Sahabat saya, Pdt. Elifas Maspaitella, M.Si, menulis satu artikel menarik di blognya (kutikata.blogspot.com) bertajuk "Susahnya Mengampuni". Saya tidak tahu konteks apa yang menginspirasinya dan kemudian menuangkannya dalam tulisan tersebut. Setahu saya, dia selalu menulis berdasarkan amatan kritisnya terhadap konteks sekitarannya lalu dianalisis yang kemudian ide-idenya tumpah-ruah dalam tulisannya. Tetapi, okelah, soal background tulisan itu biarlah cuma dia yang tahu. Namun setidaknya tulisan tersebut telah membawa saya kepada percik permenungan yang lain, tentu dari sudut pandang yang berbeda, mengenai tautan wacana "pengampunan". Impuls-impuls imajinatif saya tiba-tiba baku tagae alias nyantol pada satu pernyataan Yesus yang tertulis dalam Injil Lukas 6:27-36 (nanti baca aja sendiri ya, soalnya kepanjangan kalau mau dikutip seluruhnya di sini). Saya hanya ingin mengutip pernyataan yang paling dikenal saja: "Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu...". [Oh ya, sejauh ini saya masih Kristen-Protestan. Jadi, saya lebih condong mengeksplorasi keberimanan saya berdasarkan tradisi Kristen-Protestan. Bisa jadi, di kemudian hari saya berniat bertualang dalam pencarian Tuhan dalam aneka komunitas religius yang lain... Who knows? Toh, Sang Tuhan itu pun bergerak liar dan bebas mengunjungi manusia yang dikasihi-Nya tanpa penyekatan "institusi agama" apapun.]
Topik "mengasihi musuh", saya kira, merupakan topik yang paling tidak populer bagi setiap orang. Topik ini sering dihindari dalam banyak percakapan, diskusi gerejawi dan bahkan khotbah-khotbah di gereja. Kutipan pernyataan Yesus di atas kemudian bermuara pada apa yang disebut "kaidah emas" (golden rule): "dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka" (ayat 31). Pernyataan serupa terungkap pula dalam Matius 7:12 "segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi". Artinya, menurut Matius, Yesus sungguh-sungguh membangun etika pelayanannya di atas dasar pemahaman keagamaannya (Yahudi). Yesus tidak anti-Taurat tetapi terus-menerus hendak menanamkan pengertian baru yang lebih segar dan relevan daripada yang diajarkan sebagai rutinisme oleh para ahli Taurat sezaman.
Mengapa topik ini tidak populer bagi banyak orang? Setidaknya ada dua alasan: [1] sejak masa Pencerahan (enlightenment/aufklarüng) manusia tersiram cahaya rasionalitas bahwa kebebasan untuk berpikir tentang dirinya dan dunianya tidak lagi dibatasi oleh pagar norma-norma keagamaan (teologis) yang dibangun oleh institusi keagamaan (gereja). Sejak saat itulah ajaran-ajaran [berbau] agama dianggap spam karena dianggap hanya menawarkan ekstase akhirat tanpa bergulat dalam realitas konkret kemanusiaan yang belepotan dengan sejuta problem tak berjawab. "Mengasihi musuh", antara lain, dianggap sebagai utopia karena dunia justru sedang mengarah pada "perang", baik secara fisik maupun ideologis, yang tentu berakhir pada polarisasi "pemenang-pecundang" (winner and looser); [2] Pada dasarnya dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan untuk mencari kepuasan intrinsik yang kemudian dipahami sebagai "kehendak bebas" (free will), yang kerap mewujud dalam tindakan-tindakan melawan aturan atau hukum sosial.
Dua alasan di atas mempunyai efek yang luas (sosial, ekonomi, budaya, teknologi, teologi). Tetapi, bukankah semua itu adalah konsekuensi historis dari sebuah perkembangan zaman? Kenapa harus dicurigai? Sebenarnya, jika hendak menempatkan pernyataan Yesus dalam konteks hidup kita sekarang, [si]apakah musuh kita?
