Aku menulis maka aku belajar

Sunday, October 13, 2019

Pendeta Tidak Boleh Sakit?

Sejak mendengar kabar sakitnya Elsa Engel dari bung Jacky Manuputty beberapa tahun lampau, beta sangat prihatin. Keprihatinan itu pula yang membuat beta tidak mau memberi respons dalam bentuk tulisan ataupun status FB mengenai Elsa dan teman-teman [pendeta] lain yang sedang bergulat dengan sakit yang mereka derita. Kenyataan itu juga membuat beta merenung dengan melihat sisi lainnya. Ada banyak kisah tentang rekan-rekan pendeta yang bergumul dengan penyakit dalam tubuh mereka. Namun, ternyata ada yang lebih menyakitkan daripada penyakit mereka, yaitu minimnya – atau bahkan tidak adanya – dukungan biaya dan fasilitas kesehatan yang diberikan oleh institusi gereja. Pandangan ini bisa disanggah dengan memperlihatkan bahwa para pendeta sudah difasilitasi dengan BPJS Kesehatan, asuransi kesehatan, dan lain-lain. Itu betul. Namun, pada kenyataannya, dukungan biaya dan fasilitas kesehatan lebih banyak diperoleh dari kemampuan pembiayaan jemaat-jemaat yang dilayaninya. Tidak bisa disangkali bahwa sulit sekali mendapatkan dukungan biaya dan fasilitas kesehatan dari jemaat-jemaat yang tidak mempunyai “pendapatan” jemaat yang memadai untuk alokasi biaya kesehatan pendeta. Banyak tercecer kisah-kisah para pendeta GPM yang harus berjuang habis-habisan untuk mengobati penyakit mereka. Yang lebih ironis adalah mereka berpulang dengan kondisi kesehatan yang sama sekali tidak tertangani. Entah karena ketiadaan biaya dan fasilitas kesehatan selama pelayanan mereka di jemaat, entah karena tantangan medan pelayanan yang minim fasilitas kesehatan (puskesmas atau rumahsakit daerah).

Kembali ke kasus Elsa Engel. Di antara sekian banyak hal yang telah diposting mengenai Elsa, ada satu postingan yang berisi chatting Elsa dengan seorang pendeta (kalau tidak salah, karena namanya tidak kelihatan jelas), yang mengungkapkan tentang kerinduannya yang besar untuk menjadi “pendeta”. Tapi apa daya, kanker telanjur menggerogoti tubuhnya hingga ia meninggal dunia dengan membawa serta kerinduannya yang tak terpenuhi. Fakta yang sama juga dalam kasus Renza Tahalele beberapa waktu lalu (bisa ditambahkan lagi). Sebagai dosen pada fakultas teologi UKIM, beta mengenal Elsa dan teman-temannya sejak sebelum berangkat studi lanjut. Ketika pulang studi lanjut (5 tahun), beta masih mendapati Elsa dan teman-teman seangkatannya “menganggur” menunggu proses penerimaan vikaris. Beta tidak tahu sudah berapa lama Elsa dkk menunggu hingga mendapat penugasan sebagai vikaris GPM. Soal waktu itu relatif. Beta juga menghabiskan waktu lebih dari 10 tahun (lulus tahun 1996, ditahbiskan tahun 2008). Untunglah, Elsa dkk masih bisa beraktivitas sebagai relawan di Balitbang GPM. Hal yang sama dulu beta dan beberapa teman menjadi tenaga magang di LPJ-GPM yang dibesut oleh Pdt. Wim Davidz saat itu.

Di balik sedikit kasus tersebut, sebenarnya tersembul suatu persoalan fundamental, yaitu [1] Bagaimanakah GPM secara bertahap menangani masalah menumpuknya tenaga vikariat dari tahun ke tahun? [2] Model penanganan kesehatan vikaris/pendeta seperti apa yang mesti didesain untuk mengatasi konteks pelayanan yang beragam dari jemaat-jemaat kepulauan (pesisir/pegunungan) yang sama sekali tidak tersedia fasilitas dan sistem layanan kesehatan yang memadai?

Untuk persoalan pertama, kita bisa menyanggahnya dengan mengatakan bahwa GPM sudah menyusun strategi yang dibicarakan dari sidang-sidang MPL yang sudah berlangsung sekian lama. Umumnya, yang beta dengar, GPM sulit mengatasinya karena itu lebih merupakan masalah animo calon vikaris yang tidak mau atau tidak berminat untuk menerima tantangan menjadi pendeta di luar wilayah GPM. Padahal, dari pengalaman beta menjalani masa vikariat di luar Maluku, banyak sekali sinode-sinode gereja anggota PGI yang membuka diri menerima kehadiran tenaga-tenaga pelayan yang “surplus” dari GPM. Hanya segelintir saja yang mengambil kesempatan itu. Selebihnya dalam jumlah besar lebih memilih “setia” kepada GPM.

Sedangkan untuk persoalan kedua, beta secara jujur harus mengakui bahwa sama sekali belum paham mengenai strategi GPM menangani masalah kesehatan para vikaris/pendeta. Beta hanya bersandar pada asupan data mentah yang diperoleh dari berbagai sumber di jemaat-jemaat mengenai para pendeta yang berjuang sendiri mengatasi penyakit yang bercokol dalam tubuh mereka hingga putus nafas. Kemewahan menikmati dukungan biaya dan fasilitas kesehatan hanya bisa dinikmati oleh rekan-rekan pendeta yang melayani jemaat-jemaat dengan tingkat pendapatan ekonomi menengah/tinggi. Dalih bahwa itu adalah “harga” dari pelayanan sebagai pendeta, dalam hal ini, tentu tidak bisa diterima akal sehat. Malah, itu bisa dilihat sebagai eskapisme dari ketidakmampuan mendukung penyelenggaraan pelayanan melalui model strategis perawatan kesehatan para pendeta.

Catatan kecil ini hanya mencoba meretas peta-peta pemikiran yang masih kabur dalam menanggapi kenyataan rekan-rekan vikaris/pendeta yang terpapar penyakit kronis tanpa dukungan biaya dan kesehatan yang memadai. Sekaligus membuang jauh-jauh mitos bahwa “penyakit” adalah resiko dari pelayanan yang harus dipikul oleh pendeta GPM. Biasanya mitos itu ditanggapi dengan pernyataan beriman “sombayang saja nanti tuangala yang berperkara” atau sikap arogansi “pendeta seng boleh sakit”.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces