Aku menulis maka aku belajar

Thursday, April 14, 2016

Koimin

Namanya Pak Koimin. Tidak usah mencarinya di mesin pencari Google. Percuma karena nama maupun fotonya tidak akan ditemukan. Lagi pula dia tak punya akun di media sosial apapun. Sosoknya kurus. Tinggal sebatang kara di sebuah rumah kecil super sederhana pinggir sarean (kuburan). Kalau kuterka usianya sekitar 70 tahun. Kegiatannya sehari-hari biasa berjalan keliling seputaran kampung tempat tinggalku sambil menenteng karung beras. Dari rumah ke rumah mengais-ngais tempat sampah mencari penggalan-penggalan sampah bersih.

Aku mengenalnya lebih dekat ketika suatu hari dia datang menawarkan jasa untuk membersihkan selokan dan pinggiran rumah kontrakanku yang sudah lebat ditumbuhi rumput liar. Sudah lama ingin kubersihkan tapi selalu saja ada alasan untuk tidak melakukannya. Tidak tega juga mengiyakan permintaan orang tua ini tapi karena dia mendesak halus maka “deal” saja tanpa sepakat berapa ongkos jasanya.

Kalau tak salah ingat sudah 3 kali dia datang membersihkan rumput liar di sekitar rumah kontrakanku. Kalau rumput belum tumbuh biasanya aku atau istriku memberikan beberapa “sampah bersih” kepadanya. Belakangan aku tahu dari percakapan dengan Pak Koimin ketika kami bersama-sama membersihkan rumput liar bahwa “sampah bersih” itu dikumpulkan dan disortir di rumahnya yang kecil-sumpek itu untuk kemudian dijual kembali kepada agen pemulung yang bermodal menengah. Demikianlah caranya mendapatkan sedikit uang untuk makan sehari-hari.

Tak banyak yang diceritakannya tentang istri dan anaknya. Aku malah tahu sedikit tentang keluarganya dari ibu Sumirah, tetangga Pak Koimin, yang juga kenalan kami di kampung situ. Kata bu Sumirah, Pak Koimin dan istrinya tidak punya anak. Mereka kemudian mengambil keponakan Pak Koimin (anak dari adik Pak Koimin) sebagai anak angkat. Keponakannya ini ditelantarkan oleh orang tuanya sehingga dipelihara dan dibesarkan oleh Pak Koimin dan istrinya. Sekarang anak ini sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di desa pinggiran kota Salatiga. Rumah tangga Pak Koimin juga tidak utuh lagi karena sudah lebih 10 tahun dia dan istrinya berpisah. Lagi menurut bu Sumirah, tak seorang pun (termasuk Pak Koimin) di kampung yang tahu dimana keberadaannya. Tinggallah Pak Koimin sebatang kara melanjutkan hidupnya di rumah kecil sederhana pinggir sarean itu.

Salah satu kegiatan Paskah di GPIB Salatiga yang lalu adalah mengumpulkan busana bekas layak pakai untuk kemudian disumbangkan kepada saudara/keluarga yang bersedia menerimanya karena membutuhkannya. Aku dan istriku berpartisipasi tapi pada akhirnya memutuskan untuk tidak mengumpulkannya di gereja tapi memberikannya kepada Pak Koimin. Nanti terserah dia saja mau diapakan “pemberian” kami ini.

Sudah lebih sebulan “paket” Paskah untuk Pak Koimin mangkrak di rumah kami karena orang yang kami tunggu tak kunjung lewat depan rumah kontrakan kami. Beberapa kali kusempatkan lewat sarean setiap mengantar anak kami ke sekolah. Biasanya Pak Koimin lesehan di depan rumahnya. Tapi beberapa kali pula tak kulihat sosoknya. Mungkin dia sedang menengok anaknya di desa pinggiran kota Salatiga, pikirku. Aku dan istriku saling bertanya kemana Pak Koimin selama ini. Sempat terpikir untuk membawa saja “paket” Paskah ini langsung ke rumahnya. Tapi harus diberikan kepada siapa kalau tidak ada orang lain selain dirinya di rumah itu?

Baru kemarin kami tahu dari bu Sumirah bahwa ternyata Pak Koimin sudah berpulang ke rahmatullah 3 minggu lalu. “Kenapa tidak ada berita duka yang biasa kudengar dari corong masjid?”, tanyaku pada bu Sumirah. “Iya, Pak Koimin itu orangnya gak masuk masjid sana maupun sini,” kata bu Sum. Sedih sekali kami mendengarnya sambil menatap “paket” Paskah Pak Koimin yang teronggok di ruang tamu.

Sayup-sayup terngiang pesan-pesan Paskah tentang spiritualitas ugahari dan persahabatan kemanusiaan yang kian terkoyak egoisme surgawi yang marak dijajakan saat ini. Mungkin pesan itu mencuat karena religiositas kita makin mewah dalam kemasan-kemasan ritual nan rumit dengan bahasa dan anggaran yang melangit. Kali ini Pak Koiminlah yang mengajarkan dan membumikan spiritualitas ugahari itu kepada keluargaku. Hidup dan pergi sebatang kara.

Inalilahi wainalilahi rojiun...

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces