Monday, November 30, 2009
Bunyi
Terdampar
Monday, October 26, 2009
Catatan Perjalanan: Rumberu
Pada tanggal 10-13 September 2009 saya terlibat bersama tim Lembaga Penelitian UKIM yang dinakhodai oleh Elia Radianto, SE, M.Si, yang juga dosen pada Fakultas Ekonomi UKIM. Kegiatan yang dijalankan oleh LP-UKIM tersebut merupakan salah satu implementasi program pengabdian masyarakat yang disasarkan pada prospek pengelolaan kripik keladi di negeri Rumberu, Kecamatan Kairatu, Seram Bagian Barat. Tim kami terdiri dari gabungan beberapa akademisi dari UKIM dan UNPATTI. Dari UKIM adalah Elia Radianto (kepala lemlit), Hobart Soselissa (Sekretaris), Ongky Samson (anggota, Dinas Perindustrian), Steve Gaspersz (anggota) dan Ona (istri Elia Radianto); sedangkan dari UNPATTI adalah Dr. John Riry dan Sandra Nendissa, keduanya dari fakultas pertanian.
Wednesday, August 12, 2009
Wisata Keesaan Sebagai Media Pekabaran Injil
Pada suatu masa dalam sejarah kekristenan, istilah misi atau Pekabaran Injil mengandung suatu konotasi yang superior. Pekabaran Injil yang dilakukan oleh badan-badan zending di dunia Barat berjalan beriringan dengan proses modernisasi masyarakat Barat. Perkembangan modernisasi di Barat pada gilirannya membentuk karakter masyarakatnya yang lebih rasional, sehingga mereka tidak lagi menaruh perhatian pada segala bentuk kepercayaan yang mitis. Hal itulah yang turut membentuk perspektif masyarakat Barat tentang dirinya sendirinya dan juga terhadap masyarakat-masyarakat yang berbeda dengan dirinya. Karena yang Barat dilihat identik dengan “maju” dan “beradab”, maka masyarakat yang tidak sama dengan Barat dilihat sebagai yang “tidak maju” dan “biadab”, sehingga masyarakat Barat merasa “terpanggil” untuk membawa mereka menjadi lebih beradab. Pada saat yang bersamaan, misi Pekabaran Injil atau misi kekristenan oleh bangsa Barat membawa serta ideologi-ideologi pengadaban masyarakat non-Barat melalui proses kolonialisasi.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di berbagai masyarakat (khususnya masyarakat bekas koloni), model-model kekristenan yang diintroduksi oleh badan-badan misi Barat juga mengalami perubahan-perubahan secara variatif. Secara umum, di gereja-gereja yang terbentuk sebagai hasil misi Kristen Barat di kawasan Asia pada masa pascakolonial bergumul untuk menjadi gereja-gereja mandiri yang mampu melahirkan gagasan-gagasan teologis dan praktik-praktik kekristenan yang kontekstual sesuai dengan perubahan-perubahan sosial-politik-budaya masyarakatnya. Dalam proses itulah, misi kekristenan atau pekabaran injil tidak lagi dilihat sebagai suatu upaya “pengkristenan” masyarakat lokal (yang non-kristen) atau usaha menambah jumlah orang Kristen semata-mata.
Pekabaran injil pascakolonial berangsur-angsur mengalami pergeseran paradigma dari ideology “kristenisasi” menjadi suatu upaya doing theology di atas ranah sosial masyarakat dengan fondasi-fondasi teologis yang lebih kontekstual. Pekabaran injil pascakolonial tidak lagi dipahami sebagai starting point kekristenan, tetapi justru sebagai intermediate creativity yang secara kreatif hendak menghubungkan warisan-warisan tradisi berteologi Kristen dengan tantangan-tantangan kontemporer masyarakat pascakolonial di kawasan bekas koloni bangsa-bangsa Barat. Keniscayaan historis bahwa kekristenan di Asia adalah warisan Barat dengan sejumlah derivasi bentuk dan konsep sama sekali tidak ditolak; tetapi pada saat bersamaan model-model kekristenan yang telah terbentuk terus diuji dalam konteks masyarakat kontemporer. Pada titik itulah gereja-gereja pascakolonial memahami pekabaran injil sebagai kekuatan untuk membangun kekristenan yang terintegrasi dalam pergumulan sosial, politik, serta pemaknaan budaya.
Gereja Protestan Maluku merupakan salah satu gereja yang mewarisi tradisi-tradisi kekristenan dari Barat. Itu suatu kenyataan historis yang tidak dapat disangkal. Tetapi sekaligus GPM menyadari bahwa tugas Pekabaran Injil tidak pernah selesai, karena itulah yang menjadi spirit menggereja mengarungi arus perubahan dari zaman ke zaman. Dengan kesadaran itulah, Pekabaran Injil yang dilakukan oleh GPM secara mendasar kini bertumpu pada tiga pilar:
- Penguatan pemahaman teologis-alkitabiah pada tingkat basis (jemaat) melalui pendidikan teologi jemaat yang dilakukan secara programatis di jemaat-jemaat;
- Pengembangan kapasitas gereja sebagai institusi keagamaan yang secara sadar berproses bersama dengan seluruh lapisan masyarakat. Pada tataran ini, GPM memosisikan diri sebagai institusi gerejawi yang menyatakan misi kemanusiaannya dalam menghadapi berbagai masalah sosial;
- Pengakaran gagasan gereja sebagai pewarta Kerajaan Allah sebagai proses transendensi peran dan fungsinya di tengah dunia. Matra ini memberikan fondasi teologis sehingga gereja mampu berjarak kritis dan membedakan dirinya dengan organisasi-organsasai sosial/politik lainnya.
Hal yang tidak kalah pentingnya ialah wisata keesaan GPM (dengan rujukan tiga pilar tersebut) dapat dimaknai sebagai proses penguatan solidaritas institusional yang memang diperlukan bagi aksi-aksi pembelajaran lebih lanjut. Solidaritas institusional ini penting sebagai upaya menyambung matarantai pembangunan jemaat dalam konteks gumul yang variatif. Tantangan konteks kepulauan pada galibnya membentuk gagasan dan praktik Pekabaran Injil yang lebih memberi perhatian pada upaya penggalian nilai-nilai kultural masyarakat (jemaat) yang menjadi bagian dari pelayanan GPM.
Bersamaan dengan itu pula, maka wisata keesaan GPM mesti ditempatkan sebagai suatu aksi untuk memetakan potensi-potensi sosial-politik-budaya-ekonomi dari setiap jemaat. Dengannya setiap jemaat mampu menjadi jemaat mandiri yang menjalankan kehidupannya sebagai “gereja” di atas tiga pilar tersebut. Dengan perkataan lain, wisata keesaan hendak mengarahkan seluruh proses menggereja pada suatu misi: menjadikan jemaat GPM sebagai JEMAAT MISIONER.***
Monday, July 27, 2009
Mengais Remah-remah Sejarah dan Budaya Lokal Maluku
Beberapa waktu lalu saya diundang oleh beberapa teman mengikuti diskusi terbatas mengenai kemungkinan melakukan kajian dan penelitian sejarah dan budaya lokal Maluku. Karena terbatas maka kegiatan tersebut memakai nama “meja bundar” (round table). Saya datang agak terlambat. Ketika masuk ke ruang pertemuan diskusi sedang berlangsung. Kebetulan yang sedang berbicara adalah salah seorang narasumber yaitu Prof. Saleh Putuhena.
Sepintas dari penjelasan Putuhena saya mendapatkan gambaran bahwa diskusi ini diharapkan bermuara pada tersusunnya suatu kurikulum muatan lokal yang dapat diterapkan dalam proses pengajaran pada jenjang pendidikan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kegelisahan utama yang tampak dari penjelasan Putuhena terletak pada makin terkikisnya sejumlah kearifan lokal dan gaya hidup tradisional yang selama ini didasarkan pada nilai-nilai tradisi lokal, seperti “penghormatan kepada orang tua”, “gaya hidup persaudaraan”, “ikatan kekerabatan” dan sebagainya. Dengan demikian, Putuhena mengharapkan bahwa diskusi ini kemudian akan ditindaklanjuti dengan penelitian ke sejumlah negri untuk mendapatkan data seputar sejarah dan kebudayaan lokal di Maluku.
Setelah penjelasan Putuhena, diskusi berlanjut dengan mendengarkan pendapat setiap peserta secara bergilir. Saya sendiri melihat bahwa upaya ini penting untuk dilakukan. Namun, sebelum tiba pada tahap penelitian perlu dipersiapkan suatu kerangka teoretik dan kerangka metodologi yang mampu membingkai dan mengarahkan seluruh proses penelitian pada ditemukannya data penting mengenai pemahaman sosial masyarakat Maluku terhadap sejarah dan kebudayaan lokal.
Kerangka teoretik tersebut sangat diperlukan agar kajian sejarah yang dilakukan tidak terperangkap pada format kajian sejarah formal, yang pada gilirannya hanya menjadi dokumen sejarah kaum elite. Padahal yang hendak ditemukan ialah bagaimana sejarah digali dan dimaknai sebagai narasi kaum jelata yang kerap kali ditenggelamkan dalam hiruk-pikuk kajian sejarah formal serta “tak bersuara” (voiceless). Bersamaan dengan itu kerangka metodologi mesti dirumuskan secara matang sehingga proses penelitian yang dilakukan mampu menggali secara mendalam aspek-aspek kultural di antara ketegangan tradisi dan ekspresi kontemporer. Di sini kebudayaan lokal hendak ditempatkan dalam dinamika perubahan sosial tanpa harus terjerat pada romantisasi tradisi-tradisi sosial.
Secara ideal, upaya ini merupakan suatu proyek raksasa yang sebenarnya telah dilakukan oleh banyak pihak. Oleh karena itu, saya melihat bahwa upaya awal yang mesti pula dilakukan adalah menginventarisasi berbagai kepustakaan tentang Maluku dari sejumlah perspektif. Kajian literatur tentang Maluku tersebut akan memberikan suatu cakrawala yang lebih luas lagi sehingga darinya penelitian tentang kebudayaan lokal akan lebih banyak bertolak dari matra-matra kultural yang belum tersentuh dan dapat dirumuskan dalam bentuk modul kurikulum bagi pembelajaran murid-murid sekolah.
Upaya ini tentu membutuhkan kerja keras yang sistematis dan sinergis. Tetapi hasilnya akan menjadi suatu kontribusi penting bagi muatan lokal yang dipelajari oleh murid-murid sekolah. Keseriusan dalam mengelola muatan lokal ini akan lebih banyak memberikan kesempatan kepada murid sekolah untuk mengembangkan sendiri perspektifnya secara kreatif dalam mempelajari sejarah dan kebudayaan lokal di Maluku. Memang tak dapat disangkali bahwa minat mempelajari sejarah dan kebudayaan lokal di Maluku sangat dipengaruhi oleh dinamika sosial masyarakat yang telah dirasuki oleh kekuatan-kekuatan hedonism dan konsumerisme – yang kemudian dilihat sebagai indikator modernisasi. Lantas, dengan indikator semu modernisasi tersebut masyarakat secara sengaja dan gradual meninggalkan aspek-aspek kultural yang dianggap sebagai “tradisional” dan “terbelakang”.
Di tengah gempuran gaya hidup global yang melanda masyarakat (khususnya kaum muda), upaya ini tentu mesti diapresiasi sebagai perlawanan kultural (counter-culture) yang bermaksud menyeragamkan pola hidup sosial dalam kemasan globalisasi. Penyeragaman dalam globalisasi pada hakikatnya mengharamkan perbedaan dan memperkuat dominasi pihak yang kuat untuk memberlakukan ketidakadilan hegemonik terhadap pihak-pihak yang lemah (yang tidak memiliki akses pada pengelolaan kekuasaan publik). Dengan demikian, proyek raksasa ini semestinya menjadi living project yang menjadi konsern bersama masyarakat, bukan hanya kaum akademisi. Tanpa kesadaran dan praksis semacam itu, maka ini hanya akan menjadi suatu upaya mengais remah-remah sejarah dan budaya lokal di tanah Maluku.
Friday, June 26, 2009
Senopati Pamungkas dari Bantaran Ciliwung
Perawakannya ceking. Pet hitam setia nangkring di kepalanya, menutupi sebagian rambut yang ikal. Sepintas melihatnya tak ada yang istimewa pada dirinya - tentu itu bagi orang-orang yang tidak mengenal dirinya. Sikapnya ramah, murah senyum. Tak segan-segan menundukkan badan ketika menyalami orang lain, seolah bahasa tubuhnya hendak mengucap "aku sama denganmu".
Tapi laki-laki ceking ini menyimpan seribu energi. Bahkan kata orang ia punya seribu nyawa. Ups, jangan berburuk sangka dulu. Aku tidak sedang membicarakan sosok dukun atau paranormal. Yang aku bicarakan adalah sosok Romo Sandyawan. Seorang rohaniwan Katolik yang memilih mengabdikan dirinya dan hidupnya bagi kaum marjinal-miskin-papa yang terserak di seantero sudut Jakarta.
Aku sempat tak percaya mendengar penuturan seorang teman - dan juga cerita pengalaman sendiri yang mengalir dari mulut Rm Sandy - bahwa laki-laki ceking ini sama sekali tak gentar menghadapi kepongahan kuasa para punggawa negeri ini. Panjang ceritanya tak mampu kucerap karena aku telanjur kagum dengan komitmennya. Pernah disatroni intelijen. Sempat digebukin preman-preman bayaran yang disuruh para punggawa yang jengah dengan sepak terjangnya menyuarakan keadilan bagi rakyat kecil. Toh, semua itu tak menyurutkan greget juang sang romo.
Jauh dari libido ingin terpublikasi sebagai ras selebritas. Menyembunyi dalam aktivitas memberdayakan kaum marjinal-miskin-papa di Jakarta. Atribut "Katolik" yang menjadi imannya pun tak membuatnya terpenjara dalam sekat-sekat doktrinal yang menghalangi langkahnya menjumpai kaum beriman lain. Ketika hampir 10 tahun musholla dekat sanggarnya tak kunjung berdiri - padahal sudah terbentuk 5 panitia pembangunan masjid - ia pun menangani pembangunannya. Sebuah musholla berdiri bukan dengan kekuatan dana, melainkan kekuatan kasih.
Rumahnya menjadi tempat pengajian kaum muda bantaran Ciliwung. Tak hanya itu. Untuk memperkuat pemahaman religius para pemuda, ia memanggil seorang guru mengaji. Ia seorang rohaniwan Katolik yang beriman melampaui sekat-sekat tradisi dan konfesi kristiani. Aku tak tahu apakah ia layak disebut nabi; karena mungkin ia pun tak menyukai sebutan itu. Namun, mungkin tak berlebihan jika aku menyebutnya senopati pamungkas dari bantaran Ciliwung. Seorang pejuang kemanusiaan yang memberi hidupnya berada bersama kaum marjinal-miskin-papa... hidup bersama mereka di tengah sesaknya rumah-rumah petak kumuh tetapi mengajak meluaskan iman dan pengetahuan sehingga menemukan makna menjadi manusia sejati...
Monday, June 15, 2009
Sedikit Corat-coret tentang WARC Theological Consultation
Sejak tanggal 12-16 Juni saya berada di Kaliurang, Yogyakarta, mengikuti konsultasi teologi Aliansi Internasional Gereja-gereja Reformasi (World Alliance of Reformed Churches). Konsultasi teologi ini merupakan pertemuan gerejawi tingkat regional Asia Tenggara, yang diselenggarakan untuk mempersiapkan Pertemuan Raya WARC di Grand Rapids, Michigan, Amerika Serikat tahun 2010. Direncanakan pertemuan raya tersebut juga menjadi momentum bersatunya dua lembaga gerejawi Reformasi, yaitu World Alliance of Reformed Churches dan Reformed Ecumenical Churches.
Tuesday, April 21, 2009
Caleg = Calon Lego?
Dace: Sudara tuang hati jantong ee... mangapa ale muka takoro macang bagitu? Seng dapa suara kapa ee?
Etus: Woe, Dace, beta tau lai ale baru pulang mangawas anana skolah par dong pung ujian. Maar jang ale haga beta deng beta pung kehidopang ni.
Dace: Hahahaeee... beta tatawa sadiki dolo. Ale ni baru dudu papalele duriang saja su macang bagini. Co ale lia katong pung basudara yang baru abis papalele dong pung diri abis-abis te... Akang bagumana lai tu?!
Etus: He, tamang, beta ni memang orang kasiang. Beta cuma bisa papalele beta pung duriang 50 buah ni. Maar beta masi tau diri. Beta tar dudu maniso par papalele diri tagal kadera politik tu...
Dace: Jang ale kapanasang bagitu gandong... Kalo ale masi tau diri, itu beta angka capeu. Tagal itu nikmati saja to ale pung kahidopang ni. Jang iko modo pasang badang par baku manggurebe kadera sampe jual karsang. La abis itu pas dapa tau seng dapa suara, mulai tarewas kas sala kiri-kanang. Lebe lai, otak su senu lalu mulai tatawa sandiri. Seng lama katong dengar su tadudu di Nania.
Etus: Iyo, Dace, beta hati susa lai dengar dong yang buang samua cuma par akang kadera tu. La ini bukang manusia sadiki. Ribu-ribu orang yang tacolo par manggurebe akang... Beta pung isi kapala bodo ni jua masi bisa barekeng kata itu dong mau dapa apa?
Dace: Itu akang te... Ada yang sampe su tarobe abis, mangkali kurang jual bini-ana saja. Dong orang pintar maar beta kira su bale bodo lai. Mangapa tar bisa lia bagumana kalo akang kepeng tu kasi akang par orang-orang macang ale dong bagini Etus.
Etus: He, Dace, jang ale bicara bagitu ee... beta ni orang kasiang tapi beta masi bisa bakabong deng mancari di aer masing par ator beta pung hidop bini-ana. Beta seng dudu maniso par tada tangang tarima sumbangan-sumbangan dari orang-orang macang bagitu.
Dace: Good, good, itu baru nama beta pung konyadu. Ale tau ka seng, tagal seng dapa suara sumbangan-sumbangan dong bale tarek akang. Hahahaeeee.... dasar otak karbou... seng tau malu...
Etus: Istaganaga, ini ale baru pulang mangawas anana ujian basa inggris kapa kong su balaga deng "good-good"... Suda jua Dace, kas tinggal dong pikol dong pung hahalang tu. Jang se kewel talalu, mari capat kas kaluar kepeng la ale borong beta pung duriang ni dolo. Beta panta su kram dari pagi papalele akang maar balong sorang lai yang loko akang.
Dace: Ayooo eee batul tu. Jadi ale kira beta ni pemborong kapa. Sorong dua buah kamari la beta rasa akang dolo. Jang se mulu baskoim deng se pung duriang padahal duriang su dinging.
Etus: Oee, beta ni seng pernah jual janji kawan. Yang beta kasi par ale ni hasil berkualitas dari beta pung karingat sandiri. Co ale rasa sandiri. Maar jang se abis itu putar badang lalu bilang bayar bulang muka. Beta tau se ada dapa kepeng transport mangawas. Mari suda...
Dace: Hahahaeeee.... mantap! Ale papalele maar ale taru kira katong pung isi sak bagus lai....
Etus: Pastinya... tagal itu nanti putaran berikut ale musti pili caleg macang beta bagini. Visi-misi jelas...
Dace: Iyo, iyo, asal jang jadi calon lego saa....
Friday, April 17, 2009
Teologi Kelautan dalam Konteks Pembangunan Indonesia - [artikel lawas]
Negara Indonesia yang terletak di antara Benua Asia dan Australia dikenal juga sebagai “negara bahari”, karena dari luas wilayah 5.193.252 km2, memiliki lautan seluas 3.288.863 km2 dan terdiri dari 13.000 pulau. Adalah suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi geografis laut-pulau membentuk karakteristik tersendiri bagi manusia yang hidup dan berinteraksi secara intens dengan alam hidup mereka.
Tersebarnya pulau-pulau besar dan kecil dari Pulau Sumatera hingga ke Papua secara gamblang menampilkan suatu realitas hidup manusia yang sarat dengan nuansa-nuansa etnik dan kebudayaan dengan latar pandangan hidup yang beraneka ragam. Keseluruhan eksistensi kemanusiaan Indonesia terbentuk dalam bingkai konteks pulau dan laut yang termanifestasi dalam kemajemukan kultural. Oleh karena itu, pluralism menjadi realitas kebangsaan yang tidak terelakkan dalam wacana kebudayaan manusia Indonesia secara holistik.
Laut sebagai Realitas Kontekstual
Secara sosiologis, realitas kepulauan dan laut yang mendominasi interaksi kemanusiaan Indonesia sedemikian rupa pada gilirannya membawa serta suatu pandangan hidup yang khas dan unik masyarakatnya. Berbagai pandangan yang terungkap sangat kental terasa dalam istilah sehari-hari yang digunakan dalam komunikasi masyarakat. Ungkapan-ungkapan seperti “ke laut”, “tanoar”, “ikan makan ikan”, dsb., yang dikenal di kalangan masyarakat pesisir di Maluku, misalnya, sudah menjadi ungkapan yang digeneralisasi sehingga maknanya meluas sampai pada kalangan masyarakat lebih besar di mana intensitas relasional dengan laut sudah tidak lagi begitu terasa. Disadari atau tidak, ungkapan-ungkapan tersebut sudah menjadi bagian inheren dalam masyarakat Maluku.
Fenomena sosial demikian tidak terbentuk begitu saja, melainkan merupakan produk dari suatu proses interaksi yang panjang dan lama dengan konteks kehidupan masyarakat semenjak zaman leluhur mereka. Dengan perkataan lain, konteks laut dan pulau membentuk eksistensi dan karakter masyarakat (pesisir) yang khas. Ekspresi kultural yang mereka tampilkan benar-benar merupakan manifestasi kontekstual.
Orientasi Kelautan dalam Praksis Pembangunan
Sebagai suatu negara-bangsa (nation-state) yang sementara bergiat dengan program pembangunan, maka konteks kelautan dan kepulauan mau tidak mau harus menjadi pertimbangan yang urgen dari setiap kebijakan pembangunan nasional. Paradigma pertumbuhan ekonomi yang begitu gencar dilaksanakan selama masa Orde Baru mengindikasikan dengan sangat jelas pengerahan maksimal dalam pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia, tidak terkecuali potensi kelautan. Ironisnya, kebijakan pembangunan dengan paradigma pertumbuhan ekonomi justru telah menjadi boomerang bagi keseimbangan ekosistem baik di darat maupun di laut. Kendati selalu ada dalih bahwa pemanfaatan sumber daya laut sampai saat ini belumlah maksimal, namun dalam banyak praksis pembangunan itu sendiri terungkap dengan sangat gamblang bahwa pengelolaan sumber daya kelautan telah membawa dampak yang cukup fatal bagi keberlanjutan proses pembangunan (sustainable development) bangsa ini pada masa depan. Rusaknya ekosistem laut seperti terumbu karang yang menjadi habitat ikan, matinya ribuan ikan dan berbagai jenis hewan air karena limbah buangan industri, serta tumpahan minyak di laut, maraknya bisnis pariwisata kelautan tanpa suatu manajemen yang tepat menyebabkan tercemarnya sejumlah pantai, dll., menjadi indikator empiris bahwa proses pembangunan yang terselenggara sejauh ini belum menetapkan suatu orientasi kelautan yang clear and distinc.
Membangun Teologi Kelautan: Sudah Siapkah Kita?
Pertanyaan yang terlontar di atas hendaknya menyentak kesadaran kita sebagai bagian integral dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sedang membangun. Kita hidup dalam suatu konteks kepulauan dan kelautan yang konkret. Namun sungguh merupakan ironi bahwa orientasi kelautan sebagai bagian penuh dan substansial dari keutuhan ciptaan Allah belum mampu membuat kita gelisah dan merangsang aktivitas berteologi kita, khususnya di zona seribu pulau, Maluku. Segenap perhatian dan konsentrasi berteologi kita selama ini terlalu lama mengabaikan kajian teologis tentang makna laut sebagai anugerah Allah yang bermuara pada lahirnya sebuah teologi baru. Praksis berteologi dengan orientasi kelautan sama sekali belum menyentuh esensinya, padahal kita hidup dalam konteks laut dan pulau. Apakah ada yang salah dengan doing theology kita? Ataukah sudah saatnya kita membutuhkan paradigma berteologi yang baru dan kritis serta kontekstual?
Kalau memang paradigma berteologi yang lama sudah terbukti tidak mampu lagi menolong kita mengembangkan suatu refleksi teologis yang segar, maka menurut saya, sudah saatnya kita melahirkan sebuah teologi baru dengan paradigma baru yang secara konsisten berorientasi ke konteks kelautan dan segenap perangkat sosio-kulturalnya. Sebuah teologi yang mampu memberi jawab atas segala tantangan perubahan zaman yang melaju pesat dan menopang kita selaku warga gereja menyikapinya secara arif tanpa kehilangan perspektif iman kristiani.
Teologi baru dimaksud adalah tercetusnya pemikiran-pemikiran teologis yang sistematis dan metodis tentang peranan umat Allah yang hidup dalam suatu situasi yang begitu akrab dengan lingkungan hidupnya. Bahwa kehadiran dan kehidupan mereka di pulau-pulau merupakan tindakan kasih karunia Allah yang tidak berhingga di mana melaluinya mereka memuliakan Allah. Segenap eksistensi mereka di pulau-pulau diimani sebagai yang berada di bawah rencana penyertaan Allah. Allah menyertai para leluhur dan membimbing mereka dalam pelayaran mereka melalui gelombang dan badai laut sampai tiba di pulau di mana mereka beranak-cucu serta membentuk suatu komunitas. Pulau di mana mereka berpijak dan mengolah tanah serta menikmati hasilnya dan laut di mana mereka menikmati hasilnya serta hidup dalam irama gelombang dan anginnya.
Allah mengaruniakan berkat-Nya yang berlimpah-limpah dari dalam tanah dan laut. Segenap umat yang telah menikmati kasih karunia Allah harus hidup dalam kesaksian yang benar, serta berbagi dengan sesamanya. Melalui akta berbagi berkat terkandung makna berbagi hidup. Dalam akta perjamuan kudus, Yesus tidak memberikan satu roti utuh kepada masing-masing murid-Nya. Yesus dengan sadar memecah-mecahkan roti (baca: membagi-bagi) sehingga setiap orang yang duduk di sekitar-Nya menerima bagian dari roti yang satu.
Tanah (pulau) dan laut merupakan satu “roti” pemberian Allah di mana semua manusia “makan” dari bagian-bagian yang diusahakannya. Dengan demikian, tidak boleh ada seorang manusia pun yang bisa mengklaim bahwa dia menguasai dan berhak atas seluruh hasil yang keluar dari dalam tanah dan laut. Dengan berbagi, manusia selalu diingatkan agar menjaga keseimbangan hidup. Pada satu pihak, segala sesuatu yang berlebihan hanya akan membentuk karakter tamak; sedangkan pada pihak lain, hidup dalam kekurangan menjadi tanda bahwa manusia tidak menghargai pemberian Allah. Keadilan menjadi basic value yang melandasi kehidupan persekutuan umat Allah di pulau dan pesisir.
Keseimbangan dapat dilihat pada contoh “perahu semang”. Gelombang laut yang tidak menentu dengan tidak terduga dapat mengempaskan perahu. Oleh karena itu dibutuhkan “semang” (cadik) agar perahu tetap berada dalam keseimbangan dan tidak terbalik kendati gelombang besar menghantam. Keseimbangan juga menjadi kekuatan hidup yang selalu berupaya menghadirkan harmoni dan perdamaian. Dari sini dapat dikonkretisasi apa yang selama ini dikenal sebagai “keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan” (justice, peace and integrity of creation).
Konsep-konsep teologis di atas merupakan sebagian kecil upaya untuk membangun suatu teologi kontekstual. Tentu saja masih terbuka peluang untuk diperdebatkan. Tetapi paling tidak kita sudah memulai. Hanya yang jadi soal: Sudah siapkah kita?
Tuesday, April 7, 2009
124 Tahun Pendidikan Teologi: Pembaruan dan Pewarisan
Penetapan dua topik tersebut tentu mempunyai alasan-alasan signifikan yang lahir dari tuntutan konteks. Saya tidak tahu secara jelas apa alasan-alasan tersebut karena belum membaca kerangka acuan kegiatan seminar itu. Tetapi menarik untuk mencermati garapan dua topik tersebut dikaitkan dengan pendidikan teologi di Maluku – yang kini telah dijalankan oleh dua lembaga: Fakultas Filsafat UKIM dan Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN). Namun yang menjadi sorotan di sini ketika berbicara tentang pendidikan teologi adalah eksistensi Fakultas Filsafat UKIM, yang merupakan buah dari pergumulan gereja (GPM) untuk memikirkan dan mengembangkan suatu tindakan berteologi pada aras ilmu pengetahuan dan aplikasinya bagi praksis bergereja.
Dua panelis pertama, Dr. Rumadi (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Prof. Dr. M.J. Saptenno (Universitas Pattimura), mencoba membedah realitas kontekstual “agama-agama” dan “politik-hukum” di Indonesia. Dengan penelusuran yang komprehensif Rumadi memaparkan postur beragama secara global dan lokal yang sering berada pada ayunan bandul pendulum “penegak moralitas” dan “penjaga benteng kebenaran transendental”. Ayunan pendulum pada kedua sisi tersebut jelas memperlihatkan bahwa sikap dan tindakan beragama tidak bisa disekap hanya pada wilayah privat semata, tetapi berimplikasi sosiologis sehingga matra-matra keberagamaan pada hakikatnya tidak mampu diceraikan dari matra-matra kehidupan sosial secara menyeluruh. Namun demikian, Rumadi tiba pada hipotesis bahwa tampilnya agama ke ruang publik harus dibatasi agar tidak merambah ke masalah politik dan ajang kontestasi perebutan kekuasaan. Ini dilihatnya sebagai faktor determinan yang merusak profetisme agama. Toh, untuk menyelesaikan problem kemanusiaan agama harus dipanggil keluar dari liang persembunyiannya. Sementara itu, Saptenno, dengan kecermatan sebagai pakar hukum tata negara, mendasari elaborasinya dengan asumsi “kekuasaan membutuhkan hukum untuk mendapat legitimasi, sebaliknya hukum membutuhkan kekuasaan untuk dapat diimplementasikan atau upaya penegakkan hukum”.
Empat panelis pada sesi kedua lebih banyak mengupas matra-matra teologis dalam membicarakan “spiritualitas”. Bahkan lebih khusus lagi, seluruh perhatian ditujukan pada figur pendeta, yang dalam hal ini dilihat sebagai produk atau outcome lembaga pendidikan tinggi teologi. Metamorfosis institusional – jika bukan reformasi substansial – dalam beberapa dasawarsa jelas memperlihatkan perubahan-perubahan signifikan yang dipengaruhi oleh terbitnya peraturan-peraturan dan undang-undang di bidang pendidikan tinggi. Dinamika perubahan tersebut dicermati sebagai salah satu penyebab terjadinya pergeseran-pergeseran pada tingkat pemahaman mahasiswa teologi terhadap konteksnya (jemaat) dan juga spiritualitasnya yang inheren dalam pilihannya menggeluti ilmu teologi.
Ulasan sesi kedua ini cukup komprehensif. Hampiran historis mengenai jabatan gereja dikupas oleh Dr. Cornelis Alyona dengan memaparkan temuan-temuan dalam studi dokumen sejarah sehingga konsep “pejabat gereja” atau “pendeta” dapat ditemukan makna konotatif dan denotatifnya di sepanjang jejak-jejak sejarah gereja di Maluku. Berpindah ke ranah teologi alkitabiah, Dr. I.W.J. Hendriks memulai dengan asumsi bahwa telah terjadi penurunan kesadaran panggilan para pelayan gereja (pendeta) di lingkungan GPM. Hendriks menunjuk sejumlah indikator yang menjadi titik berangkat untuk membicarakan “pendeta dan spiritualitas”. Dr. M.M. Ririmasse-Hendriks dan Pdt. Ruth Elwarin-Rumthe, S.Th. sebagai dua panelis (perempuan) terakhir menyajikan wawasan-wawasan kelembagaan dari perspektif formal BPH Sinode GPM dan perspektif praktis pendeta jemaat yang telah melayani selama 34 tahun.
Penyajian materi dalam dua sesi tersebut dapat dipahami sebagai upaya membaca realitas kontekstual sekaligus menjawab tantangan-tantangan yang muncul dari realitas tersebut. Dengan demikian, “teologi” hendak ditempatkan sebagai suatu diskursus keilmuan yang mesti berinteraksi secara interdisipliner dengan kajian-kajian kemasyarakatan (sosial, politik, budaya, hukum, dsb). Sebagai yang demikian, dosen dan mahasiswa teologi mau tidak mau harus membedah konteks dengan pisau analisis sosial serta instrumen-instrumen penelitian sosial, sehingga realitas itu tidak terpahami secara mentah tetapi dikaji dengan disiplin keilmuan yang matang. Apa yang dihasilkan oleh teologi itu sendiri bukanlah suatu rumusan-rumusan mengambang melainkan suatu terobosan-terobosan teoretik yang dibangun melalui alur induktif.
Namun, teologi ternyata tidak cukup dipahami dalam lingkup diskursus keilmuan.
Pembelajar teologi selama ini dilihat pula sebagai pengemban nilai-nilai moralitas publik. Fungsi itu melekat karena teologi tidak hanya terekspresi sebagai ilmu tetapi juga internalisasi nilai-nilai transendental yang diyakini berasal dari Tuhan sebagai sumber kebaikan tertinggi. Bobot fungsi itu makin bertambah ketika si pembelajar teologi diharapkan mampu menjaga karakter-karakter ideal tersebut sebagai “pendeta” atau “pemimpin jemaat”. Pemahaman semacam ini menggiring pada aktivitas berteologi (doing theology), bukan sekadar belajar teologi secara formal.
Menempatkan teologi sebagai ilmu dan praksis, maka kita akan menyadari bahwa teologi mesti menjalankan fungsinya sebagai kekuatan transformatif dalam kehidupan sosial. Fungsi transformasi ini harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar teologi tidak tergelincir hanya menjadi problem-solver sendirian, tetapi dilakukan karena diperkuat oleh jejaring diskursus keilmuan sehingga memampukan pembelajar teologi membaca dan menafsir realitas sosial secara tepat sambil menghadapkannya secara kreatif dengan refleksi nilai-nilai transendental yang melekat pada keyakinan-keyakinan religiusnya.
Di lain pihak, teologi sebagai praksis tidak dapat dilepaskan dari determinasi institusional gerejawi sebagai tempat dipeliharanya tradisi berteologi. Gereja hidup dalam dunia dan masyarakat yang terus berubah. Gereja tidak bisa mengisolasi diri dari efek-efek perubahan sosial yang terjadi. Tetapi sikap gereja terhadap perubahan itulah yang membuatnya berbeda dengan sikap organisasi-organisasi sosial lainnya. Perubahan disikapi dalam perspektif penghayatan iman yang diawetkan dalam berbagai bentuk tradisi gerejawi. Tradisi iman inilah yang menjadi fondasi kehidupan bergereja, bahkan roh gereja, dalam menyiasati perubahan sosial. “Praxis” di sini berkonotasi teologis dan sosiologis. Ajaran-ajaran kebenaran dalam gereja (ortodoksi) hanya dapat diimplementasikan secara komunal dalam tubuh institusi gerejawi, yang sekaligus mensyaratkan tersusunnya hierarkhi organisasi dengan pembagian otoritas yang tegas. Ortodoksi tidak akan mampu bertahan tanpa kekuatan komunal yang menjalankan tindakan-tindakan kebenaran (ortopraksis). Kendati disadari bahwa ortodoksi kerap menimbulkan ketegangan interpretatif sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang tak sejalan.
Dengan konstatasi tersebut, saya mencermati bahwa pendidikan teologi pada hakikatnya adalah upaya membangun jembatan-jembatan konseptual yang secara imajinatif menghubungkan matra-matra “transendental” (Ultimate Being) dan “kultural”. Matra transendental sebagian dapat ditemukan dalam dialog teologis dan historis dengan pengungkapan-pengungkapan iman dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda (masa lampau). Di sinilah kita bicara tentang pewarisan. Sedangkan matra kultural dapat menjadi media berteologi yang kaya dengan berbagai ekspresinya (bahasa, simbol, ritual, dll) untuk menemukan sebagian lain yang transendental itu dalam konteks kekinian (kontemporer). Pada lingkup ini kita bicara tentang pembaruan.
Jadi, teologi pada akhirnya memang menjadi suatu muara perjumpaan, yang sekaligus menimbulkan putaran arus, antara pewarisan dan pembaruan. Perjumpaan ini bisa menjadi perjumpaan yang kreatif yang melahirkan pemikiran dan tindakan berteologi yang baru dan relevan. Tetapi juga bisa menjadi perjumpaan yang tidak seimbang jika yang satu mendominasi yang lain (antara ilmu dan praksis). Di sini yang muncul adalah kejumudan (rigidity), yang menghalangi seluruh proses kreatif karena mempertahankan tradisi. Lantas, percakapan tentang spiritualitas pun menjadi menarik dan menantang. Spiritualitas “pendeta” semacam apakah yang mampu menampung pusaran arus pewarisan dan pembaruan dalam konteks GPM? Adakah “spiritualitas” itu hanya terpasung pada romantisme masa lalu yang lebih banyak terbangun dari kecenderungan narsistik (pengagungan diri)? Ataukah “spiritualitas” itu sebentuk keberanian untuk melepaskan seluruh atribut kehormatan tanpa takut mengambil pilihan berisiko untuk menjadi “pelayan” dalam arti denotatifnya? Ini memang sulit karena “pelayan” atau “hamba” dalam gereja telah melekat dengan “Tuhan” (pendeta adalah hamba Tuhan), yang pada gilirannya malah mengaburkan taraf kehambaannya, karena orang yang dekat dengan “Tuhan” dipastikan kedudukannya lebih tinggi dibandingkan kaum jemaat-jelata, yang – konon – hidupnya [dianggap] jauh dari Tuhan. Apalagi kalau keberjarakan dengan sang Tuhan diukur dari “siapa yang belajar [ilmu] teologi” dan “siapa yang menjadi objek dari [aktor] teologi”. Suatu anggapan yang melahirkan dikotomi “pendeta” dan “kaum awam”.
Nah, kalau sudah begitu, spiritualitas itu seharusnya menjadi milik “pendeta” ataukah milik “jemaat”, atau keduanya? Pendeta meneladani jemaat atau jemaat meneladani pendeta? Tentu ini bukan catatan akhir, melainkan awal dari proses menorehkan narasi dan tindakan berteologi kita. Nos Autem Praedicamus Christum Crucifixum!
Monday, March 30, 2009
Laboratorium Sosial dan Pengalaman Berteologi: Mencari Tumpuan Teologi Kontekstual
Penugasan untuk menyajikan materi “Analisis Sosial” bagi para mahasiswa peserta program Laboratorium Sosial dan Pengalaman Berteologi (LSPB) Kamal pada Kamis 26 Maret 2009, menjadi suatu pengalaman berharga sekaligus nostalgia. Saya menjadi mahasiswa peserta program LSPB Kamal Angkatan 1994, dan sejak lulus dari Fakultas Teologi UKIM tahun 1996 tidak lagi berkesempatan melihat lokasi pelatihan di Negri Kamal. Apalagi konflik sosial di Maluku yang pecah tahun 1999, membuat makin kecil kesempatan untuk pergi ke Pulau Seram.
Begitu turun dari kapal feri yang membawa penumpang dari pelabuhan Liang ke Waipirit, saya membayangkan pasti banyak perubahan yang terjadi. Namun, perkiraan saya agaknya meleset. Ternyata Waipirit tidak banyak berubah, selain kondisi jalan aspal yang lebih mulus dibandingkan dengan kondisi terakhir saya melihatnya plus SPBU yang berada tepat di pertigaan jalan ke Waisarisa/Piru dan Kairatu/Masohi. Kendati jalan aspal yang mulus, saya harus lebih berhati-hati karena tidak ada penerangan di sepanjang jalan dari Waipirit ke Kamal. Penerangan jalan hanya ada ketika melewati negri-negri sebelum Kamal. Dua jembatan terakhir sebelum mencapai negri Kamal pun kondisinya memprihatinkan karena masih berupa konstruksi kayu yang pada beberapa bagiannya sudah lapuk dan patah hingga membentuk lubang yang cukup berbahaya bagi pengendara sepeda motor pada malam hari.
Lokasi pelatihan Kamal juga tidak banyak perubahan, meskipun keadaan di sekitar lokasi mengalami beberapa perubahan yang nyaris membuat saya salah jalan. Pagar kawat duri yang mengitari lokasi kini sudah diganti dengan pagar tembok. Bentuk dan konfigurasi walang-walang dalam area pelatihan juga sudah berubah dan direnovasi. Begitu melewati pintu gerbang, saya agak tertegun. Tetapi saya cepat menyadari bahwa saya harus melaporkan diri di pos piket yang dijaga oleh beberapa mahasiswa (tradisi yang dulu juga pernah saya jalani). Setelah melapor diri dan maksud kedatangan, salah seorang mahasiswa mengantar saya ke Paparisa Thom Pattiasina menemui Pdt. J. Jambormias, mantan pendeta jemaat Passo yang kini menjadi sekretaris pengelola LSPB Kamal. Tak berapa lama kami terlibat dalam percakapan hangat seputar kenangan-kenangan ber-LSPB Kamal dan juga perubahan-perubahan yang terjadi selama kurun waktu beberapa tahun terakhir.
