berlari ke ruang tamu dimana Kaila sedang bermain, sambil berteriak keras “Kaila!”. Beta segera menggendongnya lari keluar rumah. Di luar rumah, para tetangga di kompleks sudah berhamburan keluar rumah sambil berteriak panik. Getaran gempa terasa sekitar 10 detik. Selang beberapa menit kemudian terasa sejumlah gempa susulan dengan getaran yang lebih lemah. Namun, kecemasan dan kepanikan akibat getaran 6,8 SR yang pertama telanjur mewabah.
Sontak, gelombang “pengungsi” makin membesar memenuhi jalan-jalan utama kota. Kampus, sekolah, kantor dan pertokoan langsung tutup. Para orangtua menjemput anak-anak di sekolah-sekolah mereka, para siswa dipulangkan, aktivitas perkuliahan di kampus-kampus dihentikan. Kemacetan terjadi pada semua ruas jalan kota Ambon karena akumulasi warga yang bergerak menuju rumah-rumah mereka dan yang mengungsi ke dataran tinggi.
Beta dan Kailani sempat terjebak kemacetan pada pertigaan Belakang Soya (Belso) dan jalan LIN-5 karena bertemunya arus kendaraan yang turun dari Karpan, yang memakan lebih separuh badan jalan, dan arus orang/kendaraan yang menuju Karpan. Hanya tersisa ruang gerak yang cukup untuk dilewati sepedamotor saja dari arah kota (bawah). Dengan susah-payah menahan panas terik matahari siang itu, akhirnya kami tiba di rumah Karpan. Beta menitipkan Kailani kepada Mama An, lalu turun kembali ke rumah Wainitu. Tak berapa lama tiba di rumah, selang beberapa jam Nyong Eby mengirim mobil untuk mengangkut Mami Tin ke rumah Karpan. Dengan demikian, beta bisa lebih leluasa untuk mengemas dokumen-dokumen penting dan membawanya nanti ke rumah Oma Nen (Karpan kompleks).
Suasana Kota Ambon, terutama kompleks pemukiman kami, terasa mencekam. Jalan-jalan lengang. Tampaknya semua orang berjaga-jaga dengan cemas bercampur waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan gempa susulan. Hingga tanggal 22 Oktober 2019 BMKG merilis laporan sudah terjadi 1.670-an gempa-gempa susulan. Suatu fenomena yang unik, menurut beberapa pakar geologi. Dalam kecemasan dan kewaspadaan, kami tetap berdoa penuh harap Tuhan Penguasa Alam ini menjaga seluruh masyarakat Kota Ambon.
Aku menulis maka aku belajar
Tuesday, October 22, 2019
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment