Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, December 9, 2008

Meneropong Sejarah Natal (Bagian II)

Pada awal abad ke-17, suatu gelombang reformasi religius mengubah cara merayakan Natal di Eropa. Ketika Oliver Cromwell dan gerakan Puritannya mengambil alih Inggris pada 1645, mereka bersumpah akan membersihkan kemerosotan dan, sebagai salah satu upaya mereka, menghapus Natal. Atas tuntutan rakyat, Raja Charles II kembali bertahta dan dengannya Natal kembali menjadi hari raya rakyat.

Kaum peziarah, kelompok separatis Inggris yang datang ke Amerika pada 1620, bahkan lebih ortodoks dalam kepercayaan Puritan mereka ketimbang kelompok Cromwell. Akibatnya, Natal tidak menjadi salah satu hari raya pada masa awal Amerika. Sejak 1659 sampai 1681, perayaan Natal sebenarnya masih terlarang di Boston. Sebaliknya, di pemukiman Jamestown, Kapten John Smith melaporkan bahwa Natal dirayakan oleh semua orang dan berlangsung tanpa insiden apapun.

Setelah Revolusi Amerika, adat-istiadat Inggris mulai diminati, termasuk Natal. Kenyataannya, Kongres menerimanya pada 25 Desember 1789: inilah Natal pertama yang diakui konstitusi Amerika. Natal tidak dinyatakan sebagai hari raya federal sejak 26 Juni 1870.

Tidak sampai abad ke-19 bangsa Amerika telah menerima Natal. Rakyat Amerika menciptakan ulang Natal, dan mengubahnya dari hari raya yang semarak menjadi hari keluarga yang damai dan dihiasi nostalgia. Namun apa yang kira-kira membuat rakyat Amerika era 1800-an tertarik menjadikannya hari raya utama?

Awal abad ke-19 merupakan suatu periode konflik dan ketegangan kelas sosial. Sepanjang waktu itu, tingkat pengangguran dan perkelahian antargeng meningkat karena benturan antarkelompok sosial yang sering terjadi pada hari Natal. Tahun 1828, dewan kota New York membentuk kesatuan polisi pertama untuk menanggapi kerusuhan Natal. Ini mendorong anggota-anggota tertentu dari kelas atas untuk mulai mengubah cara merayakan Natal di Amerika.

Tahun 1819, penulis buku laris, Washington Irving, menulis The Sketcbook of Geoffrey Crayon, suatu cerita berseri tentang perayaan Natal dalam salah satu dinasti bangsawan Inggris. Sketsa itu menggambarkan si bangsawan mengundang kaum petani datang ke rumahnya pada hari raya tersebut. Berlawanan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Amerika, kedua kelas sosial tersebut berbaur begitu saja. Dalam pandangan Irving, Natal seharusnyalah menjadi hari raya penuh kedamaian dan kehangatan hati, serta merangkul semua kelompok untuk bersama-sama melampaui batas-batas kekayaan dan status sosial. Fiksi Irving ini membangkitkan kembali “kebiasaan klasik”, termasuk penghormatan kepada “para tuan yang terabaikan”. Akan tetapi, buku Irving ini tidak didasarkan pada hari raya apapun yang pernah ia rayakan – faktanya, banyak sejarawan mengatakan bahwa catatan Irving itu sebenarnya “telah menciptakan” suatu tradisi dengan melekatkannya pada suatu kebiasaan yang telah ada.

Masih di sekitar masa itu, penulis Inggris Charles Dickens menulis suatu cerita klasik, A Christmas Carol. Pesan cerita itu adalah pentingnya karitas dan kehendak baik kepada semua orang. Pesan ini sungguh menyentak Amerika Serikat dan Inggris, serta memperlihatkan anggota masyarakat Victorian yang diuntungkan dengan perayaan Natal.

Keluarga itu juga menjadi kurang disiplin dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan emosional dari anak-anak selama awal era 1800-an. Selama masa Natal, setiap keluarga dipenuhi oleh berlimpah perhatian dan kado kepada anak-anak tanpa bermaksud memanjakan mereka.

Ketika rakyat Amerika mulai menerima Natal sebagai hari raya keluarga yang sempurna, kebiasaan-kebiasaan lama mulai dihapus. Orang melihat kepada gereja-gereja Katolik dan Episkopal saat ini untuk melihat bagaimana hari itu seharusnya dirayakan. Dalam masa 100 tahun kemudian, orang Amerika mulai membangun tradisi Natalnya sendiri dengan memasukkan berbagai kebiasaan lain, termasuk menghias pohon, mengirim kartu Natal, dan member kado Natal.

Meskipun kebanyakan keluarga dengan cepat terhisab ke dalam ide bahwa mereka sedang merayakan Natal yang telah berlangsung selama berabad-abad, orang Amerika sungguh-sungguh telah menciptakan kembali hari raya itu untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan kultural dari suatu bangsa yang sedang tumbuh.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces