Aku menulis maka aku belajar

Saturday, October 3, 2020

"Indonesia" di Ithaca: Catatan Penghormatan 70 Tahun SEAP Cornell University (Bagian I)


"Setelah mempertimbangkan hasil ujian komprehensif dan proposal disertasi Saudara, maka kami menganjurkan Saudara untuk mendalami studi Indonesia. Ada 2 pilihan: Universitas Leiden atau Universitas Cornell," demikian pernyataan salah seorang profesor dari dewan penguji ujian komprehensif saya di ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies), yang bermarkas di Gedung Lengkung Sekolah Pascasarjana UGM. Salah satu persyaratan yang harus dijalani oleh mahasiswa program doktor ICRS adalah melakukan studi literatur pada salah satu universitas di luar negeri selama kurang-lebih 5 bulan. Sebagian besar adalah universitas di Amerika Serikat.

Pilihan itu membuat saya gembira sekaligus gundah. Pasalnya, ketika saya memilih Universitas Leiden, beberapa profesor mengusulkan sebaiknya saya ke Cornell. Bersamaan pula promotor saya, Prof. Paschalis M. Laksono, adalah lulusan Cornell. Tapi ada problem. Ternyata dari sekian banyak kerjasama yang sudah diteken oleh ICRS dengan kampus-kampus di Amrik, saat itu ICRS belum terkoneksi dengan Cornell. Adalah Profesor Bernard Adeney-Risakotta yang saat itu mendorong saya untuk memilih Cornell. "Anda sebaiknya ke Cornell. Dengan demikian, Anda sekaligus menjadi duta ICRS untuk selanjutnya kita bekerjasama dengan Cornell. Kami akan mengatur perjalanan ke Cornell selagi Anda visiting scholar di sana," demikian kata Prof. Bernie.

Singkat kata, saya pun bersiap meskipun agak puyeng. Perjalanan dari New York City ke Ithaca sekitar 6 jam dengan bus Greyhound. Memang ada penerbangan lokal tapi karena musim dingin yang ekstrem maka penerbangan NYC-Ithaca tidak bisa dipastikan. Setiba di NYC saya harus tinggal beberapa hari untuk menentukan transportasi ke Ithaca. Saat itu sedang musim dingin. Saya harus tinggal di mana selama di New York City? Syukurlah, melalui bantuan bung Jacky Manuputty, saya diperkenalkan dengan keluarga bung Franklin Wattimena yang berdomisili di kawasan Queen New York. Keluarga Wattimena bersedia menerima saya transit sebelum ke Ithaca. Persinggahan di New York City tertangani.

Masalah lain, bagaimana dengan pemondokan saya selama berada di Ithaca? Karena saya adalah mahasiswa ICRS pertama yang ke Cornell dan belum ada kontrak kerjasama Cornell-ICRS maka Cornell (SEAP) tidak mempersiapkan fasilitas pemondokan atau asrama. Saya harus mencari sendiri. Lagi-lagi saya bersyukur karena melalui Prof. Dieter Bartels, saya diperkenalkan dengan Prof. John Wolff, seorang Indonesianis di Cornell. Hanya dalam hitungan hari, John Wolff membalas email saya dan menyatakan bersedia menampung saya di rumahnya sambil mencari pemondokan di Ithaca.

Hari sudah malam ketika pesawat mendarat di bandara internasional John F. Kennedy New York. Semua tampak putih diselimuti lapisan salju tebal. Bung Franklin Wattimena alias bung Engkin bersama putrinya menjemput saya dan kami menuju rumah keluarga Wattimena. Saya merasa "at-home" selama beberapa hari tinggal bersama mereka sembari, dengan bantuan bung Roy Manuputty, mencari informasi mengenai transportasi ke Ithaca. Selama berada di NYC, John Wolff terus berkomunikasi dengan saya untuk memastikan keadaan saya baik-baik dan mencari tahu waktu tiba di Ithaca karena beliau akan menunggu saya di terminal bus Ithaca.

Musim dingin yang hebat (menurut ukuran saya) cukup membuat saya kewalahan. Untunglah keluarga Wattimena dan bung Roy Manuputty membantu saya dengan memberikan mantel, jaket, syal, sarung tangan, kaos kaki dan sepatu khusus salju. Sepatu sneakers saya basah kuyup ketika saya paksa pakai keluar rumah dalam kondisi hujan salju dan melewati jalan berlapis salju tebal. Hampir seminggu saya tinggal bersama keluarga Wattimena. Pada hari yang kami sepakati, karena bertepatan dengan jam kerja bung Engkin dan usi Onco, maka bung Roy Manuputty bersedia mengantar saya ke terminal bus Greyhound menuju Ithaca.

(lanjut)

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces