Hari ini perasaan terusik ketika mendengar bahwa terjadi ketegangan di Masohi. Tidak jelas apa yang menjadi pemicunya. Semua masih simpang siur. Ada isu salah satu rumah ibadah sudah terbakar, tetapi itu pun tidak bisa dipercaya. Boleh percaya, percaya sebagai isu yang belum terpercaya. Apakah ini pertanda dibukanya lagi kitab "kerusuhan Maluku" entah jilid yang keberapa? Semoga saja tidak. Tetapi kondisi ini tetap memprihatinkan dan mesti terus dipantau agar tidak makin keruh karena didomplengi kepentingan pihak-pihak yang ingin mengeruk keuntungan dalam instabilitas sosial.
Apapun yang menjadi pemicunya, peristiwa Masohi di akhir tahun 2008 menjadi suatu pertanda bahwa kita kembali hendak diseret ke dalam kancah konflik dengan pola berulang seperti sebelumnya - kendati dengan target dan kepentingan yang berbeda. Lagi-lagi suatu pola berulang yang seharusnya kita sudah kenyang belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Namun, saya sendiri harus mengakui bahwa lalu lintas informasi mengenai peristiwa ini masih sangat sumir karena komunikasi yang tidak lancar dengan teman-teman yang sedang memantau situasi di lapangan.
Hal yang mengkhawatirkan ialah pola "19 Januari 1999" nampaknya kembali. Jika pada 19 Januari 1999 momentum konflik dipicu pada saat hari raya Lebaran, maka kali sepertinya mendekat pada momentum perayaan Natal. Kegelisahan yang masih menggayut: kenapa setelah pengalaman berdarah-darah selama kurang-lebih 4 tahun, kita masih mau diprovokasi dengan pola yang sama? Saya kok jadi tidak percaya bahwa konflik ini dikehendaki oleh rakyat - yang tentunya sudah babak-belur menjadi korban dalam konflik sebelumnya. Jadi, kalau bukan karena kehendak rakyat, tentu pertanyaan akan mengarah kepada "pihak lain" yang bukan rakyat, tetapi memakai rakyat sebagai bemper untuk saling dibenturkan demi kepentingan politik mereka. Siapakah itu? Saya rasa kita sudah maklum, karena konflik Maluku sebelumnya yang berlarut-larut dengan gamblang telah memperlihatkan dengan jelas siapa-siapa yang bermain api dengan menciptakan konflik sosial di Maluku.
Kondisi ini memang memprihatinkan tetapi juga seharusnya menyentak kita bahwa jika memang "rakyat" Maluku masih bisa dibenturkan satu sama lain, itu berarti proses rekonsiliasi dan pemulihan sosial masih berjalan pincang. Atau, proses itu sendiri masih belum matang dan karena itu masih terbuka peluang untuk dimentahkan agar kembali ke titik nol. Tidak dapat dimungkiri bahwa proses pilkada (gubernur dan/atau bupati) di Maluku dan beberapa kabupaten masih menjadi titik picu yang rentan dan berpotensi meledak dalam benturan kepentingan yang melibatkan berbagai kubu pendukung para kandidat.
Di sinilah letak soalnya, yaitu bahwa proses pemulihan konflik sosial di Maluku nampaknya masih sangat kuat bertumpu pada kekuatan negara. Partisipasi rakyat memang sedang dan masih berlangsung tetapi belum mencapai titik pematangan. Perjanjian Malino II, menurut saya, bisa dibaca sebagai sebentuk solusi hegemonik di mana negara masih memegang peran dominan sebagai "pemaksa". Rakyat yang sudah mencapai titik jenuh pada saat itu menerimanya - untuk sementara - sebagai jeda dari keletihan diterpa berbagai hujan isu dan teror yang tak kunjung teratasi oleh kekuatan militer (dengan jumlah yang fantastis). Untuk selanjutnya, pemulihan sosial masih sangat kental diiringi oleh pendekatan "pembangunan" yang ternyata masih mengabaikan derita rakyat. Indikator "perbaikan ekonomi" di Maluku secara sektoral memang memperlihatkan perkembangan signifikan, apalagi dengan masuknya sejumlah investor asing untuk menanamkan modalnya di Maluku. Namun, yang masih menjadi pertanyaan: apakah rakyat masih diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan? Rakyat mana? Nah, di sinilah muncul soal berikutnya. "Rakyat" kemudian secara langsung diasosiasikan dengan Anggota DPRD yang - katanya - adalah representasi rakyat. Padahal kita sama-sama tahu bahwa anggota DPRD bukanlah bagian dari rakyat yang kelaparan, karena mereka ternyata banyak yang "kekenyangan" karena mendapatkan banyak jatah dari proyek pembangunan pascakonflik.
Mana buktinya? Kita bisa berdebat panjang soal itu. Namun bukti paling nyata adalah euforia munculnya banyak calon legislatif (caleg) ternyata tidak berbanding lurus dengan proses pematangan berpolitik pada aras lokal di Maluku. Politik benar-benar hanya menjadi suatu ajang pertarungan kekuasaan yang vulgar - bahkan sampai melibatkan lembaga-lembaga keagamaan seperti gereja. Di sinilah proses pendewasaan berpolitik tidak terjadi karena kita tidak belajar bagaimana memberdayakan lembaga-lembaga keagamaan - yang rentan didomplengi kekuatan dan kepentingan politik - agar tetap mampu menjadi mediator sosio-kultural dalam proses pemulihan masyarakat Maluku pascakonflik yang sebenarnya belum sepenuhnya bisa dilepaskan begitu saja. Faktor lain yang tak dapat diabaikan adalah apakah ada pihak-pihak yang diuntungkan secara ekonomi dengan benturan dua kelompok masyarakat di Letwaru? Tentu saja di sini dibutuhkan pencermatan lebih lanjut seberapa strategis wilayah ini untuk digarap sebagai salah satu sumur eksplorasi kekuatan-kekuatan kapitalis.
Terlepas dari seluruh asumsi hipotetik di atas, tetap saja menyeruak tanya "Apakah kita akan belajar lagi dari titik nol dengan kasus Masohi kali ini?" Ataukah kita sudah bersiaga untuk tidak lagi terperangkap dalam khaos yang sia-sia ini? Atau terus-menerus menjadi "keledai" yang mengulangi ketololan dengan terperosok pada lubang yang sama sekali lagi, lagi, dan lagi... Entahlah. Tetapi sebagai anak Maluku tetap membara kerinduan untuk membangun peradaban damai di Maluku di atas landasan kesadaran multikultural... Saya percaya bahwa negara memiliki kekuatan untuk melakukan "kekerasan" formal (dengan instrumen tentara dan polisi) dalam mengatasi konflik sosial yang terjadi. Tetapi saya jauh lebih percaya bahwa rakyat sebenarnya memiliki dimensi-dimensi hikmat lokal yang jauh lebih kuat dan efektif untuk menciptakan pranata kebudayaannya sendiri berdasarkan prinsip-prinsip komunalitas tradisional yang telah teruji cukup lama. Jadi perdamaian bukanlah kata asing dalam diskursus kebudayaan lokal. Soalnya sekarang: "perdamaian" ini ditentukan oleh siapa? Negara atau rakyat? Ini bukan soal mana yang lebih dulu antara telur dan ayam, melainkan soal siapa yang dapat "telur" dan siapa yang dapat "ayam". Dengan perkataan lain, ini soal subjek yang memegang kendali atas "telur" dan "ayam" itu. Siapakah gerangan?
Aku menulis maka aku belajar
Tuesday, December 9, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ada dua hal:
ReplyDeletepertama, sebagai orang Maluku kita kehilangan jati diri kita. Agama lebih mendominasi jiwa orang Maluku, dan sangat rentan konflik, dibandingkan dengan nilai-nilai leluhur yang telah tertanam sejak dulu.
kedua, sebagai orang maluku yang berciri kepulauan, kita perlu merekonstruksi pola beragama kita yang harus meninggalkan pola kontinental menuju pola beragama yang berbasis kepulauan.
Mungkin yang ale maksud secara spesifik adalah 2 agama abrahamik (Kristen dan Islam), yang memang punya sejarah konflik multidimensi cukup panjang. Tetapi rasanya tidak tepat menggunakan istilah "mendominasi" karena agama sebagai pewadagan yang rohani (spiritual) merupakan tubuh budaya untuk memanifestasikan apa yang dianggap dan dinilai sebagai transendental. Agama itu sendiri digerakkan oleh nilai-nilai yang fungsional dalam membangun komunitas. Jadi apa yang disebut nilai-nilai leluhur itu pun dalam kategori ideologis sebenarnya mewujudkan suatu konsepsi "agama".
ReplyDeleteFormulasi "nilai-nilai leluhur yang telah tertanam sejak dulu", menurut beta, juga punya daya interpretatif yang longgar. Karena dalam cultural studies, kebudayaan bukanlah matra yang beresensi, melainkan berubah sesuai dengan fungsinya dalam struktur penalaran dan kesadaran sosial. Lantas, karena kompleksitas fungsional tersebut terjalinlah suatu hibriditas - suatu percangkokan kultural agar masyarakat dapat memfungsikan matra-matra berbagai budaya yang diserapnya (tanpa harus membuangnya).
Beta menguraikan cukup panjang dalam beta pung artikel "Islam-Kristen dalam Diskursus Etnisitas: Catatan Kecil dari Maluku" dalam festschrift Dr. A.N. Radjawane. Bisa dicari di Fak. Teologi UKIM Ambon.
Rusuh Masohi menandakan bahwa rasa beragama kita belum sepenuhnya siap menerima pluralitas. Perdamaian belum menjadi dasar yang kukuh bagi tegaknya pilar-pilar kebersamaan. Hal itu lebih disebabkan karena masih ada di antara kita yang merasa terusik inti rasa keagamaannya sementara yang lain masih mau mengusik inti rasa keagamaan orang lain.
ReplyDeleteKondisi seperti itu sangat mudah dipicu dengan kepentingan apa pun. Regenerasi kekerasan akan menampakkan dirinya kembali dengan cara-cara yang massif.
Menurut beta, Etika Publik yang dibahas secara akademik oleh Pak John Ruhulessin mesti dikembalikan kepada ranah publik sebagai pedoman-pedoman aksi bersama.
Masohi = gotong royong = itu juga bentuk semangat yang telah kehilangan maknanya (sepertinya makna adatis tidak lagi mempan dalam pusaran waktu di Maluku, ataukah itu hanya untuk segelintir orang saja?). Tanggung Jawab besar bagi semua orang yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dan harmonis di Maluku.
Menurut beta, kalau dibilang "belum sepenuhnya siap menerima pluralitas" juga tidak pas. Bukankah dari dulu katong pung tete-nene moyang sudah terlibat dalam perdagangan dengan kelompok-kelompok etnis yang berbeda? Beta justru melihatnya sebagai pengondisian kekuatan negara untuk "membuat rakyat sama sekali tidak siap berhadapan dengan pluralitas". Itu kentara dalam seluruh proses homogenisasi mulai dari cara berpakaian hingga cara berpikir. Lalu terbentuklah mindset "yang berbeda itu pasti mengancam" atau "yang lain itu aneh" atau "kalau tidak sepakat berarti kita bermusuhan".
ReplyDeleteEmosi keagamaan yang mudah terusik dengan "yang lain" adalah konsekuensi logis dari proses homogenisasi tersebut, yang beranak-pinak melahirkan idiom-idiom kekerasan yang kasat mata maupun terselubung. Lihat saja misalnya kasus UU Pornografi.
Kalau memang politik homogenisasi itu dapat dikatakan sebagai salah satu akar permasalahan ketika berhadap-hadapan dengan kenyataan keberagaman, dapatkah ditemukan cara lain yang kontra-homogenisasi itu sendiri? Beta pikir, lembaga-lembaga pendidikan masih sangat relevan posisinya. Penguatan kapasitas para pelaku dunia pendidikan tidak seharusnya pada hardskill saja (Penguasaan Materi, Kemampuan Mengajar, dll), tetapi sebaiknya lebih besar pada softskill juga. Salah satu kebutuhan utama di Maluku adalah softskill untuk dapat hidup bersama dalam keberagaman yang pernah terluka sangat parah dan butuh tindakan-tindakan penyembuhan tiap hari. Di situ mungkin kita bisa mensinergikan diri dengan pemerintah yang juga mesti bertanggung jawab terhadap semua ini bukan saja secara fisik, tetapi juga psikis dan spiritual.
ReplyDelete