Kabaressi is a Maluku local word means "dynamic". This word symbolizes the dynamic life of human being in which he/she encounters world and others. Kabaressi is a spirit of transformation.
do you know my friends, life has no definition... life as such is so vulnerable... fragile... subtile... and do you realize my friends that most of our life we only look at it on narrow side as we choose to do it...
but really I tell you my dear friends... there are many dimensions of life that we cannot grasp it around our hands... when we able to discern it clearly, we know that life is more than eating, drinking, clothing, relaxing, reading, or even praying...
life is struggling to stand between breathing and hope to still breathing to achieve a piece of destiny...
what is life to be, my friends? what is life to be?
this is my sadness, my cry, my deep regret... while too many believers of any religions speak up about God's justice and love... but, can you feel it my dear friends? it does not change anything... or probably make it worst... what is life to be, my friends?
Hari ini perasaan terusik ketika mendengar bahwa terjadi ketegangan di Masohi. Tidak jelas apa yang menjadi pemicunya. Semua masih simpang siur. Ada isu salah satu rumah ibadah sudah terbakar, tetapi itu pun tidak bisa dipercaya. Boleh percaya, percaya sebagai isu yang belum terpercaya. Apakah ini pertanda dibukanya lagi kitab "kerusuhan Maluku" entah jilid yang keberapa? Semoga saja tidak. Tetapi kondisi ini tetap memprihatinkan dan mesti terus dipantau agar tidak makin keruh karena didomplengi kepentingan pihak-pihak yang ingin mengeruk keuntungan dalam instabilitas sosial.
Apapun yang menjadi pemicunya, peristiwa Masohi di akhir tahun 2008 menjadi suatu pertanda bahwa kita kembali hendak diseret ke dalam kancah konflik dengan pola berulang seperti sebelumnya - kendati dengan target dan kepentingan yang berbeda. Lagi-lagi suatu pola berulang yang seharusnya kita sudah kenyang belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Namun, saya sendiri harus mengakui bahwa lalu lintas informasi mengenai peristiwa ini masih sangat sumir karena komunikasi yang tidak lancar dengan teman-teman yang sedang memantau situasi di lapangan.
Hal yang mengkhawatirkan ialah pola "19 Januari 1999" nampaknya kembali. Jika pada 19 Januari 1999 momentum konflik dipicu pada saat hari raya Lebaran, maka kali sepertinya mendekat pada momentum perayaan Natal. Kegelisahan yang masih menggayut: kenapa setelah pengalaman berdarah-darah selama kurang-lebih 4 tahun, kita masih mau diprovokasi dengan pola yang sama? Saya kok jadi tidak percaya bahwa konflik ini dikehendaki oleh rakyat - yang tentunya sudah babak-belur menjadi korban dalam konflik sebelumnya. Jadi, kalau bukan karena kehendak rakyat, tentu pertanyaan akan mengarah kepada "pihak lain" yang bukan rakyat, tetapi memakai rakyat sebagai bemper untuk saling dibenturkan demi kepentingan politik mereka. Siapakah itu? Saya rasa kita sudah maklum, karena konflik Maluku sebelumnya yang berlarut-larut dengan gamblang telah memperlihatkan dengan jelas siapa-siapa yang bermain api dengan menciptakan konflik sosial di Maluku.
Kondisi ini memang memprihatinkan tetapi juga seharusnya menyentak kita bahwa jika memang "rakyat" Maluku masih bisa dibenturkan satu sama lain, itu berarti proses rekonsiliasi dan pemulihan sosial masih berjalan pincang. Atau, proses itu sendiri masih belum matang dan karena itu masih terbuka peluang untuk dimentahkan agar kembali ke titik nol. Tidak dapat dimungkiri bahwa proses pilkada (gubernur dan/atau bupati) di Maluku dan beberapa kabupaten masih menjadi titik picu yang rentan dan berpotensi meledak dalam benturan kepentingan yang melibatkan berbagai kubu pendukung para kandidat.
Di sinilah letak soalnya, yaitu bahwa proses pemulihan konflik sosial di Maluku nampaknya masih sangat kuat bertumpu pada kekuatan negara. Partisipasi rakyat memang sedang dan masih berlangsung tetapi belum mencapai titik pematangan. Perjanjian Malino II, menurut saya, bisa dibaca sebagai sebentuk solusi hegemonik di mana negara masih memegang peran dominan sebagai "pemaksa". Rakyat yang sudah mencapai titik jenuh pada saat itu menerimanya - untuk sementara - sebagai jeda dari keletihan diterpa berbagai hujan isu dan teror yang tak kunjung teratasi oleh kekuatan militer (dengan jumlah yang fantastis). Untuk selanjutnya, pemulihan sosial masih sangat kental diiringi oleh pendekatan "pembangunan" yang ternyata masih mengabaikan derita rakyat. Indikator "perbaikan ekonomi" di Maluku secara sektoral memang memperlihatkan perkembangan signifikan, apalagi dengan masuknya sejumlah investor asing untuk menanamkan modalnya di Maluku. Namun, yang masih menjadi pertanyaan: apakah rakyat masih diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan? Rakyat mana? Nah, di sinilah muncul soal berikutnya. "Rakyat" kemudian secara langsung diasosiasikan dengan Anggota DPRD yang - katanya - adalah representasi rakyat. Padahal kita sama-sama tahu bahwa anggota DPRD bukanlah bagian dari rakyat yang kelaparan, karena mereka ternyata banyak yang "kekenyangan" karena mendapatkan banyak jatah dari proyek pembangunan pascakonflik.
Mana buktinya? Kita bisa berdebat panjang soal itu. Namun bukti paling nyata adalah euforia munculnya banyak calon legislatif (caleg) ternyata tidak berbanding lurus dengan proses pematangan berpolitik pada aras lokal di Maluku. Politik benar-benar hanya menjadi suatu ajang pertarungan kekuasaan yang vulgar - bahkan sampai melibatkan lembaga-lembaga keagamaan seperti gereja. Di sinilah proses pendewasaan berpolitik tidak terjadi karena kita tidak belajar bagaimana memberdayakan lembaga-lembaga keagamaan - yang rentan didomplengi kekuatan dan kepentingan politik - agar tetap mampu menjadi mediator sosio-kultural dalam proses pemulihan masyarakat Maluku pascakonflik yang sebenarnya belum sepenuhnya bisa dilepaskan begitu saja. Faktor lain yang tak dapat diabaikan adalah apakah ada pihak-pihak yang diuntungkan secara ekonomi dengan benturan dua kelompok masyarakat di Letwaru? Tentu saja di sini dibutuhkan pencermatan lebih lanjut seberapa strategis wilayah ini untuk digarap sebagai salah satu sumur eksplorasi kekuatan-kekuatan kapitalis.
Terlepas dari seluruh asumsi hipotetik di atas, tetap saja menyeruak tanya "Apakah kita akan belajar lagi dari titik nol dengan kasus Masohi kali ini?" Ataukah kita sudah bersiaga untuk tidak lagi terperangkap dalam khaos yang sia-sia ini? Atau terus-menerus menjadi "keledai" yang mengulangi ketololan dengan terperosok pada lubang yang sama sekali lagi, lagi, dan lagi... Entahlah. Tetapi sebagai anak Maluku tetap membara kerinduan untuk membangun peradaban damai di Maluku di atas landasan kesadaran multikultural... Saya percaya bahwa negara memiliki kekuatan untuk melakukan "kekerasan" formal (dengan instrumen tentara dan polisi) dalam mengatasi konflik sosial yang terjadi. Tetapi saya jauh lebih percaya bahwa rakyat sebenarnya memiliki dimensi-dimensi hikmat lokal yang jauh lebih kuat dan efektif untuk menciptakan pranata kebudayaannya sendiri berdasarkan prinsip-prinsip komunalitas tradisional yang telah teruji cukup lama. Jadi perdamaian bukanlah kata asing dalam diskursus kebudayaan lokal. Soalnya sekarang: "perdamaian" ini ditentukan oleh siapa? Negara atau rakyat? Ini bukan soal mana yang lebih dulu antara telur dan ayam, melainkan soal siapa yang dapat "telur" dan siapa yang dapat "ayam". Dengan perkataan lain, ini soal subjek yang memegang kendali atas "telur" dan "ayam" itu. Siapakah gerangan?