Setelah makan malam bersama, Pdt. Jambormias memperkenalkan diri saya kepada para mahasiswa. Malam itu saya sempat melihat beberapa aktivitas mahasiswa. Sepintas saya mendapat kesan bahwa pengelolaan LSPB Kamal tidaklah seseram dulu. Aktivitas-aktivitas pembinaan semi-militer seperti yang dulu pernah kami jalani tidak tampak dan terasa lagi. Interaksi mahasiswa dengan pengelola (dulu: program manajer) pun terkesan sangat longgar, kendati dalam aspek-aspek tertentu masih tetap mempertahankan beberapa “tradisi” disiplin. Perubahan dalam metode pembinaan memang tak terelakkan karena situasi mahasiswa teologi kini juga mengalami perubahan, baik secara psikologis maupun sosiologis.
LSPB Kamal: Pemetaan Teologi Praktis
Konsep pembinaan spiritual dan mental mahasiswa teologi melalui program LSPB Kamal, menurut saya, merupakan terobosan signifikan dalam konteks pendidikan teologi di Indonesia. Program pembinaan spiritual berbasis komunitas pedesaan dalam LSPB Kamal idealnya hendak mendaratkan seluruh konstruksi teoretis dalam pembelajaran teologi sebagai ilmu di kampus sebagai kemampuan doing theology dalam konteks sosial.
Pendekatan pembinaan yang berlangsung lebih banyak memperkuat kepekaan terhadap konteks konkret dan juga membangun solidaritas di antara mahasiswa (yang diharapkan menumbuhkan spirit korps yang solid kelak). Perjumpaan mahasiswa dalam tatap muka di kelas selama mengikuti perkuliahan di kampus disadari tidak memberi ruang leluasa untuk melakukan diskursus seputar teologi praktis. Hal itu dapat dipahami karena konteks “kelas” lebih ditujukan menjadi arena diskusi keilmuan pada aras teoretis dengan orientasi garapan text books.
Terminologi “laboratorium” yang dipadukan dengan “sosial” memang terasa paradoksal. Terminologi “laboratorium” lebih lazim digunakan dalam ranah ilmu-ilmu alam (natural science) yang mengandaikan objek kajian dapat diperlakukan dalam demarkasi rumus-rumus paten, yang pada gilirannya menghasilkan efek yang terukur (measureable). Sementara terminologi “sosial” jelas mengasumsikan berlangsungnya proses dalam dinamika kehidupan masyarakat. Kendati demikian, paradoks itu pun melahirkan suatu kesadaran bahwa makna “laboratorium” di sini lebih memberikan aksentuasi praktis pada dimensi “pelatihan”. Bukan trial and error melainkan “pengujian kualitatif” terhadap situasi problematika sosial yang hendak dipahami sebagai suatu proses pematangan kepribadian para mahasiswa teologi. Dalam batasan ini, mahasiswa teologi itu lebih diarahkan pada proses pembentukan karakter sebagai calon pendeta. Meskipun saya juga melihat bahwa jika dicermati lebih dalam LSPB Kamal sebenarnya memberikan ruang gerak leluasa untuk membangun konstruksi berteologi yang membumi.
Paradoks “laboratorium” dan “sosial” itu rupanya menjadi arena kontekstual untuk memahami dan mengelaborasi pengalaman-pengalaman berteologi. Kalau konotasi “laboratorium” menunjuk pada suatu lingkup keilmuan yang terbatas dan statis, maka “pengalaman berteologi” hendak membuka batasan-batasan itu hingga meluas menjadi sesuatu yang dialami secara konkret. Pada titik itulah, LSPB Kamal menghadirkan dialektika pembelajaran teologi yang kreatif. Konteks sosial tidak hanya dipelajari, tetapi dialami langsung. Teologi tidak hanya dikaji, tetapi dihadapkan langsung dengan realitas. Dengan perkataan lain, LSPB Kamal hendak dijadikan sebagai arena perjumpaan Tuhan dan manusia; Tuhan dipahami tidak dalam arti ontologis dan abstrak tetapi dimanifestasikan sebagai pengalaman-pengalaman bermakna dalam kebudayaan manusia. Melalui pengalaman-pengalaman konkret itulah manusia memikirkan eksistensi dan perannya, yang kemudian melahirkan asumsi-asumsi teologis seputar kehadiran Tuhan dalam ruang interaktif hidup sehari-hari.
Sejauh ini saya menyadari bahwa masih terasa kegamangan dalam menerapkan metode pembelajaran teologi praktis di LSPB Kamal. Pendekatan pembinaan semi-militeristik (yang masih sempat saya alami) tampaknya makin tidak relevan dengan konteks sosial yang terus berubah. Oleh karena itu untuk saat ini diperlukan suatu pemetaan konteks Maluku yang lebih up-to-date dan kajian mengenai perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara umum di jemaat-jemaat GPM sebagai muatan kurikulumnya. Hal ini menjadi sangat mendesak karena tanpa kemampuan untuk memetakan situasi sosial secara lebih cermat maka seorang pendeta akan kehilangan dasar-dasar sosiologis dalam proses berteologi. Jika demikian, maka teologi akan kehilangan isinya atau rohnya karena inti berteologi itu justru terletak pada aspek interaktif manusia dan masyarakat.
Penguatan karakter yang juga menjadi perhatian dalam program LSPB Kamal sejauh ini masih berkutat seputar pembentukan karakter pendeta yang ideal secara pragmatis. Aspek-aspek disiplin waktu, kerja sama, solidaritas, keterampilan praktis di bidang pertanian dan lain-lain, memang dibutuhkan oleh seorang pendeta dalam konteks pelayanan jemaat-jemaat kepulauan di wilayah GPM. Namun, aspek-aspek tersebut sebaiknya tidak mendapat bobot berlebihan sehingga melalaikan penguatan karakter sebagai motivator sosial. Peran sebagai motivator sosial penting untuk lebih digarap agar para calon pendeta ini tidak lagi terkungkung mindset pendeta sebagai “ketua” (majelis jemaat) yang berhak mengatur segala-galanya di jemaat kelak. Peran motivator sosial itu justru menitikberatkan pada pengembangan potensi kepemimpinan seorang pendeta secara lebih luas. Bukan hanya terkait pada peran struktural melainkan lebih kepada peran eksistensial, yakni mendorong berkembangnya potensi-potensi positif warga jemaat yang dibinanya. Bahkan dengannya lahir refleksi-refleksi teologis bernas karena digumuli secara partisipatoris dalam konteks kejemaatan.
Dengan pendekatan potensi kepribadian dan kerangka pikir positif, maka paradigma teologi praktis yang dijalankan dalam program LSPB Kamal lebih terpusat pada dimensi pembebasan. Dengannya para mahasiswa diberikan ruang untuk mengekspresikan kreativitas berpikir dan berdialog secara bebas, dengan orientasi pada upaya menumbuhkan spirit pemimpin-pemenang (winner attitude) dengan kualifikasi ilmiah dan eksperiensial yang memadai serta kontekstual. Dari sinilah pendidikan teologi praktis yang dijalankan dalam program LSPB Kamal tidak lagi berorientasi pragmatis hanya demi menjawab kebutuhan pelayanan di jemaat-jemaat kepulauan GPM. Tetapi secara esensial menjadi proyek berteologi kontekstual dengan dimensi pembebasan yang membongkar kebudayaan bisu. Sebagaimana dinyatakan oleh Paulo Freire bahwa:
Pendidikan yang membebaskan merupakan proses di mana pendidik mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkap kehidupan yang senyatanya secara kritis. Pendidikan yang membelenggu berusaha untuk menanamkan kesadaran yang keliru kepada siswa sehingga mereka mengikuti saja alur kehidupan ini; sedangkan pendidikan yang membebaskan tidak dapat direduksi menjadi sekedar usaha guru untuk memaksakan kebebasan pada siswa (Paulo Freire, Politik Pendidikan hlm. 176)
Dengan demikian, melihat esensi teologi praktis dalam program LSPB Kamal, ada optimisme bahwa model pendidikan (pembinaan) LSPB Kamal dapat dikembangkan sebagai model berteologi kontekstual yang masih relevan sejauh metodologi dan muatannya terus-menerus direlevansikan dengan perubahan sosial dalam konteks kehidupan jemaat-jemaat GPM. Dalam arti itulah maka teologi praktis yang menjadi landasan konseptual LSPB Kamal dibebaskan dari imperatif-imperatif militeristik yang seolah-olah disyaratkan bagi penguatan karakter pendeta sebagai “pemimpin”. Lebih jauh, teologi praktis itu justru membongkar kebudayaan bisu para calon pendeta dan teolog yang dilatih di LSPB Kamal sehingga tidak berhenti hanya pada determinasi panggilan spiritual untuk menjadi pendeta, tetapi terlebih bergerak progresif pada determinasi “belajar”. Belajar bukanlah mengonsumsi ide, melainkan menciptakan ide dan terus menciptakan ide. Pada titik itulah, analisis iman atau refleksi teologis berlangsung sebagai imperatif belajar terus-menerus.
Kamal, 26 Maret 2009
Monday, March 23, 2009
Beberapa Catatan Mengenai Editorial Media Indonesia [artikel lama]
Saya adalah salah seorang pemirsa setia Editorial Media Indonesia (EMI) yang ditayangkan MetroTV. Topiknya aktual, ulasannya kritis dan lugas, sehingga menarik minat untuk dicermati. Bagi saya, ulasan EMI dalam beberapa tayangan secara impresif mampu mengajak pemirsa untuk melihat fenomena di balik realitas sosial-politik yang mengemuka.
Tetapi saya kecewa dengan ulasan EMI pada hari Minggu 28 April 2002 yang lalu, yang dalam amatan saya, terkesan sepihak dan tendensius.
Pertama, ulasan EMI seolah-olah hendak menempatkan seluruh konteks konflik sosial di Maluku dalam kerangka gerakan separatis berlabel Republik Maluku Selatan (RMS). Indikator empirik yang dipakai ialah adanya aksi-aksi pengibaran dan pelepasan balon gas yang diikat dengan bendera RMS pada tanggal 25 April 2002.
