Ada setitik penyesalan karena ketika Daniel Sahuleka manggung di Assembly 3 Jakarta Convention Center, pada hari kedua Java Jazz Festival (JJF) 2006, Sabtu (4/3), saya sedang berada jauh dari Jakarta. Saya dan Daniel Sahuleka memang tidak ada hubungan saudara apa pun. Jika toh ada yang bisa dikait-kaitkan paling-paling hanya karena kami berdua punya latar belakang “Maluku”. Pengaitan itu pun berjarak karena saya “Maluku” di Indonesia dan Daniel Sahuleka adalah “Maluku” di Belanda. Bertemu pun hanya sekali. Tetapi justru pertemuan yang sekali itu memberi kesan mendalam tentang sosok Daniel Sahuleka.
Saya lupa kapan tepatnya saya mendengar suara Daniel Sahuleka lewat hit-nya “Don’t Sleep Away This Night”. Ingatan yang masih tersisa hanyalah ketika itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Selanjutnya, nama Daniel Sahuleka hanya terdengar sayup-sayup, bahkan nyaris terkikis dari memori.
Tetapi siapa sangka bakal bertemu Daniel Sahuleka face-to-face? Bukan hanya nonton dia ngejreng di pentas musik tetapi bahkan ngopi bareng Daniel Sahuleka satu meja sambil ngobrol santai dengan gaya khas seniman. It’s amazing grace!
Pengalaman perjumpaan dengan Daniel Sahuleka terjadi ketika saya mendapatkan beasiswa untuk studi di Vrije Universiteit (VU) Amsterdam tahun 2003. Saya tinggal di Student Hospitium di Amstelveen, suatu daerah perbatasan yang tenang di pinggiran kota Amsterdam. Selama di Belanda saya kerap bertemu dengan beberapa komunitas Maluku-Belanda. Dari mereka juga saya mendapat informasi mengenai berbagai konser dan pameran yang berlangsung di berbagai kota.
Medio Desember 2003 Daniel Sahuleka menggelar konser tunggal di Moluks Historisch Museum (Museum Sedjarah Maluku) di Utrecth. Di museum ini tersimpan barang-barang peninggalan generasi pertama komunitas Maluku yang dibawa oleh Belanda. Selain itu, museum ini juga berfungsi sebagai institusi penelitian dan pengembangan (litbang) yang fokus pada dinamika sosial komunitas Maluku di Belanda, juga sebagai tempat ajang seni (musik dan lukisan). Nah, Daniel Sahuleka sudah beberapa kali manggung di situ.
Kami tiba di Utrecth sebelum konsernya dimulai. Daniel Sahuleka sudah ada di sana. Semula saya membayangkan pasti artis gaek ini tidak terlalu peduli dengan kami. Ternyata salah! Sambutan pribadi Daniel Sahuleka begitu hangat. Melihat “muka baru” dia langsung menghampiri dan menanyakan identitas saya. Ketika saya bilang dari Indonesia dia langsung menarik saya duduk satu meja, lantas memesan sendiri dua cangkir kopi. Cukup lama kami ngobrol santai sebelum dia memulai konser akustiknya. Bahkan ada dua teman mahasiswa asal Aceh yang studi broadcasting di Hilversum juga diajak bergabung ngobrol bareng. Percakapan kami melebar ke segala arah, mulai dari musik hingga politik. Daniel Sahuleka ternyata bukan musisi picisan. Dari komentar-komentarnya dia sungguh-sungguh menaruh perhatian pada hidup dan konteks kemanusiaan. Dia adalah seorang eksitensialis.
Selama konsernya, saya sungguh-sungguh tenggelam dalam cabikan gitar akustiknya dengan kelincahan jari-jemari yang bertingkah dalam chord jazzy yang bergairah dengan hentakan-hentakan kakinya. Begitu terpesonanya sampai-sampai saya selalu lupa untuk bertepuk tangan di setiap akhir lagu. Hanya pada lagu “Home Again”, Daniel Sahuleka dari atas panggung mengatakan lagu itu ditujukan kepada saya dan dua orang teman Aceh. Itu membuat hati saya meleleh karena mengingat kekasih di Indonesia. Oh ya, salah seorang teman dari Aceh juga berniat menjadikan Daniel Sahuleka sebagai salah satu ikon perdamaian di Aceh. Dia sedang merancang program perdamaian dengan menayangkan kisah hidup dan pesan-pesan perdamaian dalam lirik-lirik lagu Daniel Sahuleka.
Bagi saya, Daniel Sahuleka tidak sedang bernyanyi tetapi berkisah tentang perjalanan hidupnya, pencarian identitasnya, kepedihannya. Dia tidak membuai penonton hanya dengan kepiawaiannya mencabik gitar, tetapi gitar seolah menjadi perangkai bahasa artistiknya yang hidup dan liar untuk menguak kegetiran-kegetiran hidup sekaligus warna-warni hidup yang menjadikan kemanusiaan begitu indah bak rajutan permadani.
Dalam kisah-kisahnya yang terlagukan secara balada, saya dibawa ke dalam suatu realitas kehidupan yang lain daripada yang pernah saya bayangkan. Suatu realitas kepedihan sejarah dari orang-orang Maluku yang “terbuang” di negeri Belanda. Dulu saya membayangkan komunitas Maluku di Belanda pasti orang-orang yang cukup makmur karena hidup di negara makmur seperti Belanda. Tetapi narasi artistik Daniel Sahuleka malah membuyarkan seluruh “keenakan” itu dan menyodorkan suatu realitas yang berbeda. “Sejarah orang-orang Maluku di Belanda adalah sejarah yang pedih. Sejarah kebohongan. Katong seng boleh lupa akang!” demikian katanya, juga kata banyak orang Maluku generasi tua di Belanda.
Yah, memang. Dalam wacana politik Indonesia “alumnus” KNIL yang terbuang ke Belanda sudah terlanjur dilabel “RMS”. Namun, jarang yang mau melihat dengan hati tulus bahwa mereka juga adalah korban-korban dari pertarungan politik global. Mereka adalah orang-orang yang berjuang dalam kepedihan sejarah untuk merajut kembali identitas yang sudah tercerabut dari akar kultural dan teritorial Maluku. Pemberontakan mereka adalah bentuk pencarian identitas yang tercabik-cabik. Cerita mereka bukanlah cerita politik omong kosong, tetapi sebuah perjuangan bertahan hidup dalam konteks masyarakat multikultural – tanpa akar dan tanah.
Saya termangu ketika sang legendaris, Daniel Sahuleka, melantunkan lagu terakhir, dengan merdu tetapi sungguh terasa jiwanya tersayat...
Beta berlayar jauh
Jauh dari Ambone
Di tanah orang baru beta manyasale
Mangapa beta mau
Buang diri bagini
Jauh dari pangku mama... sungguh asing lawange
Sio apa tempo beta pulang ke Ambone
Lautan luas gunung tapele
Mari mama gendong beta
La bawa pulang dolo ee
Ke tanah yang kucinta...Ambon manise...
Ahhh... you’re truly the legend...
Wah bung, beta baru baca pertemuan dengan Daniel Sahuleka ini. Ada lagunya itu yang asyik tentang rindu pulang, rindu lihat pantai, beta lupa akang pung judul.
ReplyDeleteAsyik tuh ketemu dengan dia. Kapan ya beta bisa ketemu Daniel....?
Satu pelajaran penting dari pertemuan itu adalah musisi2 Maluku punya kompetensi besar menciptakan lagu. Tetapi menciptakan lagu yang punya "roh" perlu suatu kombinasi kecerdasan intelektual dan kultural... bukan sekadar lagu2 onosel...hehehe
ReplyDelete"Sejarah orang-orang Maluku di Belanda adalah sejarah yang pedih. Sejarah kebohongan. Katong seng boleh lupa akang!" demikian katanya, juga kata banyak orang Maluku generasi tua di Belanda.
ReplyDeletecuplikan yg menyentuh, thanks for sharing.
http://lagupedia.blogspot.com/2010/07/daniel-sahuleka.html