Pada awal abad ke-17, suatu gelombang reformasi religius mengubah cara merayakan Natal di Eropa. Ketika Oliver Cromwell dan gerakan Puritannya mengambil alih Inggris pada 1645, mereka bersumpah akan membersihkan kemerosotan dan, sebagai salah satu upaya mereka, menghapus Natal. Atas tuntutan rakyat, Raja Charles II kembali bertahta dan dengannya Natal kembali menjadi hari raya rakyat.
Kaum peziarah, kelompok separatis Inggris yang datang ke Amerika pada 1620, bahkan lebih ortodoks dalam kepercayaan Puritan mereka ketimbang kelompok Cromwell. Akibatnya, Natal tidak menjadi salah satu hari raya pada masa awal Amerika. Sejak 1659 sampai 1681, perayaan Natal sebenarnya masih terlarang di Boston. Sebaliknya, di pemukiman Jamestown, Kapten John Smith melaporkan bahwa Natal dirayakan oleh semua orang dan berlangsung tanpa insiden apapun.
Setelah Revolusi Amerika, adat-istiadat Inggris mulai diminati, termasuk Natal. Kenyataannya, Kongres menerimanya pada 25 Desember 1789: inilah Natal pertama yang diakui konstitusi Amerika. Natal tidak dinyatakan sebagai hari raya federal sejak 26 Juni 1870.
Tidak sampai abad ke-19 bangsa Amerika telah menerima Natal. Rakyat Amerika menciptakan ulang Natal, dan mengubahnya dari hari raya yang semarak menjadi hari keluarga yang damai dan dihiasi nostalgia. Namun apa yang kira-kira membuat rakyat Amerika era 1800-an tertarik menjadikannya hari raya utama?
Awal abad ke-19 merupakan suatu periode konflik dan ketegangan kelas sosial. Sepanjang waktu itu, tingkat pengangguran dan perkelahian antargeng meningkat karena benturan antarkelompok sosial yang sering terjadi pada hari Natal. Tahun 1828, dewan kota New York membentuk kesatuan polisi pertama untuk menanggapi kerusuhan Natal. Ini mendorong anggota-anggota tertentu dari kelas atas untuk mulai mengubah cara merayakan Natal di Amerika.
Tahun 1819, penulis buku laris, Washington Irving, menulis The Sketcbook of Geoffrey Crayon, suatu cerita berseri tentang perayaan Natal dalam salah satu dinasti bangsawan Inggris. Sketsa itu menggambarkan si bangsawan mengundang kaum petani datang ke rumahnya pada hari raya tersebut. Berlawanan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Amerika, kedua kelas sosial tersebut berbaur begitu saja. Dalam pandangan Irving, Natal seharusnyalah menjadi hari raya penuh kedamaian dan kehangatan hati, serta merangkul semua kelompok untuk bersama-sama melampaui batas-batas kekayaan dan status sosial. Fiksi Irving ini membangkitkan kembali “kebiasaan klasik”, termasuk penghormatan kepada “para tuan yang terabaikan”. Akan tetapi, buku Irving ini tidak didasarkan pada hari raya apapun yang pernah ia rayakan – faktanya, banyak sejarawan mengatakan bahwa catatan Irving itu sebenarnya “telah menciptakan” suatu tradisi dengan melekatkannya pada suatu kebiasaan yang telah ada.
Masih di sekitar masa itu, penulis Inggris Charles Dickens menulis suatu cerita klasik, A Christmas Carol. Pesan cerita itu adalah pentingnya karitas dan kehendak baik kepada semua orang. Pesan ini sungguh menyentak Amerika Serikat dan Inggris, serta memperlihatkan anggota masyarakat Victorian yang diuntungkan dengan perayaan Natal.
