Siapakah MK? Untuk itu Anda bisa menelusuri lewat search-engine Google di internet. Dalam sekejap kita bisa menemukan ribuan entries yang menautkan nama Marianne Katoppo yang dipasang di berbagai situs jaringan (websites). Oleh karena itu, saya tentu tidak ingin lagi mengulang hasil pencarian itu di sini tentang siapa MK. Namun, hasil pencarian di dunia maya itu sungguh-sungguh membuat saya terkesan dengan figur MK. Sejak masih studi di Fakultas Teologi UKIM, saya memang sudah mendengar nama MK dalam ranah akademik teologi global. Setidaknya, saya – waktu itu – berbangga bahwa di antara sederetan nama-nama “raksasa-raksasa” teologi Barat, toh tersisipkan nama seorang perempuan Indonesia, Marianne Katoppo.
Kendati ada keinginan berdiskusi dengan MK, toh hingga kepergiannya menjumpai Sang Tuhan yang diempukannya, saya belum pernah sekali pun mendapatkan kesempatan itu. Yah, sudahlah. Namun, saya makin menyadari makna pepatah “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang” – betapa pentingnya meninggalkan “warisan” pemikiran yang terartikulasi dalam wujud buku. Tanpa fisik MK, saya ternyata menjumpai dia dalam kritik-kritiknya, diksi-diksinya, yang cerdas dalam bukunya. Dan ternyata MK tetap “hidup”.
Perempuan 3D
Tidak sulit mencari perempuan Asia-Kristen yang pintar dan bergelar, tetapi menurut saya sulit mencari Perempuan-Asia-Kristen setangguh MK. Dia tangguh bukan karena dia mampu menguasai 10 bahasa asing, tetapi karena dia menyelami hidupnya dengan petualangan-petualangan intelektual lintas budaya. Dia tangguh bukan karena dia pernah belajar di luar negeri, tetapi dia menghayati identitasnya sebagai perempuan serta memberi makna “yang lain” di tengah-tengah diskursus identitas multikultural. Dia tangguh karena dia memilih menjadi dirinya sendiri, perempuan merdeka yang menolak dideterminasi oleh “gelar” dan “status sosial”.
Mengenang MK dengan seluruh sepak-terjangnya di dunia feminisme global pada saat yang sama adalah juga mengajukan pertanyaan: kemana arah feminisme (teologi Kristen) Indonesia? Saya tahu bahwa banyak teologiwati Indonesia yang cukup garang menyuarakan kritik sosial mereka terhadap penindasan perempuan dalam arti luas. Sayangnya, menurut saya, mereka lebih banyak tenggelam dalam retorika teologis yang tidak berakar pada gulatan-gulatan lumpur Indonesia. Bacaan-bacaan mereka “berat”, tetapi “kurus” dalam eksplorasi keperempuanan yang “menyentuh dan membebaskan”. Pendapat-pendapat mereka kritis, tetapi dengan mudah ditepis karena tidak dibangun di atas kerangka epistemologis yang andal. Banyak yang merujuk feminis-feminis Barat, tetapi terpuruk ketika mesti menyebut perempuan-perempuan biasa di tanah sendiri, padahal mereka juga melakukan banyak hal yang luar biasa.
Saya dengar PERSETIA bekerja sama dengan Pusat Studi Feminis Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta akan menyelenggarakan lokakarya penulisan buku teologi feminis di awal 2008. Mungkin ini waktunya mengerahkan dan mengarahkan energi perempuan 3D dalam kurikulum sekolah-sekolah teologi di Indonesia. Marianne Katoppo, perempuan 3D itu, telah pergi. Tetapi saya – laki-laki biasa – percaya bahwa kerangka feminisme MK dapat menjadi spektrum yang menerobos kebekuan dan kekeluan teologis dalam kurikulum sekolah-sekolah teologi ketika mesti berbicara tentang perempuan. Saya – laki-laki biasa – berharap momentum diskursus teologi feminis PERSETIA menjadi proses lingkaran hermeneutis yang mengajak setiap orang – perempuan dan laki-laki – “tersentuh dan bebas”.
No comments:
Post a Comment