Bisa jadi, ketika mendengar pertanyaan tentang "musuh" imajinasi kita langsung menerawang pada gambaran "orang" yang bermuka masam, cemberut, marah-marah pada kita atau yang sering membuat kita tersinggung dan sakit hati. Tetapi, pernahkah kita membayangkan wajah "musuh" justru sebaliknya: murah senyum, [seolah-olah] bersahabat, memberi kita kenikmatan [yang menjerumuskan], membuat kita mabuk, dsb? Kebudayaan global dengan segala tampilannya saat ini telah menawarkan kepada kita suatu ekstasi gaya hidup yang "nyaman", tetapi bukan berarti tanpa resiko. Itulah sebentuk "ideologi" yang sekarang sedang merasuki kehidupan masyarakat kita dan menggiring kita ke arah tujuan yang tak menentu. Memang, perubahan paling radikal dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat agaknya justru sedang berlangsung dengan cara paling damai, nyaman, diam-diam, tanpa gejolak: tiba-tiba saja masyarakat tercerabut dari aras tertentu dan lalu tak diperlukan lagi perubahan dalam arti riel yang dicita-citakan bersama.
"Ideologi" yang baru, merasuk tidak lewat indoktrinasi kaku, pamflet, propaganda, pidato, penataran dan sejenisnya, tetapi lewat gemerlap iklan, sihir program-program televisi, tawaran gaya hidup yang "wah", yang kemudian mendekonstruksi atau mengubah kebudayaan bersama maknanya yang selama ini dikenal orang pada kajian baru. Saat ini sedang terjadi "perang" massif, semboyan besar-besaran, untuk mendewakan kekuatan materi atau uang, dalam perlombaan keserakahan untuk menjadi kaya, serta bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya. Kalau dulu, sebagian orang merasa "tidak perlu" pamer kekayaan dan karenanya cenderung tampil modest meski kaya, kini apa gunanya kaya kalau tidak dinikmati habis-habisan? Kaya itu enak dan perlu. Lalu apa yang membatasinya? Hanya langit.
Mari kita intip contoh McDonald's. Di Oak Brook, Illinois, daerah pinggiran kota Chicago, berdiri tersebar bangunan-bangunan besar kantor, plaza, universitas, hotel, selain hutan dan danau yang tampak dilestarikan. Di situlah "markas besar" McDonald's, usaha waralaba (franchising) yang bergerak di penjualan hamburger yang restorannya tersebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Melihat mabes McDonald's kita akan menyadari bahwa di balik struktur organisasi dan pengendalian usahanya terbingkai suatu "ideologi": McDonald's tidak hanya membikin makanan tetapi "mencetak manusia [hamburger]"; tidak menciptakan hamburger tetapi kebudayaan; bukan hanya mengurus masalah perut tetapi gaya hidup. Seperti halnya Levi-Strauss meroket dalam popularitas global dengan blue-jeans, yang terjadi sebenarnya adalah proses produksi yang mengikuti desain kebudayaan berupa standarisasi dalam skala global.
Untuk menyebarkan virus ideologi "manusia hamburger", McDonald's mendirikan Hamburger University di Oak Brook. Mereka sadar bahwa bukan makanan yang mereka proses, tetapi konsumen. Yang distandarisasi bukan hanya makanannya tetapi konsumennya. Sehingga mengonsumsi produk McDonald's bukan hanya untuk kenyang, tetapi juga elevasi kebahagiaan manusia yang sadar perlunya makanan dan kebiasaan makan sehat. Tak berlebihan jika ada pendapat (Clive Bloom) yang melukiskan kekuatan McDonald's sebagai penetrasi "ideologi Amerika". Sebuah dunia yang nyaman, enak, bersahabat dan pas untuk konsumsi domestik. Memasuki dunia McDonald's, Coca-Cola, Levi 501s, Anda tak perlu memikirkan dunia yang kian ruwet. Masa Perang Dingin telah usai. Penetrasi "ideologi" tidak lagi lewat paksaan moncong senjata dan infiltrasi spionase, melainkan tawaran yang adem, damai, nyaman, atau kata orang Amerika: have fun. Lagipula, tidak ada kata gagal dalam kamus McDonald's. Karier seseorang di McDonald's tidak ada batasnya – batasnya cuma langit.
Kalau begitu, apa yang salah dengannya? Kenapa kita harus melihatnya sebagai ancaman atau musuh? Kita sudah tentu tidak bisa menghindarinya karena tsunami kebudayaan massa ini sedang menerjang sendi-sendi kehidupan kita: mulai dari urusan rambut sampai kuku kaki. Apa yang bisa kita lakukan paling-paling hanya mengenalinya agar – semoga – tidak tergulung oleh gelombangnya dan jungkir-balik tanpa arah, yang pada gilirannya menghempaskan kita di batu karang realitas yang membinasakan kemanusiaan dan ekosistem bumi.
Apa yang hendak kita refleksikan di sini ialah "kehati-hatian" atau "kritik ideologi" terhadap gaya hidup yang sebenarnya sedang menjerumuskan kemanusiaan kita pada keterasingan (alienation). Ketika manusia turun nilainya menjadi "komoditas" maka lambat-laun atau segera pandangan kita terhadap diri sendiri dan sesama akan ditentukan oleh komoditas tempelan yang disandangnya (parfum, busana, sepatu, tongkrongannya, konsumsi, tujuan wisata, merek HP, dsb). Hubungan kita tidak lagi terbangun secara genuine sebagai hubungan kemanusiaan. "Mengasihi musuh" adalah suatu tindakan radikal yang berarti "menerima segala perkembangan yang penuh resiko tanpa kehilangan sikap kritis [keberanian berjarak] dengannya". Pada titik itulah letak kesulitannya yang lagi-lagi oleh Yesus disebut sebagai keberanian untuk menyangkal diri.
Anda mungkin menganggapnya sebagai "cerita besar" (grand-narrative), tak apalah. Tetapi ini bukan bualan besar karena cerita besar ini sedang menjadi cerita kita bersama, yang menggulung kita dalam alur narasi hidup bersama sejagat, baik yang hidup di kota-kota megapolitan hingga ke desa-desa paling ndeso di titik-titik peta dunia yang selalu tak menarik untuk diperhatikan. Kita semua sedang ditelan ke dalam situasi yang sempoyongan dengan ekstasi gaya hidup. Seandainya Yesus hidup di abad ini, saya percaya Yesus pun akan bergaya hip-hop, dengan menenteng HP Nokia Nseries 3G, atau dia duduk di Mal Senayan City mengajar orang banyak sambil membawa mereka keliling untuk shoping; kalau lapar mungkin tidak sempat singgah di rumah Zakheus [yang nangkring di plafon koridor bus transjakarta], melainkan nongkrong di McDonald's, KFC atau Pizza Hut. 'Kan lebih asyik. Adem lagi. Tetapi, saya percaya bahwa Yesus postmodern pun masih punya waktu dan energi untuk bekerja bagi pelayanan kaum miskin tergusur – entah oleh banjir atau oleh satpol PP – bukan karena miskin-papa, melainkan karena mereka adalah sesama manusia yang harkat-martabatnya tak lebih tak kurang dibandingkan kaum berduit dengan tunggangan mercedes bens atau BMW. Saya percaya Yesus postmodern juga tetap punya konsistensi dan resistensi dalam perubahan sosial yang makin merakyatkan kemelaratan, termasuk perlawanan terhadap pelecehan kaum perempuan dalam sweeping PSK yang tidak manusiawi dan penuh kemunafikan. Dalam karya klasiknya Love, Power and Justice, Paul Tillich juga menyatakan bahwa urusan "mengasihi" bukanlah urusan personal-emosional semata, melainkan masalah ontologis yang baku tarika atau terikat dan terkait dengan soal keadilan dan kekuasaan.
Wuaaahh... cape deh!