Keluarga itu juga menjadi kurang disiplin dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan emosional dari anak-anak selama awal era 1800-an. Selama masa Natal, setiap keluarga dipenuhi oleh berlimpah perhatian dan kado kepada anak-anak tanpa bermaksud memanjakan mereka.
Ketika rakyat Amerika mulai menerima Natal sebagai hari raya keluarga yang sempurna, kebiasaan-kebiasaan lama mulai dihapus. Orang melihat kepada gereja-gereja Katolik dan Episkopal saat ini untuk melihat bagaimana hari itu seharusnya dirayakan. Dalam masa 100 tahun kemudian, orang Amerika mulai membangun tradisi Natalnya sendiri dengan memasukkan berbagai kebiasaan lain, termasuk menghias pohon, mengirim kartu Natal, dan member kado Natal.
Meskipun kebanyakan keluarga dengan cepat terhisab ke dalam ide bahwa mereka sedang merayakan Natal yang telah berlangsung selama berabad-abad, orang Amerika sungguh-sungguh telah menciptakan kembali hari raya itu untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan kultural dari suatu bangsa yang sedang tumbuh.
Dalam tulisan sebelumnya, "Opa Sinterklas: dari mana datangnya?", saya mencoba berbagi tentang bagaimana si opa itu lahir dan menjadi ikon dari suatu peristiwa atau perayaan Natal di seluruh dunia. Dalam tulisan berikut ini saya ingin membagi sedikit informasi mengenai Natal: Bagaimana proses sejarah dan kultural yang menyertainya hingga diakui menjadi suatu perayaan keagamaan dalam kekristenan. Informasi ini sengaja saya penggal menjadi beberapa tulisan. Klimaksnya nanti - semoga - dengan seluruh informasi historis tersebut kita dapat melihat suatu mosaik kebudayaan yang menjejali perayaan Natal itu sendiri, yang akan kita refleksikan ke dalam pemahaman kultural kita sendiri...
Pada mulanya...
Pertengahan musim dingin sudah lama menjadi suatu masa perayaan di seluruh dunia. Selama berabad-abad sebelum kelahiran Yesus, bangsa-bangsa Eropa telah merayakan terang dan kelahiran pada hari-hari tergelap dalam musim dingin. Banyak orang bergembira selama mengalami titik balik matahari pada musim dingin, ketika mereka beranjak meninggalkan masa-masa terburuk musim dingin dan menanti datangnya hari-hari bersiram cahaya matahari.
Di Skandinavia, kaum Norse merayakan Natal sejak 21 Desember, tepat pada titik balik matahari, sampai Januari. Percaya akan kembalinya matahari, para ayah dan anak-anak laki-laki akan membawa pulang kayu gelondongan yang besar untuk dijadikan kayu bakar. Orang akan berpesta sampai kayu itu terbakar habis, yang membutuhkan setidaknya 12 hari. Kaum Norse percaya bahwa setiap percikan api melambangkan babi atau anak lembu yang akan lahir selama setahun mendatang.
Masa akhir Desember adalah waktu yang tepat untuk melakukan perayaan di sebagian besar wilayah Eropa. Pada saat itu, banyak ternak yang disembelih untuk dimakan dagingnya selama musim dingin. Bagi banyak orang, inilah waktunya dalam setahun ketika mereka dapat mempunyai persediaan daging segar. Selain itu, banyak anggur dan bir yang dibuat selama setahun yang mengalami proses fermentasi dan siap diminum.
Di Jerman, orang menghormati dewa Oden selama liburan pertengahan musim dingin. Orang-orang Jerman takut terhadap dewa Oden, yang mereka percayai terbang di angkasa dan melihat hidup setiap orang, lantas memutuskan siapa yang akan diberkati atau dihukum. Karena Oden menjelajahi angkasa, banyak orang memilih untuk tinggal dalam rumah.
Di Roma, di mana musim dingin tidak separah yang dialami oleh mereka yang tinggal di utara jauh, Saturnalia – liburan untuk menghormati Saturnus, dewa kesuburan – dirayakan. Dimulai pada awal minggu hingga terjadinya titik balik matahari dan berlanjut hingga bulan purnama, Saturnalia adalah saat bersenang-senang, dengan makanan dan minuman yang berlimpah. Masa itu seluruh tatanan sosial masyarakat Roma jungkir-balik. Selama sebulan, para budak menjadi tuan. Para petani memerintah kota. Bisnis dan sekolah ditutup sehingga semua orang dapat bergabung dalam pesta-pora itu.
Sepanjang waktu titik balik matahari musim dingin, rakyat Roma mengadakan Juvenalia, suatu pesta untuk menghormati anak-anak Roma. Selain itu, anggota-anggota kelas atas sering merayakan ulang tahun Mithra, dewa matahari yang tak terkalahkan, pada 25 Desember. Mereka percaya bahwa Mithra, salah seorang anak dewa, lahir di atas batu karang. Bagi sebagian orang Roma, ulang tahun Mithra adalah hari yang kudus pada tahun itu.
Pada masa-masa awal kekristenan, Paskah adalah hari libur utama; kelahiran Yesus tidak pernah dirayakan. Pada abad ke-4, gereja secara resmi memutuskan untuk merayakan kelahiran Yesus sebagai salah satu hari raya. Sayangnya, Alkitab tidak menyebutkan tanggal kelahiran Yesus (suatu fakta yang kemudian oleh kaum Puritan dijadikan alasan untuk menolak perayaan itu). Meskipun beberapa fakta membuktikan bahwa kelahiran Yesus terjadi pada musim semi (mengapa para gembala menjaga ternak di pertengahan musim dingin?), Paus Julius I memilih 25 Desember. Lazim dipercaya bahwa gereja memilih tanggal ini dalam rangka mengadopsi dan memasukkan tradisi-tradisi pagan perayaan Saturnalia. Pertama, Pesta Kelahiran, suatu kebiasaan yang menyebar hingga ke Mesir selama tahun 432 dan ke Inggris pada akhir abad ke-6. Pada akhir abad ke-8, perayaan Natal telah menyebar hingga ke Skandinavia. Saat ini, di gereja-gereja ortodoks Yunani dan Rusia, Natal dirayakan 13 hari setelah tanggal 25 Desember, yang juga mengacu pada Epifani atau Hari Tiga Raja. Inilah hari yang dipercaya bahwa tiga orang bijak akhirnya mendapati Yesus di palungan.
Dengan sekaligus menerima Natal sebagai perayaan titik-balik matahari pada musim dingin, para pemimpin gereja mengembangkan pemahaman yang makin populer dianut, tetapi juga menentukan bagaimana cara merayakannya. Selama Abad Pertengahan, kekristenan sebagian besar telah menggantikan agama pagan. Pada hari Natal, orang-orang Kristen pergi ke gereja, kemudian merayakannya dengan minum-minum. Setiap tahun, seorang pengemis atau pelajar akan dimahkotai sebagai “tuan yang terabaikan” dan setiap orang memainkan perannya masing-masing. Orang miskin akan pergi ke rumah-rumah orang kaya lalu meminta makanan dan minuman yang paling enak. Jika pemilik rumah tidak bisa memenuhi permintaan mereka, para tamu itu akan menggertak mereka dengan kasar. Natal menjadi saat di mana kaum kelas atas membayar utang mereka baik yang nyata maupun imajinatif kepada masyarakat dengan menghibur warga kota yang kurang beruntung.
Kemarin jalan-jalan ke toko buku. Wah, suasana toko sudah gemerlap dengan ornamen-ornamen Natal. Di dekat meja kasir terpajang beberapa boneka Santa Claus. Lucu. Tetapi saya lebih tertarik melihat beberapa compact disc lagu Natal. Yah, lagunya sih yang itu-itu juga, hanya versinya saja yang berbeda - ada yang instrumentalia dan funky jazz. Kepincut dengan balada Natal Daniel Sahuleka dan juga film animasi Christmas Carol. Akhirnya beli... hehehe gak tahan lahyaw!
Tapi boneka Santa Claus di dekat meja kasir itu terus mengganggu pikiranku. Kenapa si opa ini selalu muncul setiap bulan Desember? Suatu pertanyaan yang aneh karena baru sekarang terasa mengusik meski sejak kecil sudah sering didongengin sama opa-oma. Waktu masih studi di Belanda, memang sempat juga merasakan perayaan hari Saint Nicholas ini. Tapi gak sampe penasaran. Sekarang baru rada gelisah: Gimana kalau anakku, yang lahir dan tumbuh dalam belantara website ini, tiba-tiba menanyakan kenapa si opa janggut putih jaket merah ini selalu muncul menjelang Natal. Karena itu di bawah ini aku mau sedikit berbagi tentang sekelumit sejarah Santa Claus atau Sinterklas. Mudah-mudahan bermanfaat dan tidak ikut-ikut terkibuli oleh sesuatu yang tak jelas, tapi dengan berapi-api terus ber-hohohohoho... Ini baru bagian pertama. Aku harap dapat menyelesaikan tulisan berikut mengenai perlukah si opa ini mejeng di Indonesia dan kenapa perlu atau harus ia berada di sini.
Legenda si Opa
Sosok Santa Claus versi Amerika mendapatkan inspirasi dan namanya dari legenda Sinter Klaas, yang dibawa serta oleh para imigran Belanda di New York pada abad ke-17. Pada awal 1773 nama itu muncul dalam media Amerika sebagai “St. A Claus”, yang dipopulerkan oleh penulis Washington Irving, yang memberikan informasi rinci pertama kepada rakyat Amerika tentang versi Belanda dari Saint Nicholas.
Dalam karyanya, History of New York, yang diterbitkan pada 1809 dengan nama samara Diedrich Knickerbocker, Irving menggambarkan kedatangan santo itu di atas kuda hitam (tanpa ditemani oleh Pit Hitam) pada setiap perayaan Hari Saint Nicholas. Santa Nick Belanda-Amerika ini mendapatkan bentuk Amerikanya sepenuhnya pada 1823 dalam puisi “A Visit From Saint Nicholas” yang lebih dikenal sebagai “The Night Before Christmas” karya penulis Clement Clarke Moore. Moore memasukkan beberapa rincian seperti nama-nama rusa; bunyi tawa, kedipan mata, dan anggukan kepala; cara Saint Nicholas, yang digambarkan sebagai bertubuh pendek, menaiki cerobong asap. (Ungkapan Moore tentang “menaruh jari di pinggir hidung” diambil dari gambaran Irving tahun 1809).
Citra Amerika dari Santa Claus dielaborasi lebih lanjut oleh ilustrator Thomas Nast, yang menggambarkan tubuh bulat-gemuk Santa dalam berita Natal Majalah Harper dari 1860-an sampai 1880-an. Nast menambahkan beberapa rincian seperti bengkel Santa di Kutub Utara dan Santa dan daftar nama anak-anak yang baik dan nakal di seluruh dunia. Versi ukuran tubuh normal Santa Claus, ketimbang gambaran bertubuh pendek dalam puisi Moore, muncul dalam gambaran dari serangkaian ilustrasi iklan Coca-Cola yang diperkenalkan pada 1931. Dalam berbagai versi modern legenda Santa Claus, hanya para kurcacilah yang membantu pekerjaannya di bengkel mainan anak-anak. Rudolf, rusa ke-9, dengan hidung merah menyala, diciptakan pada 1939 oleh seorang penulis iklan untuk perusahaan Montgomery Ward.Untuk mencari akar sejarah Santa Claus, kita harus menelusuri lebih dalam masa lalu.
Kita menemukan bahwa Santa Claus seperti yang kita kenal merupakan suatu kombinasi berbagai legenda dan tokoh-tokoh mitis yang berbeda-beda.Cukup lama dikenal dalam tradisi Kristen, Santa Claus adalah Uskup Nicholas dari Smirna (Izmir), yang kini dikenal sebagai Turki. Nicholas hidup pada abad ke-4 sM. Ia adalah orang kaya-raya, murah hati, dan menyayangi anak-anak. Ia sering menghibur anak-anak miskin dengan melemparkan kado-kado melalui jendela rumah mereka.
Menjadi Tradisi dalam Gereja
Gereja Ortodoks kemudian menaikkan St. Nicholas, pembawa keajaiban, pada posisi yang lebih terhormat. Gereja tertua di Rusia, misalnya, dibangun sebagai penghormatan kepadanya. Berdasarkan sejarahnya, Gereja Katolik Roma menghormati Nicholas sebagai orang suci yang menolong anak-anak dan kaum miskin. St. Nicholas menjadi patron santo bagi anak-anak dan pelaut. Namanya diperingati setiap 6 Desember.
Di wilayah-wilayah Protestan di Jerman tengah dan utara, St. Nicholas kemudian dikenal sebagai der Weinachtsmann. Di Inggris ia disebut Father Christmas (Bapa Natal). St. Nicholas mendapat bentuknya tersendiri di Amerika Serikat melalui para imigran Belanda, dan mulai dikenal sebagai Santa Claus. Dalam berbagai puisi dan ilustrasi di Amerika Utara, Santa Claus, dengan jenggot putih, jaket merah dan topi pompom, akan bepergian sepanjang malam sebelum Natal dengan kereta salju yang ditarik oleh 8 rusa jantan, dan masuk melalui cerobong asap rumah-rumah untuk menaruh kado-kado Natal dalam kaos kaki anak-anak yang sudah disiapkan dekat perapian.
Anak-anak biasanya ingin tahu dari mana datangnya Santa Claus. Di mana ia tinggal kalau tidak sedang membagi kado? Pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan legenda bahwa Santa Claus tinggal di Kutub Utara. Di situ pula tempat bengkel kado Natalnya. Tahun 1925, karena tidak ada rusa jantan yang bisa hidup di Kutub Utara, beberapa surat kabar menyebutkan bahwa Santa Claus sebenarnya hidup di dataran Finlandia. “Paman Markus”, Markus Rautio, yang membandingkan cerita rakyat dalam sesi “Children’s hour” di radio Finlandia, mengungkapkan rahasia besar itu untuk pertama kalinya pada 1927: Santa Claus hidup di dataran Korvantunturi – “Ear Fell”.
Dataran rendah itu, yang terletak di perbatasan timur Finlandia, mirip telinga kelinci – yang sebenarnya adalah telinga Santa Claus, yang dengannya ia mendengarkan apakah anak-anak di seluruh dunia sudah menjadi anak-anak yang baik. Santa dibantu oleh sekelompok kurcaci yang sibuk. Kisah kurcaci-kurcaci ini berakar dalam legenda Skandinavia. Selama berabad-abad, berbagai tradisi yang berbeda-beda dari belahan utara telah bercampur menjadi satu dan menciptakan Santa Claus di seluruh dunia – seorang opa berjenggot putih berjaket merah yang abadi, yang membagi-bagikan kado pada hari Natal dan selalu kembali ke Korvantunturi di dataran Finlandia.
Sejak era 1950-an, Santa melakukan perjalanan ke Napapiiri, dekat Rovaniemi, bukan pada saat Natal, untuk bertemu dengan anak-anak dan orang-orang berjiwa muda. Sejak 1985 kunjungannya ke Napapiiri telah menjadi aktivitas rutin. Di sana pula ia mendirikan kantor Santa Claus. Ia berada di sana setiap hari sepanjang tahun untuk mendengar apa yang diinginkan oleh anak-anak sebagai kado Natal dan bercakap-cakap dengan anak-anak dari seluruh dunia. Desa Santa Claus adalah juga tempat berdirinya kantor utama Santa Claus, yang menerima surat dari anak-anak di seluruh penjuru dunia.
Rome took all the vanity out of me; for after seeing the wonders there, I felt too insignificant to live, and gave up all my foolish hopes in despair.
Louisa May Alcott (1832-1888)
Steve Gaspersz, orang Naku (Pulau Ambon) yang lahir di Surabaya, bertumbuh di Malang. Mengenali dirinya sebagai manusia di persimpangan multi-identitas yang terus didesak nurani menjelajah ruang-ruang makna. Entah sampai kapan.