Tanggapan:
Konflik sosial di Maluku yang telah berlangsung selama 3 tahun mesti dipahami sebagai salah satu persoalan rumit menyangkut tarik-menarik kekuasaan di kalangan elit politik yang sedang gamang menentukan postur state pasca-Suharto (sebagai kubu yang secara sosiologis masih sangat berpengaruh dalam ranah politik Indonesia) yang pada gilirannya merujuk pada disorientasi pemaknaan terhadap eksistensi keindonesiaan. Apa yang kita mengerti mengenai ”Indonesia” selama ini, menurut saya, terbentuk hanya dari kesadaran subjektif particular terhadap sejarah kita sebagai satu bangsa. Kesadaran subjektif siapa? Tidak lain kesadaran subjektif dari pihak penguasa. Dengan kekuasaan yang dimiliki, mereka mereduksi makna pluralitas kebangsaan ke dalam suatu konsep ideology yang didasarkan pada aksentuasi ide-ide kebudayaan parsial. Ada dua karakter ideologi yang dikembangkan oleh penguasa Orba: (1) konsep ideologi berdasarkan worldview Jawa; (2) konsep ideologi militeristik. Kedua konsep ideologi ini bermuara pada paham kekuasaan politik yang sentralistik sebagai manifestasi kreasi lingkaran simbolik kekuasaan yang berpusat pada “keraton” (=indoktrinasi militer), menafikan pluralism (=uniformitas), mistikasi figur penguasa (=ketaatan absolute pada komandan), pandangan kosmologis dimana wilayah periferi tidak independen melainkan berada dalam gerak kosmik-sentripetal (=pusat teritori). Kendati gaung reformasi masih terus didengungkan, namun secara substansial konsep kebangsaan kita belum beranjak dari landasan ideologis seperti itu. Malah kini muncul kembali gerakan politik primordial yang mendasarkan diri pada ideology religius dan etnosentrisme. Fenomena ini muncul karena kekuatan periferi yang terdesak selama Orde Baru mendapat angin untuk tampil kembali di pentas politik Indonesia. Termasuk fenomena RMS.
Gerakan RMS adalah suatu realitas politik yang pernah muncul dalam wacana politik kebangsaan Indonesia kontemporer. Itu tidak bisa dipungkiri. Tetapi bagaimana RMS ditangani oleh penguasa Indonesia, ternyata tidak banyak yang tahu. Sebagian besar dokumen sejarah yang kita peroleh di sekolah-sekolah hanya menginformasikan bahwa RMS berhasil ditumpas oleh TNI. Ada sebagian pengikutnya dihukum, ada pula yang memilih ikut Belanda, beranak-pinak di sana dan terus melanggengkan utopia kemerdekaan Maluku serta ideologisasi entitas kultural pada generasi-generasi berikutnya. Informasi sejarah seperti ini membentuk struktur kesadaran bahwa embrio gerakan separatis ini masih hidup dan bisa menjadi bahaya laten (yang anehnya, dikaitkan dengan keberadaan orang-orang Maluku di Indonesia). konsekuensinya, identitas orang-orang Maluku selalu dilekatkan pada “genealogi politis” semacam itu (misal: beberapa orang Maluku bermarga “Soumokil” a priori dianggap sebagai anak-cucu Dr. Soumokil, penggagas RMS) sehingga semua akses ke instansi-instansi tertentu dibatasi/ditutup. Meski secara kualitatif mereka cukup capable dalam bidangnya.
Yang lain, pada masa Orba, setiap tanggal 25 April selalu ditempatkan aparat keamanan (tentara/polisi) di negri-negri Kristen, seolah-olah orang Kristen Maluku/Ambon adalah pengikut RMS yang harus selalu diwaspadai. Pada hari itu setiap penduduk negri dilarang melakukan aktivitas apapun (termasuk pergi ke kebun atau melaut). Stigmatisasi ini berlangsung selama bertahun-tahun dan melahirkan sebentuk kesadaran di kalangan generasi muda Maluku (terutama yang Kristen) bahwa “kami” adalah orang-orang RMS, meskipun tidak tahu apa dan bagaimana sejarah RMS. Siapa yang menentukan identitas orang Maluku seperti itu, ya penguasa pusat di Jakarta. Padahal dalam dokumen sejarah tertentu, RMS itu dimotori dan bisa hidup justru karena kolaborasi ekstensif berbagai elemen politik lokal dari beberapa negri Kristen dan negri Islam (dalam hal ini peranan bapa raja dari negri-negri tersebut). Pematangan rencana pembentukan RMS itu sendiri digagas di negri Tulehu, sebuah negri Islam di Pulau Ambon dan didukung oleh beberapa negri Islam lainnya dari pulau-pulau Lease (Saparua, Haruku). Di Haruku, bapa raja negri Pelau, Duba Latuconsina, merupakan salah satu tokoh penting dan berpengaruh. Juga Abdullah Solissa yang sekarang menjabat sebagai Koordinator Yayasan Al-Fatah Ambon adalah salah seorang tokoh dalam kabinet RMS.
Dalam proses pembelajaran sejarah selanjutnya dimensi-dimensi tersebut mengalami distorsi bahkan kooptasi oleh negara (melalui kebijakan di bidang pendidikan yang kurikulumnya diawasi secara ketat) karena ada vested-interest kelompok-kelompok politik tertentu yang berafiliasi berdasarkan ideology agama, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kepentingan-kepentingan tersebut mesti diamankan dan karena itu dibutuhkan “kambing hitam”. Siapa lagi kalau bukan kelompok minoritas (Kristen). Afiliasi berdasarkan agama (Islam) pada aras nasional ternyata lebih memberikan keuntungan secara politis kepada kelompok-kelompok politik lokal ketimbang afiliasi berdasarkan etnisitas. Kekuatan agama lebih efektif dalam membangun solidaritas sosial daripada etnisitas. Solidaritas sosial semacam ini terbukti sangat ampuh dalam proses mencari dukungan massa karena masyarakat Indonesia pada umumnya sangat kental rasa keagamaannya.
Dalam kenyataan seperti itu, pencermatan terhadap konflik sosial di Maluku tidak bisa secara sederhana dilihat hanya dari angle separatism. Secara esensial, gerakan pemisahan-diri (self-separation) dari arus utama (mainstream) hanyalah impuls dari rasa keterdesakan atau ketertindasan yang tak mampu ditahan dan mesti direspons dengan reaksi agar suatu kelompok sosial dan seluruh perangkat nilai-nilai budayanya survive dalam medan sejarah peradaban manusia.
Kedua, aksi unjuk rasa sekelompok massa (muslim) dengan atribut bendera merah-putih dilihat sebagai reaksi “orang-orang Indonesia” yang menentang pengibaran bendera RMS dan mendesak aparat TNI-Polri untuk menindak tegas kelompok yang mengibarkan bendera RMS di sejumlah tempat di Ambon.
Tanggapan:
Siapakah yang bisa disebut “orang-orang Indonesia”? Apa parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi “keindonesiaan” tersebut?
Ini pertanyaan krusial yang sampai saat ini kita masih terus mencari sosok idealnya. Dalam amatan saya, Indonesia adalah suatu fenomena baru: satu realitas dengan dua identitas, yaitu identitas nasional dan identitas primordial. Saya adalah orang Ambon/Maluku yang beragama Kristen, dan itu identitas primordial saya. Cukupkah itu? Tidak. Pada saat yang sama, saya adalah orang Indonesia, dan itu identitas nasional saya. Kedirian saya secara utuh berada dalam dialektika dua identitas tersebut. Saya (juga Anda, dan orang-orang lain) hidup di dalam realitas Indonesia dengan dua identitas tersebut. Indonesia adalah fenomena baru per 17 Agustus 1945 yang belum pernah ada presedennya. Karena itu kita akan kehilangan core Indonesia seperti itu bila rujukan yang dipakai adalah Majapahit, Sriwijaya, Mataram dll sebagai fragmen-fragmen historis yang pernah ada secara sendiri-sendiri.
Indonesia ini merupakan produk kesepakatan politis orang-orang yang tergabung dalam delegasi dari wilayah-wilayah bekas jajahan pemerintah Hindia-Belanda, untuk menjadi satu wilayah geopolitik yang bernama “Indonesia”. Nama yang dipilih untuk republik baru ini bukan “Republik Jawa” (meski etnis Jawa yang terbesar), bukan pula “Republik Islam” (meski penganut agama Islam yang terbesar), melainkan Republik Indonesia. Makna politis yang terkandung dalam terminology ini ialah keterbukaan terhadap pluralitas sosial, budaya dan agama, malah juga terhadap berbagai ideology politik (sehingga ideology yang disepakati bukan “Islam” atau “Marxis-sosialis” atau “ultra-nasionalis”, melainkan PANCASILA sebagai kolaborasi dialektis varian-varian ideologis yang berkembang masa-masa awal Indonesia itu). Dalam konsep Indonesia semacam ini, pihak mayoritas tidak rasa diri jago dan berhak menentukan segala sesuatu secara arbitrer.
Dalam pandangan saya, Indonesia seperti ini menampilkan suatu spirit demokrasi nation-state yang menjamin kesetaraan (equality) bagi setiap warga negaranya. Perbedaan adalah suatu kewajaran yang mesti disikapi secara arif bukan represif. Pluralitas adalah kekayaan, bukan ancaman. Pada momentum itulah kita sebenarnya membutuhkan suatu seni mengelola kemajemukan yang terberi dalam entitas kebangsaan kita.
Jadi Indonesia adalah pilihan bersama untuk menjadi satu (seperti dua orang yang bersepakat untuk mengikat diri dalam perkawinan). Bila janji setia untuk saling memperhatikan dan menghargai perbedaan masing-masing dilanggar, bukankah lebih baik kita pisah baik-baik? Kenapa mesti ada pihak yang “harus” diam ketika diperlakukan tidak adil dan ada pihak lain yang bisa dibiarkan melakukan penindasan terhadap kelompok lain?
Kalau ada pihak yang menentang pengibaran bendera RMS, itu bukan saja muncul dari pihak kaum Muslim Maluku tetapi juga dari mayoritas rakyat Maluku yang Kristen. Pada sisi ini, setiap media massa mesti jeli menyikapinya. Tetapi kenapa tidak ada sikap reaktif dari pihak Kristen, malah terkesan tenang-tenang saja? Soalnya ialah (1) pengibaran itu dilakukan oleh kelompok tertentu yang punya kepentingan sendiri. Itu mesti dibedakan dengan stigma bahwa semua orang Kristen adalah pengikut RMS dan karena itu harus dilibas (sebagaimana yang sering diserukan dalam serangkaian tabligh akbar di Ambon). Di sini orang-orang Kristen Maluku mengalami dilema dan perlu berhati-hati agar tidak kontraproduktif; (2) kadar ketidakpercayaan rakyat di Maluku terhadap kapabilitas pemerintah daerah (penguasa darurat sipil) dan pemerintah pusat dengan perangkat-perangkat militernya yang beroperasi di Maluku, makin parah.
Siapa yang menjadi musuh negara di Maluku? Orang-orang Kristen? Tidak ada! Yang sering diberitakan oleh media massa nasional (tapi tidak semua nasionalis) adalah “bentrok” dan “konflik” tapi bukan “penyerangan sepihak” oleh kelompok-kelompok paramiliter berkedok “jihad”. Dalam konteks ini, pemerintah sebagai representasi negara bersikap ambivalen (atau memang sudah direkayasa seperti itu) sehingga membuka kemungkinan bagi munculnya berbagai instrumen liar di luar negara yang merasa berhak membunuh orang lain atas dasar ideologinya sendiri (berdasar agama atau politik). Mereka menafikan eksistensi serta piranti hukum negara dan menganggap bahwa mereka sendiri adalah hukum yang berhak menjatuhkan vonis mati bagi setiap orang yang secara subjektif diposisikan sebagai “musuh”. Lantas, musuh mereka identik dengan musuh negara. Padahal mereka sendiri bertindak melampaui kewenangan pihak state dalam menangani persoalan politik internal. Sungguh naif! Kalau sudah begitu, sebenarnya Indonesia yang mana yang mau mereka bela? Dan Indonesia di Ambon yang mana yang EMI maksudkan? Kelompok Islam an sich sebagai Indonesia hanya karena berdemonstrasi dengan mengusung atribut merah-putih, atau kelompok yang mana?
Ketiga, aksi penyerangan ke negri Soya (Kristen) Kecamatan Sirimau Kota Ambon pada pk. 04.00 WIT yang menewaskan 12 orang (termasuk seorang bayi berusia 8 bulan dan seorang anak balita – menurut berita Liputan 6 Petang SCTV) dan 12 orang lainnya luka-luka, hanya dilihat sebagai reaksi wajar atas sikap inkonsistensi aparat keamanan menindak pelaku pengibaran bendera RMS. Mungkin karena alasan itulah, tidak dirasa perlu untuk memasukkannya dalam ulasan EMI.
Tanggapan:
Bagaimana EMI menyikapi serangan subuh ke negri Soya pada 28 April 2002? Menurut saya penting diperhatikan bila EMI ingin mempertahankan kredibilitasnya sebagai media “Indonesia”. Sebagai orang yang pernah menjadi korban dalam penyerangan sepihak (tanpa alasan yang jelas, kecuali hanya oleh semangat agresi membabi-buta) oleh kelompok jihad di Ambon, saya sadar bahwa pemberitaan media massa mengenai konflik Ambon telah mengalami distorsi yang signifikan sehingga pada gilirannya membentuk opini public yang tidak fair terhadap orang-orang Ambon. Pengibaran bendera RMS seolah-olah memberi legitimasi bahwa semua orang Ambon/Maluku (khususnya yang Kristen) adalah anggota gerakan separatis yang mesti digilas habis. Oleh karena itu, semua komponen masyarakat yang “berjiwa nasionalis” berhak untuk membumihanguskan eksistensi rakyat Maluku (Kristen) sampai ke akar-akarnya. Karena selain secara politis, orang-orang Kristen Maluku adalah musuh “negara” (?), juga secara religius, mereka adalah orang-orang kafir yang harus diperangi (dibasmi).
Dalam pandangan saya, EMI tidak jujur dan lugas dalam mencermati realitas eskalasi konflik pasca Malino II. Ulasan EMI ternyata terjebak pada inferensi premature karena peroleh data eksploratif yang tidak valid dalam menentukan link and match antarpeubah yang menentukan fluktuasi konflik di Maluku, khususnya Ambon.
Ambon memang sudah menjadi gray-zone yang sulit untuk ditelusuri pangkal masalah dan ujung solusinya dalam rimba kompleksitas situasi problematiknya. Tetapi bukan berarti kita bisa seenaknya melakukan justifikasi atas berbagai fenomena yang mencuat di Ambon. Karena itu setiap orang yang ingin berkomentar tentang Ambon mesti menyadari karakteristik politik dan budaya Maluku dalam konstelasi pergolakan ideology di pentas politik Indonesia kontemporer. Oleh karena itu, usulan umum saya kepada media massa di Indonesia: sebaiknya selektif dalam memilih komentator mengenai masalah Maluku. Jangan hanya terpaku pada orang-orang di eksekutif atau legislative yang “omong besar” tapi “miskin konsep” dalam menganalisi konflik Maluku yang muaranya hanya tampilan sikap eksklusif dan arogan yang dangkal.
Demikianlah beberapa komentar singkat saya terhadap ulasan EMI: “Indonesia di Ambon”. Saya harap ini merupakan salah satu upaya kita untuk terus-menerus menguji berbagai sosialisasi konseptual khususnya menyangkut dinamika realitas sosial di Indonesia.
Wassalam...
Friday, March 13, 2009
Menulis Lagi
Tapi ada hikmatnya juga. Waktu membongkar arsip-arsip lama, ketemu juga beberapa artikel jadul. Setelah dilihat dan dibaca ulang, tidak ada salahnya untuk diposting di blog. Soal relevansi isu, rasanya masih bisa ditoleransi jika pembaca menempatkannya sebagai produk pemikiran pada suatu masa tertentu di waktu lampau. Mungkin saja ada manfaatnya. Setidaknya, secara pribadi ada kenikmatan tersendiri membacanya kembali dan merefleksikan ulang progresivitas pemikiran yang telah terbangun selama ini. Sekaligus koreksi apakah paradigma berpikir makin mengembang atau malah menyusut.
Sementara ini saya masih menyesuaikan diri dengan ritme kerja di Ambon. Dan, tentu saja, melakukan pengamatan di sana-sini untuk menghimpun data membuat tulisan dalam konteks yang baru.
Thursday, March 5, 2009
Pulang
Pulang adalah menggali, bukan menanam
Pulang adalah kegelisahan, bukan kepastian
Pulang adalah meruntuhkan kepongahan, tetapi menyemaikan harapan
Pulang bukanlah tujuan, tetapi suatu awal
Pulang membawaku ke dalam diskontinuitas
Menghanyutkan kembaraku seiring disharmoni
Memompa denyut nadiku terhempas ke ranah berkabut
Antara tiada harapan ataukah tiada kehidupan?
Persahabatan teruji melalui liku-liku perjalanan pulang
Melambaikan tangan, membisu kelam hati
Pulang menjadikan perpisahan mengendapkan makna
Betapa sukar merekatkan cinta persaudaraan
Pulang adalah petualangan
Kembara jiwa merentang lautan
Bukankah gunung menjulang dengan kelu?
Tak berharap kudaki bercucur peluh…
Meretas asa, merekat esa
Menjalarkan semangat untuk merasa
Solidaritas tak berbahasa, namun mengguratkan cinta
Pulang adalah pulang… menapak jejak tanpa perlu berharap kecuali berkarya
Batavia Air, 3 Maret 2009
Menggantung di atas ketinggian…
Tuesday, January 6, 2009
Palestina-Israel: Secuil Pandangan
Dalam salah satu bagiannya secara eksplisit nampak bahwa Ulil membangun asumsinya dari sudut pandang “korban” atau “kambing hitam”, dalam hal ini bangsa Yahudi sebagai salah satu kelompok ras manusia yang paling mengalami penindasan sistematis sepanjang sejarah umat manusia. Penindasan dan permusuhan yang berlangsung berabad-abad terhadap komunitas Yahudi telah membentuk semacam kesadaran internal super-protektif terhadap segala tendensi yang mengancam identitas mereka. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian komunitas Yahudi (Zionis) berhasil mendirikan negara Israel, entitas politik yang berabad-abad tidak mereka miliki, mereka menjadi sangat sensitif dengan segala bentuk ancaman. Dan karena itu mereka akan melakukan apa saja untuk mempertahankannya.
Pandangan Ulil dalam artikel itu secara keseluruhan, seperti yang diakuinya, memang bukanlah pandangan yang populer di kalangan Islam. Bahkan, saya bisa menambahkan bahwa pandangan semacam itu juga tidak populer di kalangan tertentu Kristen, yang lebih menekankan superiotas Israel berdasarkan legitimasi teologis bahwa Israel adalah “umat pilihan Tuhan”. Dalam pandangan Kristen semacam itu, umat Israel (Yahudi) mengalami penderitaan sebagai sebentuk hukuman Allah karena ketidaktaatannya. Namun Yahweh tetap mengasihi Israel dan tetap “memilih” Israel sebagai umat kesayangan-Nya. Ideologi semacam inilah yang memengaruhi sejumlah pemikiran teologi Kristen yang lebih mendukung eksistensi Israel di Palestina dan dominasi Israel atas rakyat Palestina, semata-mata karena di dalam Alkitab tertulis “Allah telah memilih Israel sebagai umat kesayangan-Nya”, kendati dengan konsekuensi mesti memberangus bangsa-bangsa lain.
Jika kita mengamati pencitraan konflik Palestina-Israel oleh media massa di Indonesia, maka dengan segera kita melihat bahwa konflik tersebut telah mengalami pembebanan makna yang berlebihan. Pembebanan makna tersebut pada gilirannya mendistorsi realitas konflik itu. Pembebanan makna dan pembingkaian berita secara sengaja makin merangsang sentimen anti-Israel, serta membentuk semacam aura solidaritas terhadap Palestina. Tentu jelas, dalam bacaan orang Indonesia pada umumnya yang membaca/mendengar pemberitaan media, solidaritas terhadap Palestina adalah solidaritas terhadap Islam yang dikonotasikan sebagai “rakyat Palestina”. Pencitraan semacam ini lantas membentuk persepsi publik: Mereka yang bersikap “lembek” terhadap Israel adalah antek Yahudi atau antek Zionis. Dan dengan demikian juga berarti beroposisi langsung dengan kekuatan “solidaritas Islam”. Maka tak mengherankan jika kemudian pasca penyerangan Israel ke Gaza, jalan-jalan protokol di Jakarta dan beberapa kota besar Indonesia disesaki oleh para demonstran yang lebih dominan mengusung spirit solidaritas Islam tersebut.
