Presiden Joko Widodo telah meresmikan Jembatan Merah Putih (JMP) pada 4 April 2016. Sebagai orang Ambon aku turut bangga. Tapi itu hanya jadi kebanggaan semu jika tidak disertai kesadaran akan fungsi esensial suatu jembatan. Jembatan adalah penghubung dua bagian yang terpisah yang sulit dijangkau. Dengan perkataan lain, ada ceruk yang dalam atau kesenjangan yang curam sehingga dua bagian terpisah tadi sulit dihubungkan. Di situlah jembatan sebagai penghubung diperlukan.
Dalam perspektif geografis, konteks kepulauan Maluku memang memerlukan sarana penghubung. Sarana penghubung itu tidak harus jembatan. Masyarakat kepulauan Nusantara sudah sejak berabad-abad lampau membangun sarana penghubung antarwilayah, antarkomunitas dan antarkebudayaan bukan dalam wujud jembatan fisik tapi transportasi laut, yaitu kapal layar dan perahu. Sarana penghubung inilah – yang jangkauannya melebihi jembatan terpanjang manapun di dunia – telah melahirkan beragam bentuk interaksi sosial, beraneka model hibridisasi tradisi dan kebudayaan, serta membangun peradaban yang heterokultural. Faktor-faktor itulah yang menjadi karakteristik masyarakat kepulauan yang terbuka dan kaya corak warna budayanya.
Dengan perspektif geografis tersebut maka dari sudut kemanfaatannya, fungsi JMP tidaklah terlalu signifikan sebab “kesenjangan” – jika bisa disebut demikian – sebenarnya sudah lama terjembatani oleh sarana penghubung perahu layar, feri penyeberangan Galala-Poka dan jalur darat mengitari setengah badan dalam Pulau Ambon (jika tujuannya ke airport atau negeri-negeri selanjutnya hingga ke Tanjung Alang). Maka kemungkinan signifikansi JMP adalah seputar efisiensi waktu, penghematan bbm, dan landmark Pulau Ambon (menggantikan eksotisme Teluk Ambon sebagaimana yang digambarkan dengan sentimentil dalam syair lagu “Amboina Bay”).
Dari perspektif sosiohistoris dan kebudayaan, kemajemukan masyarakat selalu membutuhkan jembatan komunikasi yang tidak mesti berwujud konstruksi fisik tapi konstruksi ide. Dari perspektif sosiohistoris, JMP ini seolah-olah menjadi simbol penghubung antara dua jazirah (Leihitu dan Leitimor) yang sudah sejak zaman kolonial Belanda dipetakonflik sebagai dua wilayah dengan oposisi biner Islam-Kristen. Oposisi biner tersebut kemudian merambah menjadi konstruksi kesadaran ide budaya dan identitas agama yang selalu ditempatkan secara konfrontatif satu terhadap yang lain, terutama sejak masa singkat Pendudukan Militer Jepang yang mengguratkan oposisi biner keagamaan itu sebagai warisan hingga kini.
Apakah dengan begitu JMP menjadi signifikan fungsinya jika ditelisik dari perspektif sosiohistoris dan kebudayaan? Aku rasa tidak terlalu signifikan juga. Jazirah Leihitu dan Jazirah Leitimor punya sejarah panjang perjumpaan yang diwarnai oleh berbagai periode historis yang bervariasi, peristiwa-peristiwa politik yang dinamis dan komunikasi budaya yang dialektis-fungsional.
