Aku menulis maka aku belajar

Sunday, April 10, 2016

HAMBALANG (Habis Makan Buang Tulang)

Presiden Jokowi melakukan kunjungan mendadak ke lokasi proyek Hambalang yang telah mangkrak selama kurang lebih 3 tahun. Menurut paparan sejumlah media cetak dan media elektronik, segera setelah peninjauan proyek mubazir ini presiden melakukan rapat koordinasi kabinet untuk membahas nasib Hambalang.

Mubazir? Setidaknya dari pernyataan Presiden sendiri memperjelas ketidakjelasan untuk melanjutkan proyek ini, jika tidak ingin dikatakan mubazir. Mau dilanjutkan untuk apa; kalau tidak dilanjutkan malah menjadi monumen aib bancakan uang proyek negara trilyunan rupiah yang dinikmati para elite rakus uang.

Detail kronologis penetapan proyek, nominal proyek, mekanisme bagi-bagi jatah proyek yang entah secara langsung atau tidak melambungkan nilai proyek menjadi trilyunan rupiah, sudah dirilis berlapis episode oleh berbagai jenis media. Tak perlu mengulangnya lagi di sini. Atau tanyakan saja pada para pakar studi pembangunan.

Soal proyek mangkrak seperti Hambalang jelas bukan fenomena dan fakta baru di republik ini. Apa yang menarik dari kasus hambalang ini adalah itu terjadi di tengah gempuran dua gelombang besar zaman ini yang menandai dinamika sosial-politik dan kebudayaan masyarakat Indonesia pasca-1998: (1) gerakan anti-korupsi dan pemerintahan bersih dan (2) politik hedonisme yang berakar pada relasi-relasi sosial klientelistik.

Dengan perkataan lain, jika saja semangat zaman tidak berpihak pada kontrol sosial dan kebebasan media massa maka sudah tentu kongkalikong bagi-bagi proyek negara hanya berlangsung senyap di kalangan segelintir pemburu rente. Hanya keberpihakan sejarah pula yang membuka celah cukup lowong untuk mengintip dan menguntit pola-pola penelikungan anggaran negara semacam itu saat ini. Deus ex machina.

Namun, ironisnya, ruang kebebasan berekspresi melalui apa yang dijargonkan dengan demokratisasi tersebut juga mengundang efek bola salju radikalisasi lokalitas. Membuncahnya semangat desentralisasi yang dilihat sebagai manifestasi demokratisasi ternyata makin memperkokoh konstruk relasional patron-klien di berbagai wilayah Indonesia. Suatu fenomena waktuwi yang kian menyuburkan politik klientelisme pasca gelombang pasang desentralisasi.

Memang adalah fakta yang tak terhindari bahwa konstruk sosiologis masyarakat nusantara yang mengindonesia secara politis (state) ini belum tuntas berproses menjadi suatu "nasion". Maka benturan-benturan ideologis yang penuh citarasa primordial (etno-geografis) masih kental mewarnai relasi-relasi sosiobudaya masyarakatnya. Termasuk dengan menebarkan aroma keselamatan surgawi melalui komodifikasi agama di ruang-ruang publik hanya demi penguatan politik pengakuan "ini punyaku" dan "persetan dengan yang lain".

"State" sendiri tampaknya masih kelimpungan menata kejamakan dirinya secara demokratis-prosedural sehingga berkali-kali gagal paham dan lumpuh aksi mengelola multikulturalisme yang sejak semula telah menjadi habitusnya. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa di tengah kegamangan tersebut selalu muncul utopia kembali ke zaman "rust en orde" seperti jargon mbah Harto "piye, isih penak jamanku tho?". Atau, terperangkap pada relasi-relasi jumud klientelistik demi menyamankan diri dan kroni-kroninya sendiri. Maka jadilah dramaturgi politik kekerabatan, perkoncoan dan kroni.

Di mana posisi rakyat dan seluruh kerumitan meningkatkan kesejahteraannya? Ah, itu tampaknya hanya status-status klise nan basi yang sekadar membumbui kasak-kusuk nominal anggaran belanja dan pendapatan negara oleh para "yang mulia" di padepokan sejuk senayan. Rakyat tetap penting sebagai jargon negosiasi anggaran yang hendak digelontorkan. Soal kemana dana itu mengalir sampai jauh tentu hanya mereka yang mengetahui dan menikmati sepuas-puasnya.

Tapi tak baik berburuk sangka. Tetap ada sisa yang masih dapat dinikmati oleh rakyat. Sisa? Ya, sisanya saja. Malah mungkin cuma puing-puing bangunan yang mangkrak seperti Hambalang itu. Trilyunan coi. Ini permainan anggaran yang bukan main-main. Toh, yang kita saksikan kini cuma kerangka bangunan tak berbentuk dengan tumpukan asesorisnya yang turut melapuk. Sungguh ini suatu gambaran kedegilan dan pesta pora para cecunguk politik yang penuh kebiadaban di tengah realitas rakyat yang jatuh-bangun sendiri mengurus perut mereka plus beban pajak sana-sini yang hanya berakhir tragis di lahan Hambalang.

Inilah gambaran politik hambalang yang merasuki nurani mereka yang mendaku sebagai "wakil rakyat" dan "pejabat". Politik hambalang yang jelas-jelas berarti "habis makan buang tulang". Mereka sudah kenyang menggerogoti semua isi daging proyek pembangunan dan hanya menyisakan tulang-tulang kering untuk dijilat ramai-ramai oleh rakyat dengan program-program mercusuar pembangunan tanpa jelas apa manfaatnya untuk rakyat.

Hambalang, habis makan buang tulang. Oh iya, masih soal politik hambalang, kita juga perlu mengintip dan menguntit proyek-proyek pembangunan nun jauh dari metropolis Jakarta. Kalau sulit menelusuri jejak-jejaknya, setidaknya siapkan saja kamera atau smartphone untuk sekadar berselfie. Termasuk pula jangan melewatkan sesi-sesi berselfie di JMP yang baru diresmikan.

Kalau sudah puas, mari kita berselfie ria di sepanjang jalan trans Pulau Seram dengan latar jembatan-jembatan putus yang mangkrak bertahun-tahun. Atau sempatkan juga ke Pulau Buru, Kei, Yamdena dan Aru. Sambil berselfie di jembatan putus, jangan lupa memotret bagaimana rakyat berjerih tertatih-tatih menjaga jiwa mereka dalam kubangan hidup miskin di tengah lalu lalang fortuner dan pajero para pejabat yang menyambangi mereka hanya untuk sekadar menyatakan "selamat miskin". Karena kemiskinan rakyat punya nilai jual mahatinggi melanggengkan pesta pora berhambalang. Habis makan buang tulang.

Anti pembangunan? Tidak. Justru kita harus tetap kritis pada setiap detail program pembangunan dengan orientasi jelas apa visi dan bagaimana implementasinya. Tanpa itu, bersiap saja menikmati tulang yang dagingnya habis digerogoti para pelahap anggaran negara (yang terkumpul dari butiran-butiran keringat pajak rakyat yang kerja, kerja, kerja). Mungkin JMP bisa menjadi jargon baru kita agar tidak silau dengan proyek-proyek mercusuar pembangunan. Yang kumaksud bukan jembatan itu tapi "Jang Makang Puji" agar nalar dan nurani kerakyatan kita tidak ditumpulkan dan dilumpuhkan demi "tulang" yang terpaksa kita jilat ramai-ramai karena tak lagi berdaging.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces