Selama dua hari, Sabtu dan Minggu, tanggal 16 dan 17 Desember 2017, Fakultas Teologi UKIM melaksanakan Program Pengabdian Masyarakat di Jemaat Kayeli, di kawasan perbukitan Eri-Airlouw, Pulau Ambon. Jemaat Kayeli semula tinggal atau berada di Pulau Buru (Utara). Sejak merebaknya konflik Maluku tahun 1999-2005, jemaat ini terpaksa harus mengungsi keluar dari Pulau Buru. Sempat terlunta-lunta untuk beberapa waktu dan tinggal di beberapa wilayah pemukiman yang terpencar-pencar di Pulau Ambon, sebagian besar mereka kemudian mendapat “hibah” lahan tinggal di kawasan Negeri Amahusu.
Hidup sebagai “pengungsi” tentu bukanlah pilihan mereka. Namun, mereka terpaksa menerima kenyataan pahit itu dan berusaha untuk menyesuaikan kehidupan di tempat tinggal yang baru. Tentu saja, semua itu membutuhkan perjuangan yang berat karena interaksi sosial dengan komunitas-komunitas setempat juga tidak selalu berjalan mulus. Sebagai “pengungsi” mereka telah kehilangan segala-galanya: keluarga, tanah, pekerjaan; dan kini mereka tinggal di tanah yang asing bersama-sama dengan komunitas-komunitas setempat yang punya kebiasaan dan kebudayaan yang berbeda – kendati masih dalam satu organisasi keagamaan (gereja). Demikian pula sebaliknya, komunitas-komunitas setempat meskipun awalnya menerima mereka karena rasa iba dan solidaritas persaudaraan, tapi untuk selanjutnya muncul pula ketegangan-ketegangan di antara “orang setempat” dan “pengungsi” tersebut. Beberapa keluarga Kayeli kemudian memilih untuk mencari tempat tinggal yang baru, meninggalkan “barak pengungsi”.
Sejak terusir dari Kayeli di Pulau Buru dan menginjakkan kaki di Pulau Ambon, anggota-anggota Jemaat Kayeli tinggal di beberapa lokasi yang berbeda. Namun, sebagian besar masih bertahan di Kecamatan Nusaniwe: Unit 1 di Negeri Amahusu dan Unit 2 di Eri-Airlouw. Menurut Pdt. Ampy Nahuway, yang telah melayani di jemaat ini selama 8 tahun, jumlah anggota jemaat Kayeli saat ini sebanyak 58 kepala keluarga. Oleh karena dua unit pelayanan tersebut jaraknya jauh maka biasanya pada minggu pertama (PA) dilayani oleh pendeta jemaat dalam bentuk ibadah gabungan unit. Nanti minggu-minggu selanjutnya dilakukan per wilayah mukim. Pdt Ampy Nahuway sendiri tinggal di Halong (timur Pulau Ambon).
Tanah-tanah yang mereka tempati tidak sepenuhnya cuma-cuma. Mereka harus membayar sejumlah uang kepada para pemilik petuanan agar mendapat sertifikat tanahnya. Meskipun demikian tidak semua urusan sertifikasi tanah tersebut berjalan lancar. Selalu saja ada konflik-konflik yang menyertai proses-proses itu. Pada satu pihak, ada tuntutan untuk meleburkan komunitas Kayeli ke dalam pengorganisasian jemaat setempat. Namun, pada pihak lain, komunitas Kayeli memang bernazar bahwa meskipun mereka harus keluar dari tanah mereka di Pulau Buru dan menetap di tempat lain, tapi mereka akan tetap menjaga identitas komunitas mereka “Kayeli”. Mereka akan tetap bertahan sebagai Jemaat Kayeli. Untuk terus memanaskan nazar itu mereka membawa serta prasasti pertama pembentukan Kayeli yang dipasang pada dinding depan gedung gereja (sementara).
Beberapa tahun silam mereka mendapat hibah tanah dari sejumlah keluarga dari Eri-Airlouw. Lahan seluas 2 hektar itu kini sebagian telah digusur tapi belum bisa ditempati. Lokasinya agak terpencil jauh dari pemukiman penduduk Eri-Airlouw atau Seilale. Hanya ada dua bangunan di lokasi tersebut, yaitu gedung gereja (sementara) dan rumah pastori (yang sementara dibangun). Selain itu tidak ada bangunan lain.
Aliran listrik belum masuk ke lokasi ini. Menurut Pdt. Ampy Nahuway, dibutuhkan 11 tiang listrik untuk memasang jaringan listrik dari batas pemukiman terdekat. Satu tiang seharga Rp 2.000.000. Jadi, setidaknya mereka membutuhkan dana sebesar Rp 22.000.000 untuk membeli tiang listrik. Kebutuhan aliran listrik untuk Ibadah Minggu didukung hanya oleh 1 mesin generator. Semua kegiatan pelayanan terkonsentrasi hanya pada hari Minggu. Untuk itu saja para anggota jemaat harus berjalan kaki 2-5 km dari tempat tinggal mereka masing-masing. Jalan aspal sudah tersedia tapi belum ada trayek angkutan umum karena lokasinya sangat jauh dari jalan utama Seilale, serta jarang penduduk.
Kondisi jemaat semacam itulah yang mendorong Fakultas Teologi UKIM untuk mengarahkan Program Pengabdian Masyarakat ke Jemaat Kayeli. Selama dua hari, sebanyak 35 mahasiswa dan 6 orang dosen terlibat membantu pengerjaan pembangunan rumah pastori. Pembangunannya berjalan lambat (sudah 2 tahun belum selesai) karena bahan-bahannya disediakan secara bertahap tergantung ketersediaan dana mandiri atau bantuan pihak lain. Hanya ada 4 tenaga tukang yang diandalkan dari sumber daya jemaat sendiri.
Pada kegiatan “masohi” ini, Fakultas Teologi UKIM juga menyumbang sekitar 35 sak semen. Kegiatan-kegiatan yang digelar adalah kerja bakti pada hari Sabtu (16 Desember 2017) dan partisipasi dalam Ibadah Minggu (Adventus III – 17 Desember 2017) dengan penyusunan liturgi oleh Pdt. Peter Salenussa, M.Sn., serta para mahasiswa sebagai pendukung liturgi. Khotbah dilayani oleh Pdt. Dr. C. Pattinama/Kastanya, M.Psi. (Pembantu Dekan III). Setelah ibadah, kegiatan dilanjutkan dengan dua sesi materi penyusunan renungan/khotbah oleh Pdt. Oland Samson, M.A. (Pembantu Dekan III) dan penyusunan liturgi kontekstual oleh Pdt. Peter Salenussa, M.Sn. Sementara itu, Dekan Fakultas Teologi, Pdt. Dr. Sonny Hetharia, turut mendampingi kelompok mahasiswa dan dosen lainnya bergabung dalam “masohi” membantu para tukang yang mengerjakan pembangunan rumah pastori. Oleh karena tidak ada aliran listrik, kegiatan “masohi” tersebut harus berakhir jam 17.00 sebelum petang/malam.
Para mahasiswa sangat menikmati “masohi” bersama Jemaat Kayeli ini. Bagi mereka, ini merupakan pengalaman bekerja sekaligus berefleksi bersama-sama dengan kelompok jemaat yang selama ini belum pernah mereka kenal. Ada yang mengatakan bahwa berada selama 2 hari di jemaat ini mereka seperti merasa bukan di Pulau Ambon, yang juga dekat dengan Kota Ambon, ibukota Provinsi Maluku, dengan seluruh fasilitas dan kebisingannya. Memang tepat kesan itu. Selama 2 hari terlibat dalam kerja bersama Jemaat Kayeli, seolah-olah membawa kami memasuki kesunyian dalam kebisingan. Sunyi yang mencekam di antara kebisingan perayaan-perayaan ibadah natal yang semarak. Sunyi dalam kegelapan di antara gemerlap ribuan pohon natal berpendar cahaya lampu warna-warni. Sunyi dalam keterasingan di antara semarak ibadah-ibadah adventus di mana-mana. Suatu kesunyian yang mengajak untuk merasai dan melihat peluh, keluh dan gumul orang-orang Kayeli.