Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, January 9, 2008

Mencari yang tersentuh dan bebas: Teologi [Kristen] Feminis Indonesia Pasca Marianne Katoppo

Tanggal 12 Oktober 2007 pukul 20:23 saya menerima layanan pesan singkat (sms) dari istri saya – Pdt. Nancy Souisa – yang sedang bertugas di Papua. Isi sms-nya: “Bung,ibu Mariane Katopo meninggal”. Sungguh, saya terkejut. Betapa tidak, beberapa minggu sebelumnya saya dan istri saya terus-menerus mendiskusikan Marianne Katoppo (MK). Diskusi itu berkaitan dengan rencana Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA) – lembaga tempat istri saya mengabdi – yang bekerja sama dengan Penerbit Aksara Karunia menyelenggarakan acara peluncuran buku MK “Tersentuh dan Bebas: Teologi Seorang Perempuan Asia”. Malah, hasil diskusi tersebut mendorong kami untuk melacak kembali sejumlah karya MK (dalam bentuk buku maupun artikel). Selain pihak keluarga besar Katoppo, Nancy tentu adalah orang cukup shock. Selama beberapa waktu dia berproses bersama MK untuk penerbitan bukunya itu, tetapi ketika MK pergi dia justru sedang berada jauh dari Jakarta. Sampai sekarang dia masih menyimpan sms terakhir dengan MK – “ini percakapan terakhir dengan MK”, ujarnya.

Siapakah MK? Untuk itu Anda bisa menelusuri lewat search-engine Google di internet. Dalam sekejap kita bisa menemukan ribuan entries yang menautkan nama Marianne Katoppo yang dipasang di berbagai situs jaringan (websites). Oleh karena itu, saya tentu tidak ingin lagi mengulang hasil pencarian itu di sini tentang siapa MK. Namun, hasil pencarian di dunia maya itu sungguh-sungguh membuat saya terkesan dengan figur MK. Sejak masih studi di Fakultas Teologi UKIM, saya memang sudah mendengar nama MK dalam ranah akademik teologi global. Setidaknya, saya – waktu itu – berbangga bahwa di antara sederetan nama-nama “raksasa-raksasa” teologi Barat, toh tersisipkan nama seorang perempuan Indonesia, Marianne Katoppo.

Nama MK makin akrab di telinga ketika saya berkenalan dengan seorang perempuan – yang sekarang adalah istri saya – yang juga gigih menyelami persoalan-persoalan feminisme kontekstual. Saya membaca secara serius karya MK Compassionate and Free (WCC, 1979) pada saat istri saya, Nancy, menulis tesis pada Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Sungguh, saya kagum dengan kemampuan MK untuk doing theology (bukan hanya sekadar belajar atau rajin membaca buku teologi!) sebagai seorang perempuan yang menurut pengakuannya terkungkung dalam tiga “minoritas”: Asia, Kristen, perempuan. Melacak MK lebih jauh justru membawa saya ke dalam rimba belantara teks-teks sastra yang nyaris menyesatkan. Sulit membingkai MK hanya pada satu terali “teologi”, karena ternyata artikulasi teoretis dan praksis MK sudah melampaui ranah yang mahaluas dengan kecerdasannya sendiri.

Kendati ada keinginan berdiskusi dengan MK, toh hingga kepergiannya menjumpai Sang Tuhan yang diempukannya, saya belum pernah sekali pun mendapatkan kesempatan itu. Yah, sudahlah. Namun, saya makin menyadari makna pepatah “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang” – betapa pentingnya meninggalkan “warisan” pemikiran yang terartikulasi dalam wujud buku. Tanpa fisik MK, saya ternyata menjumpai dia dalam kritik-kritiknya, diksi-diksinya, yang cerdas dalam bukunya. Dan ternyata MK tetap “hidup”.

Perempuan 3D

Tidak sulit mencari perempuan Asia-Kristen yang pintar dan bergelar, tetapi menurut saya sulit mencari Perempuan-Asia-Kristen setangguh MK. Dia tangguh bukan karena dia mampu menguasai 10 bahasa asing, tetapi karena dia menyelami hidupnya dengan petualangan-petualangan intelektual lintas budaya. Dia tangguh bukan karena dia pernah belajar di luar negeri, tetapi dia menghayati identitasnya sebagai perempuan serta memberi makna “yang lain” di tengah-tengah diskursus identitas multikultural. Dia tangguh karena dia memilih menjadi dirinya sendiri, perempuan merdeka yang menolak dideterminasi oleh “gelar” dan “status sosial”.

Mengenang MK dengan seluruh sepak-terjangnya di dunia feminisme global pada saat yang sama adalah juga mengajukan pertanyaan: kemana arah feminisme (teologi Kristen) Indonesia? Saya tahu bahwa banyak teologiwati Indonesia yang cukup garang menyuarakan kritik sosial mereka terhadap penindasan perempuan dalam arti luas. Sayangnya, menurut saya, mereka lebih banyak tenggelam dalam retorika teologis yang tidak berakar pada gulatan-gulatan lumpur Indonesia. Bacaan-bacaan mereka “berat”, tetapi “kurus” dalam eksplorasi keperempuanan yang “menyentuh dan membebaskan”. Pendapat-pendapat mereka kritis, tetapi dengan mudah ditepis karena tidak dibangun di atas kerangka epistemologis yang andal. Banyak yang merujuk feminis-feminis Barat, tetapi terpuruk ketika mesti menyebut perempuan-perempuan biasa di tanah sendiri, padahal mereka juga melakukan banyak hal yang luar biasa.

Saya dengar PERSETIA bekerja sama dengan Pusat Studi Feminis Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta akan menyelenggarakan lokakarya penulisan buku teologi feminis di awal 2008. Mungkin ini waktunya mengerahkan dan mengarahkan energi perempuan 3D dalam kurikulum sekolah-sekolah teologi di Indonesia. Marianne Katoppo, perempuan 3D itu, telah pergi. Tetapi saya – laki-laki biasa – percaya bahwa kerangka feminisme MK dapat menjadi spektrum yang menerobos kebekuan dan kekeluan teologis dalam kurikulum sekolah-sekolah teologi ketika mesti berbicara tentang perempuan. Saya – laki-laki biasa – berharap momentum diskursus teologi feminis PERSETIA menjadi proses lingkaran hermeneutis yang mengajak setiap orang – perempuan dan laki-laki – “tersentuh dan bebas”.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces