Aku menulis maka aku belajar

Friday, January 25, 2008

Membidik yang salah atau salah membidik?


Isi salah satu surat pembaca pada halaman awal Berita Oikoumene edisi November 2007 cukup mengejutkan saya. Saya tidak mengutipnya secara langsung di sini, tetapi intinya ialah sang penulis surat itu menganjurkan agar umat Kristen “mewaspadai” beberapa gereja yang disinyalir beraliran sesat di beberapa wilayah Jakarta. Bukan itu saja, malah lembaga-lembaga gerejawi (mungkin yang dimaksud: PGI[?]) diminta untuk mengeluarkan semacam “fatwa” mengenai aliran-aliran sesat dalam kekristenan.

Memang dalam beberapa waktu belakangan ini marak muncul pemberitaan mengenai sejumlah “aliran sesat” dalam agama-agama mainline. Apalagi ketika secara terbuka Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa No. 4 tahun 2007 yang menyatakan aliran Al Qiyadah al Islamiyah sebagai aliran sesat lantaran mengingkari ajaran pokok Islam sebagaimana yang telah dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW. “Hasil verifikasi dan investigasi Komisi Pengkajian MUI, aliran ini memang sesat dan menyesatkan,” ujar Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin, saat menjelaskan keputusan Majelis Fatwa MUI tersebut. Pada lain kesempatan, dalam pidato Rapat Kerja Nasional MUI bertajuk “Revitalisasi MUI dalam Mengembangkan Tugas Kebangsaan dan Keumatan” di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta (Senin, 5 November 2007), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Sahal Mahfudz mengatakan, “MUI memberikan fatwa sesat tentang Al-Qiyadah, agar umat Islam tidak terperdaya,” demikian Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu. Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah, itu juga mengimbau kepada masyarakat yang sudah masuk menjadi pengikut Al-Qiyadah Al-Islamiyah agar kembali ke jalan yang benar. Sahal mengakui kompetensi MUI hanyalah sebatas imbauan dan fatwa saja. Sedangkan untuk tindak lanjutnya dilakukan aparat kepolisian. “Kasus ini bukti bahwa MUI tidak bisa berjalan tanpa kerja sama dengan pihak lain, seperti dengan pemerintah. Kita harap kerja sama bisa lebih ditingkatkan,” pungkasnya.

Pasca diterbitkannya fatwa tersebut – menurut liputan sejumlah media cetak dan elektronik – hampir serentak di beberapa tempat terjadi aksi penyerbuan, penggrebekan, pengusiran dan penangkapan para pengikut “aliran sesat” itu. Bahkan, aparat kepolisian turun tangan mencari, memburu dan menangkap orang-orang yang diduga meyakini ajaran dari kelompok tersebut. Tak bisa disangkali bahwa dalam proses penggrebekan dan penangkapan baik yang dilakukan oleh polisi maupun oleh kelompok massa, terjadi pula tindakan-tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan itu mewujud dalam bentuk perusakan rumah, penyegelan masjid, pemukulan, cemoohan, sampai pengusiran. Dalam konteks itu, tuntutan agar orang-orang “tersesat” itu bertobat pun mesti dilihat sebagai sebentuk kekerasan karena hakikat pertobatan sebagai panggilan hati nurani untuk menemukan “nur ilahi” diperkosa menjadi semacam pertobatan dengan paksaan (bahkan diawasi oleh polisi). Pencitraan tersebut seolah-olah hendak mengafirmasi bahwa di negara ini ternyata bisa ditemukan “penjahat-penjahat iman”.

Fatwa yang semula didasari oleh pertimbangan-pertimbangan teologis dalam suatu agama kemudian meluas menjadi persoalan-persoalan sosiologis dan politis. Sosiologis karena fatwa tersebut ditanggapi secara publik sebagai ajakan untuk menghantam dan memberangus “aliran sesat” itu, jika perlu sampai ke akarnya, tanpa perlu dibuka ruang dialog sosial mengenai sejarah dan signifikansi ajarannya. Politis karena fatwa itu ditanggapi oleh presiden sebagai simbol institusi politik suatu negara dan operasi penangkapan dilakukan oleh institusi kepolisian yang juga merupakan salah satu instrumen negara.

“Aliran sesat” memang bukan fenomena baru dalam sejarah agama-agama. Dalam konteks kekristenan, ajaran sesat (heresy) sudah setua usia gereja itu sendiri.[1] Tidak seperti dalam agama-agama pra-Kristen dimana ortopraksis biasanya lebih penting daripada ortodoksi, masalah heresy dari sononya bermula dalam gereja yang berupaya mendefinisikan ortodoksi (ajaran yang benar). Pada komunitas-komunitas awal Kristen tradisi-tradisi tentang kehidupan Yesus dan ajaran-Nya sangat bergantung pada orang-orang yang menyiarkannya di berbagai tempat yang berbeda-beda. Keberanekaan tradisi ini lantas menimbulkan persoalan ortodoksi. Pada suatu masa ada satu tradisi iman yang dipegang, sedangkan tradisi-tradisi dan pandangan-pandangan lain dilabeli “heterodoks” dan “murtad” (heretical). Pola seperti ini juga nampak dalam pembedaan antara tulisan-tulisan kanonik dan apokrif. Tulisan-tulisan yang dicap apokrif disingkirkan dan karenanya lebih sering ditemukan dalam tradisi-tradisi Kristen periferi. Penetapan apa yang disebut ortodoksi atau ajaran yang benar itu sendiri berlangsung dalam konteks konflik yang sengit, bahkan sampai berdarah-darah.

Adriaan Bredero mencatat bahwa penetapan “kemurtadan” atas suatu kelompok atau aliran pemikiran tidaklah selalu berasaskan teologis. Malah dalam studinya mengenai kekristenan pada abad-abad pertengahan, Bredero menemukan begitu banyak perselingkuhan antara gereja dan kekuasaan politik, yang bermuara pada penggunaan otoritas spiritual untuk menyingkirkan lawan-lawan politik. Atau setidaknya menekan kelompok-kelompok penentang arus utama gereja. Misalnya, pada tahun 1075, Ramirhdus, seorang imam Katolik, dihukum mati atas tuduhan “murtad” hanya karena menolak tegas menerima Ekaristi dari imam-imam yang hidupnya tidak layak.[2] Padahal, waktu itu gereja sedang melakukan reformasi untuk mendorong penghormatan lebih tinggi kepada para imam. Reformasi ini sangat dipengaruhi oleh kedekatan para imam dengan konteks masyarakat feodal saat itu.

Dalam studinya yang komprehensif, A History of God, Karen Armstrong mendeskripsikan secara detil proses menciptakan tuhan-tuhan di sepanjang sejarah peradaban manusia. “Namun, tampaknya menciptakan tuhan-tuhan telah sejak lama dilakukan oleh umat manusia. Ketika satu ide keagamaan tidak lagi efektif, maka ia segera akan diganti,” demikian Armstrong.[3]

Penjelajahan intelektual Armstrong mengenai lahir dan berkembangnya, konflik dan metamorfosis ide-ide tentang Tuhan, telah mendorongnya mengupas epistemologi sejumlah pemikir teologi dalam upaya menjawab kemungkinan masa depan Tuhan. Dalam terjangan badai skeptisisme tentang perlukah Tuhan dalam kehidupan manusia, Armstrong dengan tegas mengatakan bahwa “agama” sebagai wadag bersarangnya ide Tuhan (teistik) tetap menjadi keniscayaan. Agar perasaan tidak merosot menjadi pelampiasan hawa nafsu, agresif atau emosionalisme yang tak sehat, ia perlu diarahkan oleh nalar kritis. Pengalaman tentang Tuhan harus diiringi oleh antusiasme lain, termasuk antusiasme akal. Memaksakan Tuhan ke dalam isolasi intelektual, ke dalam ruang suci miliknya sendiri, merupakan tindakan yang tidak sehat dan tidak alamiah. Ini akan mendorong orang untuk berpikir bahwa perilaku yang diilhami oleh “Tuhan” tidak perlu dikenakan standar normal dalam soal kepantasan dan rasionalitas.

Di situlah saya kira letak titik singgung “agama” dan “rasio” yang mengendap menjadi soal abadi dalam diskursus modernitas. Memang agak repot ketika pengalaman beragama secara simplistis dioposisikan dengan modernisasi – atau bahkan westernisasi. Kendati kenyataannya modernisasi sesungguhnya tidak dapat dicerabut dari konteks historis di Barat, tetapi modernisasi itu sendiri bukanlah produk murni Barat. Modernisasi tidak dapat dimonumenkan hanya pada wujud peradaban material, tetapi lebih kepada spektrum kebudayaan. Modernisasi tidak dapat dipahami hanya sebagai perubahan-perubahan institusional, tetapi lebih sebagai perubahan-perubahan kesadaran. Atau, dalam ungkapan Fransisco Budi Hardiman, “modernisasi tampak sebagai peralihan ‘dari’ situasi yang lebih primer, partisipatif, determinatif, dan tertutup ‘ke’ situasi yang lebih sekunder, distantif, kreatif dan terbuka”.[4] Sehingga dengannya modernisasi dipahami sebagai proses pembebasan.

Simplifikasi modernisasi dengan “pembaratan” (westernisasi) pada gilirannya berdampak pada tata relasi antarkomunitas beragama. Pluralitas sosial yang merupakan esensi realitas kehidupan manusia pun tak luput dari ancaman “gergaji” teologis yang hendak memangkas diversitas menjadi postur komunitas yang lebih homogen. Atas nama kecurigaan terhadap kontaminasi “westernisasi” itu pula pluralisme menjadi sesuatu yang haram dan najis. Seolah-olah pluralisme adalah sebuah western imposition. Benarkah demikian? Dalam buku suntingan Paul Knitter, The Myth of Religious Superiority, ada sejumlah pandangan mengenai matra pluralisme dari beberapa pemikir teologi – Hindu dan Sikh; Buddha; Yahudi; Kristen; Muslim – berdasarkan perspektif religiositas. Knitter sendiri mengakui bahwa antologi ini tidak bermaksud untuk secara sewenang-wenang membuang seluruh klaim-klaim superioritas religius di masa lampau melainkan

we hoped to deal with such claims for what we believed they are – myths of religious superiority – that is, religious people using religious language to express experience or insights that are beyond language. So religious language bears the quality of the mythic, symbolic, metaphoric, poetic. Its truth, therefore, lies in its interpretation, which will be different in different times and cultures.

Jika demikian halnya, bukankah perbedaan – termasuk dalam memahami suatu ajaran agama – adalah suatu bentuk keterbatasan manusia berhadapan dengan semesta, bahkan dari Realitas Ultim tak bernama itu, yang diyakini sebagai Great Creator itu? Dengan demikian, bagaimana bisa makhluk yang terkungkung rapat dalam keterbatasan budaya dan keluncasan bahasa ini dapat menentukan “kebenaran”? Kebenaran yang sebenarnya “tidak ada” – tidak ada karena Realitas Ultim tak bernama itu melampaui batas-batas kodrati kemanusiaan, sehingga yang ada hanyalah percik-percik kebenaran yang berbeda karena dibahasakan dengan episteme yang berbeda. Realitas Ultim tak bernama itu sendiri tak tuntas dipersonifikasikan. Jika toh dipersonifikasikan maka Realitas Ultim itu hanyalah sebentuk gagasan yang dimanusiakan (antropomorfisme), padahal Sang Realitas Ultim sesungguhnya adalah The Ground of our being – yang lekat dan merasuk dalam setiap ciptaan-Nya, bukan “di luar sana”, di luar dunia dan di luar eksistensi kemanusiaan. Hanya dengan memahami Realitas Ultim seperti itu maka kita akan menemukan keindahan hidup bersama dalam warna-warni ide yang memang sudah menjadi kodrat kemanusiaan kita. Mari kita nikmati perbedaan ini, agar kita tidak terbelit oleh akar-akar kekerasan dalam ayunan paradoks: membidik yang salah atau salah membidik!

What’s it all about, what’s it all about
Is it necessary killing one another cause of a diff’rent religion
What’s it all about, what’s it all about
Don’t wake up hate within our hearts,
Cause hate can make us people drift apart
("What’s it all about" by Daniel Sahuleka)


[1] Adriaan H. Bredero, Christendom and Christianity in the Middle Ages: The Relations between Religion, Church, and Society. Trans. by Reinder Bruinsma (Michigan: Eerdmans, 1994), 208

[2] Bredero, Christendom and Christianity in the Middle Ages, 202.

[3] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4.000 Tahun (Bandung: Mizan, 2004), 28.

[4] Fransisco B. Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 74.

2 comments:

  1. bung, usul bagus. tapi nanti beta masukkan. ya? pelan-pelan kio.
    supaya jang dianggap sebagai blog provokasi lai.

    ReplyDelete
  2. Ok bung Piet. Tapi beta kira dalam era cyberspace sekarang ini kita tidak perlu takut dicap provokasi to? Itu kan tergantung pada content blognya. Apalagi ditulis oleh seorang kandidat doktor...

    ReplyDelete

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces