Aku menulis maka aku belajar

Sunday, October 4, 2020

"Indonesia" di Ithaca - Catatan Penghormatan 70 Tahun SEAP Cornell University (Bagian II)


Setelah menempuh perjalanan dengan bus Greyhound selama kurang-lebih 6 jam, saya tiba di terminal bus Ithaca. Sepanjang perjalanan saya lebih banyak tidur karena tidak ada pemandangan yang bisa dinikmati selain hamparan salju dimana-mana. Tak lebih 15 menit, hp berdering. John Wolff menelepon untuk memastikan saya sudah tiba di Ithaca dan meminta saya menunggu penjemputannya. Tak berapa lama beliau datang. Saya segera mengenalinya karena sebelumnya saya sudah googling foto beliau hanya untuk memastikan mengenali wajahnya. Rupanya beliau juga langsung mengenali saya. Pasti karena hanya saya penumpang yang sedang menunggu jemputan dan tentu saja berkulit coklat. 

Ithaca adalah kota kecil yang indah. Sepintas dalam amatan pertama, kota kecil ini dihidupi salah satunya oleh keberadaan kampus Cornell. John Wolff menceritakan banyak hal sepanjang perjalanan menuju rumah. Sampai di rumahnya, saya diperkenalkan dengan ibu Ida, istrinya, seorang perempuan Filipina yang ramah. Mereka tinggal berdua saja karena anak-anak mereka sudah berkeluarga dan tinggal di kota lain. John langsung membawa saya ke kamar yang disiapkan untuk saya. "Jangan sungkan-sungkan. Anda bisa menyiapkan sendiri apa yang dibutuhkan. Di rumah ini hanya saya dan Ida. Beristirahat dulu. Nanti kita makan malam bersama," demikian ujar John yang fasih berbahasa Indonesia, Jawa, dan Tagalog. 

Hanya 2 hari saya gunakan untuk mempelajari peta Ithaca dan berkomunikasi dengan pihak SEAP Cornell University untuk melaporkan bahwa saya sudah tiba di Ithaca. Hari ketiga saya mencoba pergi ke kampus. Tawaran John Wolff untuk mengantar saya tolak dengan halus karena saya tidak mau lagi merepotkan orang tua baik hati ini. Setelah melihat peta, saya merasa jarak yang harus saya tempuh tidak terlalu jauh. Yang meleset dari perhitungan saya adalah: badai salju. Hampir saja saya tersesat karena kehilangan petunjuk arah akibat semua tempat hanya putih melulu tertutup salju tebal. Sialnya, tidak ada orang di sepanjang jalan yang bisa ditanyai. Untungnya, GPS pada hp tetap "on" sehingga akhirnya tiba juga di kampus meskipun masuk dari gerbang yang jauh dari gedung administrasi. 

Agak sulit menandai beberapa gerbang kampus Cornell karena kampus ini secara geografis menyatu dengan sebagian wilayah kota Ithaca dan lingkungan perbukitan, hutan serta sungai di dalamnya. Setelah melapor diri ke International Office, tak sampai 1 jam saya sudah mendapat ID Card dan sejumlah kertas dokumen yang menerangkan hak dan kewajiban saya selama beraktivitas di Cornell, serta dokumen-dokumen lain (info rute bus, denah kampus, peta kota Ithaca, dll). 

Selama 2 hari berikutnya, John Wolff bersedia mengantar saya mengunjungi beberapa tempat pemondokan yang tersedia (sesuai info internet dan beberapa tautan yang direkomendasikan oleh kampus). Dalam urusan ini saya sangat berterima kasih karena pada setiap tempat yang kami kunjungi, John memberikan kesan penilaiannya terutama mengenai lingkungan dan harga. Sebenarnya saya hampir putus asa karena sebagian besar tempat sudah kami kontak sebelumnya tidak direkomendasikan layak oleh John. Sampai tersisa satu nomor kontak tanpa email. 

Nomor kontak terakhir ini ternyata adalah sepasang suami-istri keturunan India, keluarga Selvarajaj. Mereka tinggal berdua saja di wilayah pinggir tebing yang dikenal sebagai "Fall Creek". Anak semata wayang mereka sudah berkeluarga dan tinggal di Florida. Mereka punya 2 kamar yang disewakan. Keduanya sudah terisi. Tapi salah satu mahasiswa sedang melakukan penelitian selama 6 bulan di kota lain. Keluarga Selvarajaj bersedia menerima saya untuk menempati kamar yang kosong itu. Di tempat inilah John kemudian menilai bahwa saya layak menempatinya karena lingkungan rumah mendukung, selain jarak yang tidak jauh menuju kampus atau perpustakaan Olin-Kroch dengan berjalan kaki. 

Bersama keluarga Selvarajaj inilah saya memulai peziarahan intelektual selama musim dingin yang cukup ekstrem saat itu. Meskipun ke kampus atau perpustakaan bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki, melewati hutan kecil kampus dan jembatan gantung atau "suspension bridge", tapi tantangan terberat adalah "kemalasan" ketika bangun pagi dan melihat dari kaca jendela hujan salju yang turun lebat, serta lapisan salju tebal yang menutupi jalan dan trotoar.  

Tuan Selvarajaj pernah berkelakar kepada saya: "Anda datang ke Ithaca pada waktu yang salah." Apa boleh buat? Meski menggigil dengan berlapis 4 baju, mantel, karpus, sarung tangan, dan sepatu salju, hampir setiap hari saya harus berjalan kaki di tengah gempuran hujan salju bersuhu rata-rata -10 derajat Celcius. Perpustakaan Olin-Kroch dan ruang kerja di Kahin Center adalah tempat saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk membaca dan menulis, selain mengikuti acara-acara "Brown Bag Talk" yang digelar rutin oleh Southeast Asia Program (SEAP). (lanjut) 

*Foto: Rumah Keluarga Selvarajaj, Fall Creek, Ithaca.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces