Anak kami, Kainalu, kepincut berat dengan film animasi “Avatar”. Hampir setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah (TK) dia selalu memaksa untuk nonton filmnya sampai selesai. Akibatnya, dia selalu terlambat ke sekolah. Yah, susahnya film anak-anak diputar sepagi itu. Semula kami merasa berat dengan kebiasaan nonton film itu, tetapi kami juga terdorong rasa ingin tahu apa sebenarnya yang diceritakan di film itu. Beberapa kali kami menyempatkan diri untuk menontonnya. Wow, ternyata film animasi Avatar itu sarat dengan ajaran-ajaran kebijaksanaan Timur yang dikemas dengan sangat baik. Bahkan sekarang bukan hanya Kainalu, kami pun orangtuanya jadi ketagihan ingin menikmati alur cerita dan juga ungkapan-ungkapan hikmat (wise words) yang kerap muncul dalam adegan-adegan Avatar. Sayangnya, setelah beberapa kali menontonnya kami mulai bosan karena serinya tidak berlanjut. Jadinya ya terjadi pengulangan berkali-kali sampai kami hafal beberapa episode.
Kisah Avatar sederhana. Bermula dari titisan pengendali empat unsur utama: api-air-angin-bumi. Avatar digambarkan sebagai roh titisan yang sudah beberapa kali muncul dalam kurun sejarah manusia selama ribuan tahun. Kali ini Avatar berinkarnasi dalam wujud seorang bocah lucu bernama Aang (baca: Eng). Aang dipercaya sebagai Avatar. Kendati demikian, tidak serta-merta seluruh kemampuan sakti Avatar sudah inheren dalam diri Aang. Meskipun ada potensi kekuatan Avatar dalam diri Aang, tetapi potensi itu harus dikelola, dilatih untuk mencapai tingkat kesempurnaan. Oleh karena itu, film Avatar sebenarnya berkisah tentang perjalanan dan liku-liku persoalan yang dihadapi oleh Aang untuk mencari guru yang dapat membimbingnya mengolah kemampuan pengendali empat unsur utama alam semesta tadi secara sempurna. Dalam pencariannya, Aang ditemani oleh dua orang sahabatnya kakak-adik bernama Saka dan Katara. Saka jago main bumerang, sedangkan Katara memiliki kemampuan pengendali air. Aang sendiri sudah memiliki tingkat pengendalian angin yang tinggi.
Salah satu tantangan terberat yang dihadapi mereka bertiga adalah dari Pangeran Zuko, putra mahkota Kerajaan Api yang diusir keluar dari Kerajaan Api dan hanya diizinkan kembali jika berhasil menangkap Avatar. Pangeran Zuko adalah sosok temperamental dan obsesif, yang kadang-kadang ceroboh dan cenderung angkuh. Tetapi Zuko adalah seorang petarung yang gigih dan pantang menyerah sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya. Beberapa kali dia digambarkan terlibat pertarungan dengan Aang, tetapi dia tidak pernah menyerah untuk memburu Avatar.
Menonton film Avatar dan membaca komiknya kemudian menjadi keasyikan tersendiri bagi saya. Tidak ada bosan-bosannya. Saya seolah-olah dibawa bertualang ke dalam suatu dunia imajinatif mengenai “dunia” kita sendiri. Perjuangan, tantangan, obsesi, hasrat berkuasa, roman, sakit hati, kejenakaan, melebur dalam suatu episode kehidupan untuk mencapai “kesempurnaan”. Kesempurnaan itu sendiri digambarkan bukan sebagai suatu “sorga” atau “nirwana”, melainkan kemampuan untuk mengelola potensi diri dalam penguasaan empat unsur semesta: api-air-angin-bumi. Keempatnya adalah unsur konkret yang melingkupi hidup keseharian kita. Keempatnya – sebenarnya – adalah bagian dari hidup kita.
Tetapi penggambaran empat unsur semesta itu ternyata bisa juga dimaknai secara simbolis. Hampir dalam setiap episode Avatar selalu ditemui interpretasi simbolik terhadap keempat unsur tersebut. Yang menjadi nyata ialah keempat unsur tersebut bukan sekadar “benda mati”, melainkan mereka “bernafas dan berkarakter”. Nafas dan karakter itu pada hakikatnya dimiliki oleh manusia, sehingga dalam seluruh pencariannya Aang sebenarnya tidak sedang mencari guru untuk belajar ilmu baru, tetapi Aang belajar untuk memunculkan dan mengendalikan kekuatan-kekuatan karakter dalam dirinya.
Membaca Avatar kemudian menyentak kesadaran saya akan apa yang sedang terjadi di sekitar kehidupan kita akhir-akhir ini. Bencana banjir yang menenggelamkan beberapa kampung dan kota-kota di Indonesia, gunung meletus, kebakaran hutan, tanah longsor, air pasang, angin puting beliung, gempa bumi, semburan lumpur dari perut bumi, merefleksikan betapa kehidupan kita sebagai penduduk semesta ini makin tak akrab karena karakter kemanusiaan yang makin tak terkendali dalam keserakahan dan keangkuhan, lalu mengobrak-abrik alam menurut maunya sendiri. Kita bertindak tanpa pengendalian diri.
Tidak cukup bencana alam. Hampir di seluruh pelosok negeri ini kita menyaksikan eksplorasi energi kemarahan yang luar biasa dalam setiap aspek kehidupan. Supporter sepakbola yang marah karena kesebelasan favoritnya kalah, anggota-anggota parpol yang marah karena aspirasinya tidak ditampung pengurus parpol, warga yang marah karena ada pengusaha yang membangun vila pribadi dengan menyabot tanah warga, anggota-anggota DPR yang marah karena tidak dapat fasilitas hidup ala konglomerat sebagai konsekuensi mewakili rakyat yang hidup melarat, anak-anak sekolah yang marah karena temannya diejek anak-anak dari sekolah lain, warga miskin yang marah karena gubuk-gubuk mereka digusur tanpa ampun, para pengacara yang marah karena kliennya dituduh sembarangan, kaum beragama yang marah karena ada kelompok beragama lain yang ngedompleng nama agamanya padahal praktiknya dianggap menyimpang, polisi marah kepada tentara, tentara marah kepada polisi, dan seribu kemarahan lainnya. Negeri kita sekarang ini benar-benar sedang menjadi pabrik raksasa yang memproduksi aneka produk kemarahan. Tinggal pilih: mau marah yang rasa apa – rasa caci-maki, rasa bogem, rasa pentungan kayu, rasa buldozer, atau bahkan rasa arsenik (seperti yang dialami sahabat kita Munir).
Mengapa kita – nampaknya – begitu menikmati energi kemarahan? Saya sendiri tidak tahu jawabnya. Bisa jadi, jawabannya pun bisa macam-macam tergantung pada siapa yang menjawabnya. Tetapi rasanya sayang sekali jika bangsa yang begini besar dengan aneka kejamakannya (bahasa, etnis, agama, dsb) terkuras habis energinya hanya untuk marah-marah. Energi kemarahan yang menampak dalam berbagai tampilan bangsa kita ini sebenarnya bisa dimaknai sebagai energi luar biasa jika itu bisa diarahkan bagi pengembangan kesadaran berbangsa secara positif. Tentu saja, proses membangun kesadaran positif dengan energi tersebut bukanlah sesuatu yang gampang bin mudah. Justru saya melihat sekarang ini kita tidak membutuhkan suatu negasi terhadap kemarahan sosial, tetapi kita membutuhkan suatu habitus baru yang mampu mewadagi spirit itu. Wadag itu adalah “kita”, bangsa ini dengan segala kemajemukannya. Spirit itu adalah komitmen dan konsensus untuk menjadi Indonesia sebagaimana yang pernah kita banggakan karena berdiri merdeka di atas pilar-pilar heterogenitas, bukan homogenitas atau penyeragaman. Oleh karena itu, jika Indonesia hanya dipahami dalam sebuah perspektif mikroskopik “agama” atau “etnis” tertentu, itu malah pengerdilan spirit berindonesia.
Lalu habitus barunya apa? Habitus baru itu adalah “persahabatan”. Persahabatan itu berbeda dengan persaudaraan. Persahabatan adalah hubungan sadar yang dibangun karena kesamaan visi dan misi untuk menjalani kehidupan bersama. Persahabatan tidak ditentukan oleh faktor genetik atau nenek-moyang. Persahabatan terbuka bagi “yang macam-macam” dan “yang lain”, karena keduanya itu dilihat sebagai energi untuk selaras dalam pilihan-pilihan yang berbeda. Konsep kesetiakawanan sebenarnya merupakan pemaksaan paradoks – apakah yang tidak setia bisa tetap dianggap kawan? Agama-agama pun sebenarnya mengajarkan sebuah konsep persahabatan universal: persahabatan dengan sang Tuhan yang [mestinya] mewujud dalam persahabatan dengan manusia dan alam. Oleh karena itu, agak aneh bin ajaib jika ada orang yang mengatakan dirinya sahabat Tuhan tetapi perilaku sosialnya malah tidak bersahabat dengan manusia. Persahabatan adalah pengendalian energi kebangsaan otentik (api), solidaritas (air), kesetiaan (bumi) dan kehidupan (angin).
Jika Aang dalam upaya mencapai kesempurnaan menjadi Avatar mesti menguasai dan mampu mengendalikan keempat unsur atau energi itu, maka saya pikir untuk mencapai kesempurnaan menjadi Indonesia kita mesti pula mampu menguasai empat unsur: kebangsaan otentik, solidaritas, kesetiaan dan kehidupan. Hanya bangga pada kebangsaan akan menjerumuskan kita pada nasionalisme cebol; penganggungan semu pada solidaritas hanya akan membuat kita berteriak tanpa gerak; kesetiaan palsu pada nilai-nilai dasar kemanusiaan hanya akan mencetak stiker-stiker kemunafikan; kehidupan yang tidak berakar pada komitmen kultural keindonesiaan hanya akan menjungkirbalikkan kita dalam putaran roda permusuhan. Kita punya energi-energi itu, tetapi kita toh harus tetap mencari “guru” agar mampu mengendalikannya.
No comments:
Post a Comment