Tetapi benarkah Palestina identik dengan Islam? Sebuah buku yang ditulis Naim Stifan Ateek, Justice and Only Justice: A Palestinian Theology of Liberation, mematahkan pandangan keliru bahwa Palestina identik dengan Islam. Dan oleh karena itu, saling serang antara tentara Israel dan Hamas tidak bisa secara simplistik dikristalkan sebagai pertempuran “Yahudi vs Islam”. Konflik Palestina-Israel adalah suatu konflik yang amat kompleks. Di dalamnya terlebur berbagai dimensi yang masing-masing telah menjadi katalisator independen untuk memicu timbulnya percikan-percikan kemarahan dengan skala yang berbeda namun punya intensitas yang hampir sama tinggi.
Dalam buku itu, Ateek secara gamblang menyatakan bahwa rakyat Palestina secara keseluruhan merupakan korban dari bangkitnya gerakan nasionalisme Zionis yang mendapat inspirasi dari spirit kolonialisme Eropa abad ke-19. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Edward Said dalam bukunya The Question of Palestine bahwa ada hubungan antara Zionisme dan kolonialisme bangsa Eropa. Menurut Said, Zionisme jelas-jelas tidak pernah menyatakan dirinya sebagai gerakan pembebasan Yahudi, melainkan sebagai suatu gerakan Yahudi untuk pemukiman kolonial. Implikasi lanjutan dari gerakan tersebut adalah berdirinya negara Israel, yang secara sistematis melakukan segregasi sosial, mencaplok tanah, menggusur warga dan merelokasinya. Gejolak sosial yang muncul sebagian besar lebih disebabkan karena kerancuan kognitif (cognitive dissonance) masyarakat karena seluruh konsep-konsep sentral kehidupan seperti “tanah”, “komunitas”, “budaya lokal”, “ikatan kekerabatan”, “ruang”, mengalami penghancuran secara sistematis dan cepat.
Ateek sendiri mengawali tulisannya dengan suatu pertanyaan eksistensial “Who am I?”. Lantas, ia mulai memetakan dirinya dalam 4 identitas: (1) Orang Kristen. Banyak orang yang spontan menanyakan “apakah ia pindah agama?” atau “benarkah ada orang Kristen di Timur Tengah?”; (2) orang Palestina. Yang selalu dicecar dengan pertanyaan “bagaimana mungkin ada orang Palestina yang Kristen?”; (3) orang Arab. Dalam pandangan banyak orang Barat, orang Arab identik dengan Muslim. Padahal, Kristen Arab sudah ada sebelum Islam. Kekristenan sudah ada 600 tahun di Timur Tengah sebelum Islam; (4) orang Israel (Israeli). Istilah Israeli menunjukkan cap kewarganegaraan dari negara Israel. Dilema atau ambiguitas kesadaran yang terpecah-pecah semacam ini secara psikologis memperlihatkan betapa tercabik-cabiknya rasa identitas bangsa Palestina – seluruh rakyat Palestina. Sehingga dapat dipahami bahwa frustrasi-frustrasi yang lahir karena situasi penindasan dan ketidakadilan itu membentuk generasi-generasi Palestina (Islam dan Kristen) yang militan. Pada titik kesadaran itulah, Ateek merefleksikan suatu bentuk perlawanan terhadap dominasi pemikiran teologis (Kristen) yang terlampau mengagungkan dan menganakemaskan Israel tanpa membedah realitas penderitaan manusia di Palestina.
Buku Naim Stifan Ateek ini pada gilirannya juga menohok jantung teologi Kristen yang mendasarkan doktrinnya pada otoritas kitab suci. Israel yang menjadi aktor utama dalam Alkitab sering kali dipahami secara dangkal sebagai representasi “umat pilihan Allah” yang mewujud dalam entitas negara Israel modern. Ini juga dialami oleh banyak orang Kristen Indonesia. Bisnis perjalanan wisata yang cukup bergairah adalah “wisata rohani ke tanah suci Israel”. Saya tidak tahu apakah ini semacam counter-culture terhadap ritual haji dalam Islam, tetapi beberapa pihak memang sempat mengatakan bahwa wisata ke Israel memberikan nuansa spiritual-emosional yang besar dalam diri mereka. Karena itu, mereka (yang berduit tentunya) akan melakukan perjalanan yang sama berkali-kali. Perjalanan ke Israel seperti “membasuh dosa-dosa” dan membuat mereka menjadi “manusia baru” – apalagi kalau sempat dibaptis di Sungai Yordan, tempat Yesus dulu dibaptis (menurut apa yang tertulis dalam Alkitab). Lagi-lagi, menurut seorang yang bekerja di salah satu travel, orang Kristen Indonesia yang paling banyak melakukan ritual baptisan di Sungai Yordan dan ritual perkawinan di Kana.
Gereja-gereja sebenarnya menyadari keluncaspahaman semacam ini. Namun tidak banyak yang berani bersuara untuk menyatakan bahwa penderitaan rakyat Palestina adalah penderitaan kemanusiaan. Jika kekristenan berdiri di atas spirit Injil yang “membebaskan” dan “memberitakan sukacita” maka pada galibnya spirit itu pula yang mesti mendorong gereja-gereja di Indonesia menyatakan kecaman keras atas serangan militer Israel dan menunjukkan solidaritas pada kemanusiaan Palestina yang porak-poranda. Tentu dengan cara terorganisir sehingga dampaknya menyata.
Hanya yang menjadi ganjalan, menurut saya, tepatkah kritik dan aksi demonstrasi itu ditujukan pada pihak-pihak tak langsung, misalnya kedubes Amerika? Apakah memang suara Indonesia didengar mengingat Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel? Bagaimana menekan Israel jika Indonesia tidak punya kontrak politik apa-apa dengan Israel? Sejauh ini, kita hanya seperti orang yang berteriak di padang gurun. Bergema saja tapi tidak memberi efek apapun. Jika demikian, secara sederhana, rasanya jika komitmen solidaritas terhadap rakyat Palestina diharapkan menjadi efektif, mungkin sudah saatnya Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Saya kira, cara itu bisa menjadi salah satu kekuatan penekan bagi sepak-terjang Israel. Ataukah memang kita lebih suka berpanas-ria, berkoar-koar dalam arak-arakan demonstrasi di bundaran HI, meskipun kita tahu tidak ada hasil apa-apa dari semuanya itu? Atau memang cuma segitu doang maksud kita… yang penting demo dan masuk tipi… Walahuallam.
Monday, January 5, 2009
Menjelang Misteri
Namun dalam sakit, aku malah menemukan waktu yang mengalir. Merasakan alirannya dalam sakit dan hening. Saat terkapar dengan seluruh persendian yang ngilu, aku malah terbelit dalam permenungan: apa lagi yang baru nanti? Atau, semua hanya keterjebakan diri dalam rutinitas. Menjemukan namun tak terelakkan. Basi tapi mesti ditelan. Ataukah ada yang lain? Tantangan. Peluang. Kemujuran. Kecelakaan. Bahkan, kematian? Bukankah semuanya adalah probabilitas, yang sering tak ingin kita percakapkan tapi toh dalam hati kecil kita merasa tak kuasa menghindari sepersekian probabilitasnya.
Merasakan aliran waktu saat terkapar sakit dalam jeda peralihan tahun, membuat aku jadi menikmati denyut penuaan dalam diri. Setahun lagi berlalu. Apa yang tersisa untuk menjadi energi menapaki tahun “baru”? Seberapa “baru” tahun ini (2009) hingga tetap menyodorkan percik-percik api pengharapan? Sebulan? Dua bulan? Lalu kapan 2009 akan menjadi tua atau lama? Apakah harus menunggu peralihan tahun yang akan datang (2010), lalu ia menjadi lama? Lantas, “baru”-nya di mana: baru datang atau baru substansinya?
Sudah puluhan “tahun baru” aku lewati. Tiba-tiba tersadar, benarkah semua “tahun baru” itu menggelimangi kesadaranku dan eksistensiku dengan yang “baru”? Atau malah hanya suatu gerak menua yang kuterima apa adanya? Aku belum berkarya apa-apa. Semua tersapu oleh kerja dan kerja untuk urusan “hidup” – yang makin terkerdilkan sebagai urusan perut. Hidup hanya urusan perut? Begitulah yang masih menjajah pikiranku. Ada mimpi tapi tersimpan dalam hati. Ada cita-cita tapi belum menyata. Ada harapan tapi masih tersimpan. Lantas, kapan? Lagi-lagi aku terjebak dalam aliran waktu dan – mau tak mau – kembali menikmati denyut penuaan dalam diri.
Menjadi tua tak selalu menjadi dewasa. Begitu banyak lubang-lubang yang menghiasi persahabatan, hanya karena kita enggan menutupinya. Sehingga berulang-ulang terjungkal dalam kesalahan yang sama. Lebih pilih perang daripada perdamaian. Lebih suka menyerang daripada menenteram. Lebih nikmat mengunggulkan ego daripada merangkul yang lain. Bumi pun dipaksa menyerap darah karena kepongahan manusia. Mesin-mesin perang berderap melindas kehidupan. Anak-anak dan perempuan terkapar di tengah puing-puing dengan daging terkuak memamerkan tulang dan isi tubuh terburai. Pemandangan baru di tahun yang baru? Sudah berapa tahun baru terlewati dengan dentuman mesiu dan bau anyir darah? Tahun baru perlu perang baru?
Ah, terkapar sakit di peralihan tahun sungguh-sungguh membuatku menikmati detak jantung yang makin lemah karena penuaan. Tetapi aliran waktu ini malah menderaskan aliran darah dalam tubuhku. Aku tidak mau tua sebelum berkarya! Menjadi tua seharusnyalah menjadi dewasa untuk melahirkan percikan-percikan api momentum berkarya. Menjadi tua adalah menjadi berhikmat untuk mendaraskan pengalaman-pengalaman yang berlalu, menjadi suatu kitab kehidupan. Mewariskan pengetahuan dan hikmat sebagai roh zaman bagi anak-cucu.
Tahun baru. Umurku tidak akan baru. Kenyataan menua adalah inspirasi untuk membebaskan pikiran dan nurani agar tidak terkerangkeng dalam ringkihnya raga. Umurku tidak akan baru. Mungkin juga tidak panjang. Tetapi kalau aku telah menapak peralihan tahun ini – meski terkapar sakit – rasanya itu tanda untuk melahirkan karya baru. Merajut pengalaman, menarasikan masa depan, membuai harapan-harapan dalam dekapan. Menyemai cinta bagi sang bumi.
Tahun baru. Apa masih perlu kuucapkan “selamat”?