Hiruk-pikuk Pilkada Jakarta 2017 tampaknya akan segera mereda seiring hasil hitung-cepat yang menerakan nama pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai peraih suara pendukung terbanyak melampaui kompetitor mereka, Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat, yang masih akan mengemban tugas sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta hingga Oktober 2017. Namun, rasanya sulit untuk dengan gampang mengatakan hiruk-pikuk yang terjadi selama ini akan mereda begitu saja. Meskipun petahana Basuki, dalam konferensi pers setelah tampil hasil hitung-cepat, mengatakan dengan lugas “Mari kita lupakan semua yang sudah terjadi” lalu mengajak untuk membangun Jakarta bersama-sama karena “Jakarta adalah rumah kita bersama”.
Idealnya memang proses kampanye dan pilkada sudah usai. Tetapi secara faktual banyak hal dan peristiwa yang terjadi sebenarnya telah mencuatkan persoalan-persoalan fundamental dalam relasi-relasi kekuasaan, kebudayaan politik dan persilangan agama-politik dalam sistem demokrasi Indonesia semenjak republik ini diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Titik waktu itu tidak hanya menyeret kita jauh ke masa lalu menelusuri lorong-lorong waktu dinamika politik, kebudayaan dan ekonomi yang berlangsung hingga pada tahun 2017 ini menapaki usia kemerdekaan sebagai suatu entitas politik negara-bangsa menjadi 72 tahun. Maka titik waktu usia 72 tahun juga membentangkan harapan dan tantangan apakah “Indonesia” yang diimajinasikan sejak tahun 1945 hingga kini, lalu coba dirawat dan dipertahankan dengan model Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika tersebut, masih mampu menjadi ideal type yang hangat bagi kemajemukan sebagai “rumah bersama”.
Bagi saya, pada titik itu, kita sebagai bangsa mesti mengantisipasi bahwa “hiruk-pikuk” yang sebenarnya justru sedang memasuki fase awal pada lingkup yang lebih luas. Anggapan bahwa (Pilkada) Jakarta akan menjadi barometer kebudayaan dan politik Indonesia sedang menjadi mitos politik yang perlu diragukan landasan epistemiknya. Dalam konstruksi kebudayaan, mitos merupakan narasi history-like yang penting sebagai rujukan identitas sosial, yang diyakini “kebenaran”-nya tapi sulit dilegitimasi secara faktual sebagai kebenaran itu sendiri. Maka mitos hanya berhenti pada tataran kognitif dan mental tapi aktualitasnya diterima penuh ragu-yang-sulit-disangkal. Hingar-bingar otonomi daerah dan pilkada serentak di sekitar 100-an daerah kabupaten dan kota di seluruh wilayah Indonesia (sejak Reformasi 1998) pun mematahkan mitos politik Jakarta sebagai barometer politik dan kebudayaan Indonesia.
Banyak indikator empirik bisa digunakan. Salah satunya adalah seni mengelola berbagai modal (sosial, budaya dan ekonomi) yang tersedia dalam arena politik setiap daerah, dan kebudayaan politik yang terbentuk sebagai habitus yang kian cair sekaligus kental antara permainan politik identitas etnis, agama dan relasi-relasi klientelistik. Dari sudut pandang itu, pilkada Jakarta bukanlah fenomena baru. Pada derajat yang berbeda, fenomena serupa sudah banyak terjadi di berbagai daerah namun terbungkus rapat tak terendus para pegiat media. Atau, tidak dianggap sebagai komoditas media yang menguntungkan dibandingkan dengan apa yang terjadi di Jakarta. Jelas perspektif media – yang mereprensentasikan mindset para penikmat (pembaca/pengguna) – semacam itu merefleksikan konstruk pikir patron-client dengan Jakarta yang [seolah-olah] masih menjadi patron bagi daerah-daerah lain.
Hal itu terlihat jelas dari pola “permainan” yang berbeda meskipun para “aktor”-nya c.q. partai-partai politik sama dan/atau seideologi. Penolakan terhadap figur tertentu berdasarkan identitas etnis dan/atau agama ybs oleh partai-partai politik di beberapa daerah dengan alasan ideologis dan pragmatis ternyata tidak berbanding lurus dengan penerimaan mereka terhadap figur-figur politik yang diusung pada pilkada di daerah-daerah lainnya sambil mengabaikan begitu saja faktor-faktor identitas etnis/agama ybs. Dalam kontestasi politik semacam itulah Jakarta bukan barometer seperti yang dimitoskan oleh banyak media. Apa yang muncul dalam pilkada Jakarta barusan dan pilkada di daerah-daerah lain adalah sebuah pola demokrasi patronase yang secara dialektis memadukan matra-matra rasionalitas dan primordialitas sebagai aturan main yang cair dan lebih bersifat gambling, yang dalam banyak performanya lebih berwajah anti-tesis terhadap pilihan “rasional” demokrasi yang mengedepankan etika politik di ruang-ruang publik.
Elaborasi relasi-relasi kuasa dan daya simbolik antara agensi dan struktur-struktur sosial yang dianalogikan oleh Pierre Bourdieu sebagai arena dimana habitus berperan penting dalam membentuk watak agensi (aktor-aktor) dalam mengelola berbagai modal (sosial, budaya, ekonomi dan simbolik) dalam ruang-ruang sosial, cukup membantu memahami relasi-relasi kuasa sebagai bentuk-bentuk negosiasi demi mencapai tujuan bersama. Relasi-relasi kuasa dalam arenanya Bourdieu dilegitimasi melalui kesepakatan rule of game yang memperkuat tesis bahwa agensi dan struktur sosial mesti dipahami dalam suatu konstruk logis (rasional).
Namun, saya melihat bahwa apa yang ditampilkan melalui tontonan politik di negeri ini tidak melulu berporos pada rasionalitas demokrasi itu sendiri – jika memang demokrasi itu hendak dipahami sebagai politik rasional atau rasionalisme politik. Apa yang sebut sebagai matra-matra rasionalitas dan primordialitas yang cair dalam arena politik Indonesia – dengan indikator game pilkada – ternyata turut melibatkan faktor gambling atau perjudian politik dimana rasionalitas juga dideterminasi oleh faktor-faktor keberuntungan dan momentum politik yang sulit ditebak hembusan anginnya. Maka yang berlaku adalah kepiawaian untuk memasang taruhan sambil mengolah isu-isu politik yang “diduga” mampu membalik arah angin.
Sebagai yang demikian, saya melihat bahwa arena politik di Indonesia – sekali lagi, berdasarkan indikator pilkada – lebih kuat berorientasi keberanian bertaruh (gambling). Seperti permainan “ular-tangga”, setiap peran dan langkah setiap aktor sangat ditentukan oleh kocokan dadu. Tidak ada langkah mundur. Setiap biji dadu adalah hitungan langkah yang harus diikuti. Keberuntungan adalah jika langkah yang diambil tiba pada nomor tangga: naik melewati sekian langkah. Ketidakberuntungan pun bisa terjadi jika kocokan dadu membawa pada hitungan langkah tiba pada nomor ular: melorot turun beberapa langkah. Harapan mendapat tangga yang panjang ke atas bisa segera pupus ketika malah mendapat ular panjang ke bawah. Namun, sekali lagi, semua langkah itu ditentukan oleh kocokan dadu. Biji enam memberi aktor kesempatan sekali lagi mengocok dadu. Langkah biji enam bisa menguntungkan bisa merugikan. Kuncinya pada “pertaruhan” atau “perjudian” yang menentukan kemana arah angin yang membawa aktor ke puncak atau menyeret turun hingga kembali ke nomor kecil. Perhitungan “rasional” tentu penting, tapi itu tidak sepenuhnya mempengaruhi hasil akhir. Sebab semuanya ditentukan oleh kocokan dadu. “Dadu” identitas primordial (etnis/agama) kini terbukti lebih menentukan langkah-langkah politik pra- hingga pasca-pilkada di negeri ini ketimbang perhitungan-perhitungan rasional yang positivistik dalam sistem demokrasi. Kini mari bersiap menghadapi hiruk-pikuk politik “ular-tangga” berikutnya.
No comments:
Post a Comment