Beberapa waktu lalu, aku bertandang ke Negeri Wakal di Leihitu. Di sana aku bertemu dan berbincang-bincang dengan beberapa sesepuh masyarakat. Mereka tahu aku berasal dari Naku, salah satu negeri di Leitimor. Yang membuatku kagum dan takjub adalah mereka sama sekali tidak menggubris oposisi biner yang kerap digembar-gemborkan dalam catatan-catatan sejarah kolonial. Mengapa? “Katong ini sebenarnya punya hubungan moyang-moyang. Tagal itu katong ini basudara,” demikian ujar seorang sesepuh Wakal kepadaku seolah menjawab pertanyaan mengapa tadi. Jawaban sederhana tapi bernas tadi dengan segera menegaskan bahwa “jembatan kebudayaan” antara dua wilayah yang kerap digambarkan senjang hanya karena berbeda agama sudah lama terbangun kokoh dalam ingatan-ingatan kolektif masyarakat. Narasi yang sama yang aku dapatkan ketika melakukan penelitian di Naku tahun 2000 saat Ambon sedang berada pada titik nadir konflik sosial.
Catatan kecil ini sama sekali tidak berpretensi mereduksi pentingnya JMP. Itu tak lagi penting karena jembatannya sudah diresmikan dan siap pakai, kendati signifikansi JMP sekali lagi ditentukan oleh beragam interes baik dari pihak pemprov, pemkot, berbagai pemangku kepentingan dan sudah pasti masyarakat penggunanya. Tentu saja, adalah non-sense jika proyek miliaran rupiah ini hanya didasarkan pada alasan efisiensi waktu menuju airport atau kampus Unpati. Teman-temanku yang kuliah di Unpati dulu selalu bangga menyebut bahwa mahasiswa paling keren di Indonesia ini ya cuma mahasiswa Unpati karena pergi-pulang kuliah naik feri. Tentu saja itu bagi mereka yang tinggal di Leitimor dan kota Ambon, tapi tidak bagi yang tinggal di Leihitu dan Baguala.
Peresmian JMP ini dan penggunaannya seyogyanya dimaknai lebih jauh untuk melihat berapa banyak (lagi) kesenjangan-kesenjangan antarwilayah kepulauan di Maluku yang perlu dijembatani secara proporsional dan eksistensial. Pertumbuhan ekonomi kota Ambon telah menarik gelombang investasi dan manusia yang massif. Sementara itu kelangkaan lahan makin menjadi isu penting yang perlu diperhatikan oleh semua pihak. Komposisi demografi kota dan pulau Ambon yang kian majemuk turut memicu kesenjangan antarbudaya yang mesti disertai dengan membangun konstruksi ide dan praksis multikulturalisme sebagai jembatan komunikasi lintas budaya. Belum lagi memperhitungkan proyeksi dan signifikansi Henahetu yang secara sosiologis punya pengaruh besar bagi perkembangan kota Ambon tapi secara administratif masih tersekat karena berada pada wilayah otoritas pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Kita masih bisa menambah deretan panjang kesenjangan di Maluku yang membutuhkan “jembatan-jembatan” ideologis dan antropologis. Setidaknya agar kita, orang Maluku, tidak hanya terpasung pada pesona-pesona kemegahan fisik proyek-proyek pembangunan lantas malah rapuh dalam pemaknaan pembangunan itu sendiri.
Presiden Joko Widodo sudah meresmikan JMP. Kini saatnya kita, orang Maluku, membuktikan bahwa itu bukan sekadar landmark untuk dipuja-puji dan menjadi arena selfie belaka. Namun menjadi simbol dari kekayaan khazanah kebudayaan Maluku yang sudah terbukti menjadi simpul perjumpaan berbagai kebudayaan dan peradaban manusia. Menjadi Maluku adalah menjadi manusia lokal dengan perspektif global dan daya komunikatif berjangkauan lintas budaya. Tampaknya, jauh sebelum Manuel Castells menelorkan tesisnya tentang “network society”, para leluhur kita sudah berabad-abad membangun kebudayaan sebagai network society dengan rasionalitas zamannya. Hanya saja kita kemudian selalu dilumpuhkan oleh nalar dan praksis pembangunan yang berideologi monolitik dan monopoli. JMP hanya tanda kecilnya. Kita perlu pembuktian tanda besarnya: bertahan dalam era network society dan glokalisasi kebudayaan, serta menjadi masyarakat komunikatif.
Aku menulis maka aku belajar
Tuesday, April 5, 2016
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment