Tadi sempat mampir ke tempat yang dulu menjadi ruang angkringan informasi di salah satu sudut kota ini. Kenangan saya meluncur balik ke era akhir 1990-an saat masih berjibaku sebagai mahasiswa di kampus UKSW.
Tempat ini menjadi tempat yang wajib saya/kami kunjungi. Bukan hanya untuk melahap informasi (berita) gratis tapi juga ajang bersosialita ala mahasiswa kere seperti saya. Jarak dengan asrama mahasiswa tempat saya tinggal tidak jauh dan bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki santai sekitar 10 menit.
Di tempat ini setiap orang bisa berhenti sejenak untuk membaca lembar-lembar suratkabar yang ditempel di balik etalase sederhana. Membacanya pun dalam posisi berdiri. Bisa dibayangkan kalau ada sekitar 5-7 (kalau pagi biasanya lebih padat) orang yang berdiri berjejer maka senggol-senggolan pun tak terhindari. Namun, justru di situlah awal interaksi di antara orang-orang yang semula tidak saling kenal. Dari senggol-menyenggol, interaksi biasanya berlanjut dengan saling memberi komentar terhadap berita-berita nasional atau internasional yang tersaji di depan mata.
Percakapan ringan tak jarang menjadi diskusi hangat yang bisa berlangsung lebih dari 30 menit.
Sering pula diskusi berakhir tanpa saling memperkenalkan nama saking asyiknya. Tapi itu tak jadi soal karena salam perpisahan yang terucap adalah "Besok datang lagi ya. Kita ngobrol lagi." Begitulah besok, besok, dan besoknya lagi, baru kami tersadar bahwa belum saling memberitahu nama. Ah, apalah arti sebuah nama? Perkenalan terjadi karena perjumpaan yang interaktif dari berbagai golongan masyarakat warga kota: mahasiswa, pegawai kantoran, kusir delman, tukang becak, penjaja roti dll., semua bertemu, sama-sama berdiri, membaca, bersenggol-senggolan dan berbincang atau berdiskusi ringan.
Masa itu teknologi komunikasi andalan mahasiswa adalah warung telekomunikasi (wartel) yang cukup menjamur. Warung internet (warnet) masih sehitungan jari satu tangan. Kemudahan bermedsos masih menjadi mimpi karena punya handphone saja adalah kemewahan bagi kami mahasiswa "klas burjo" (itupun masih sering ngebon).
Begitulah. Waktu melesat dan manusia berubah cepat seiring perubahan-perubahan dan pergeseran-pergeseran dalam relasi-relasi sosial. Siapa yang bisa menduga bahwa ruang perjumpaan publik dunia nyata (duta) semacam ini kemudian mengalami transformasi ke ruang-ruang publik semu "dunia maya" (dumay) yang hanya mengandalkan sinyal internet dan jari-jemari untuk saling berkomunikasi. Suatu pola komunikasi tanpa interaksi verbal dan bahasa tubuh.
Hari ini saat ruang publik maya media sosial riuh-rendah dengan berbagai status dan komentar, saya berhenti sejenak di tempat ini - media sosial yang kian sunyi peminat tapi tetap bertahan. Karena kebutuhan akan informasi adalah kebutuhan setiap warga kota dan warga negara. Yang lebih penting, warga kota membutuhkan ruang-ruang publik dimana setiap orang bisa berjumpa dan berinteraksi sebagai manusia apa adanya.
*Dari sudut lapangan bernama PANCASILA*
Di tempat ini setiap orang bisa berhenti sejenak untuk membaca lembar-lembar suratkabar yang ditempel di balik etalase sederhana. Membacanya pun dalam posisi berdiri. Bisa dibayangkan kalau ada sekitar 5-7 (kalau pagi biasanya lebih padat) orang yang berdiri berjejer maka senggol-senggolan pun tak terhindari. Namun, justru di situlah awal interaksi di antara orang-orang yang semula tidak saling kenal. Dari senggol-menyenggol, interaksi biasanya berlanjut dengan saling memberi komentar terhadap berita-berita nasional atau internasional yang tersaji di depan mata.
Percakapan ringan tak jarang menjadi diskusi hangat yang bisa berlangsung lebih dari 30 menit.
Sering pula diskusi berakhir tanpa saling memperkenalkan nama saking asyiknya. Tapi itu tak jadi soal karena salam perpisahan yang terucap adalah "Besok datang lagi ya. Kita ngobrol lagi." Begitulah besok, besok, dan besoknya lagi, baru kami tersadar bahwa belum saling memberitahu nama. Ah, apalah arti sebuah nama? Perkenalan terjadi karena perjumpaan yang interaktif dari berbagai golongan masyarakat warga kota: mahasiswa, pegawai kantoran, kusir delman, tukang becak, penjaja roti dll., semua bertemu, sama-sama berdiri, membaca, bersenggol-senggolan dan berbincang atau berdiskusi ringan.
Masa itu teknologi komunikasi andalan mahasiswa adalah warung telekomunikasi (wartel) yang cukup menjamur. Warung internet (warnet) masih sehitungan jari satu tangan. Kemudahan bermedsos masih menjadi mimpi karena punya handphone saja adalah kemewahan bagi kami mahasiswa "klas burjo" (itupun masih sering ngebon).
Begitulah. Waktu melesat dan manusia berubah cepat seiring perubahan-perubahan dan pergeseran-pergeseran dalam relasi-relasi sosial. Siapa yang bisa menduga bahwa ruang perjumpaan publik dunia nyata (duta) semacam ini kemudian mengalami transformasi ke ruang-ruang publik semu "dunia maya" (dumay) yang hanya mengandalkan sinyal internet dan jari-jemari untuk saling berkomunikasi. Suatu pola komunikasi tanpa interaksi verbal dan bahasa tubuh.
Hari ini saat ruang publik maya media sosial riuh-rendah dengan berbagai status dan komentar, saya berhenti sejenak di tempat ini - media sosial yang kian sunyi peminat tapi tetap bertahan. Karena kebutuhan akan informasi adalah kebutuhan setiap warga kota dan warga negara. Yang lebih penting, warga kota membutuhkan ruang-ruang publik dimana setiap orang bisa berjumpa dan berinteraksi sebagai manusia apa adanya.
*Dari sudut lapangan bernama PANCASILA*
No comments:
Post a Comment