Aku menulis maka aku belajar

Monday, March 24, 2008

Ayat-ayat Cinta Bagi Rakyat Tercinta


Libur panjang selama empat hari cukup memberikan kesempatan untuk meregangkan otot dan urat syaraf. Apalagi ini liburan berkaitan dengan perayaan dua hari keagamaan yakni Maulid Nabi Muhammad SAW (20 Maret) dan Kematian Yesus Kristus (21 Maret). Tetapi begitulah, rupanya metabolisme tubuh sudah sedemikian terbentuk oleh iklim kepadatan kerja dan kemacetan lalu lintas Jakarta sehingga rasanya tidak enak juga kalau terlalu lama berleha-leha. Hari Minggu kemarin saya membeli koran KOMPAS (Minggu, 23 Maret 2008). Sambil lalu membalik-balik halamannya, mata saya terpaku pada satu kolom bertajuk Kagumi Orang Muda, Jusuf Kalla Menonton “Ayat-ayat Cinta”. Jujur saja, ketertarikan saya membaca kolom tersebut sebenarnya lebih didorong rasa ingin tahu apa alur cerita film itu – maklum, lagi tanggal tua jadi hasrat nonton belum kesampaian. Tetapi setelah membaca dua kali, saya agak menyesal karena tidak menemukan apa impresi Wapres Jusuf Kalla (JK) mengenai alur cerita film tersebut.

Membaca kolom tersebut saya malah menemukan beberapa plot narasi berita yang sedikit saja kena-mengena dengan judul kolomnya. Saya hanya ingin mengambil tiga bagian saja yang menarik untuk dicermati:

Satu. “Wapres ingin menonton film itu karena kagum dengan anak-anak muda yang bergiat di balik film yang mencetak rekor jumlah penonton hingga tiga juta.” Jika dapat ditafsir, bagian ini hendak menyatakan secara tidak langsung bahwa JK lebih terdorong menonton film itu karena kagum dengan jumlah penonton yang mencapai angka tiga juta, dan oleh karena itu memberi apresiasi pada kinerja para sineas muda yang menggarapnya. Mari lihat apa kata JK tentang itu: “Saya terus terang kagum dengan anak-anak muda yang ada di balik film itu. Mereka semua kreatif dan semua berusia di bawah 35 tahun”. Substansi dan makna film itu sendiri yang diterima JK sebagai penonton [ternyata] tidak muncul atau direkam dalam kolom berita tersebut.

Kedua. Benarkah JK tidak memberikan impresi sama sekali atas film itu? Ternyata tidak. JK tetap memberikan impresinya, dan ini yang unik: “Ini menandakan pertumbuhan kita sedang terjadi dan belum pernah terjadi sebelumnya setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Ini sering luput kita lihat.” Efek dari menonton film itu bagi JK ternyata bukan pada alur narasinya atau pesan apa yang hendak dikomunikasikan oleh para pembuat film itu kepada penikmatnya. Di sini ada semacam ambiguitas pemaknaan, apakah indikator pertumbuhan [ekonomi?] negara ini bertumpu pada tampilnya sineas-sineas muda ataukah pada rekor angka tiga juta penontonnya. Lebih lanjut, agak naif rasanya jika indikator kreativitas orang-orang muda hanya dipaku pada tampilnya segelintir kaum selebritas muda yang membentuk kelas sosial baru dalam masyarakat kita. Pasalnya, kelas sosial baru ini lahir dan bertumbuh dalam suatu dunia kenyamanan yang menyediakan kepada mereka fasilitas melimpah-ruah untuk bereksperimen dalam kreativitas yang mahal ini – apalagi sampai mempekerjakan artis yang berwarganegara, dan sudah pasti berwajah, “asing”. Sementara itu di sebelah lain kehidupan kita, yang luput dari penglihatan kita adalah kinerja kaum muda progresif yang memberi makna berindonesia dengan model kreativitas mereka sendiri, yang jauh dari kilatan blitz kamera wartawan atau rekaman media massa.

Ketiga. Film ini, bagi JK, melahirkan sebentuk tafsir sosial tersendiri sebagaimana dikutip berikut ini: “Wapres mengakui, meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi mencapai 6,3 persen, kemiskinan masih tinggi. Dengan terus tumbuhnya ekonomi, Wapres berharap kemiskinan makin terkikis dan jumlah rakyat miskin berkurang.” Sungguh, saya yang bodoh dalam soal ekonomi dan hitung-hitungan matematis mikro/makro ekonomi ini merasa sesak dengan tafsir JK tersebut. Dalam amatan saya, perspektif JK tersebut memperlihatkan bahwa perspektif pembangunan kebangsaan negara ini masih dilihat dalam kerangka kerja evolusioner-alami dan linear dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi – yang kerap menjadi indikator kemajuan atau modernisasi – dilihat sebagai unsur yang dengan sendirinya akan membenahi atau mendorong kemajuan pada bidang-bidang kehidupan rakyat lainnya. Padahal, kita semua saat ini sedang berada pada puncak kemacetan membangun kebudayaan bangsa dan sedang mengalami degradasi kultural, jika bukan sosial-politik, yang sedang membawa republik ini terpuruk.

Lihat saja, sudah berapa ribu keluarga kehilangan rumah, ladang, dan mata pencarian karena semburan lumpur Lapindo, berapa ribu orang yang sedang menatap masa depan kelam karena dipastikan menjadi pengangguran baru pasca dinonaktifkannya maskapai penerbangan Adam Air, berapa ribu keluarga yang merana karena gagal panen karena sawah mereka tergenang banjir yang tak kunjung surut, carut-marut wajah pendidikan nasional yang berhasil mencetak “preman-preman” baru dengan nyali tawuran di jalan [itu jika Jakarta dipakai sebagai indikator masyarakat modern], pemilihan kepala daerah di mana-mana ditandai oleh kecurangan dan aksi vandalisme antarpendukung kandidatnya, desakan-desakan simplistik kelompok-kelompok tertentu yang dengan pongah menganggap pengagungan nilai-nilai agamanya sendiri mampu mengangkat negara ini dari keterpurukannya di segala bidang, dan sebagainya.

Bagaimanakah kita memahami lapis demi lapis masalah bangsa ini hanya dengan bersandar pada satu perspektif tunggal, ekonomi? Saya tidak menafikan bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu sokoguru pengembangan kesejahteraan kehidupan bangsa ini. Sampai saat ini, kita pun masih terbelenggu antara “benci tapi rindu” dengan kekuatan kapitalisme global yang sebenarnya sudah mencengkeram urat syaraf nasionalisme dan ideologi kebangsaan kita. Malah, nyaris saat ini kita tidak lagi bergairah membicarakan kemanakah arah berbangsa dan bernegara kita yang seharusnya dilandaskan pada satu ideologi bersama, yang merangkul seluruh anak bangsa ini dalam satu ikatan kebangsaan yang solid.

Pembangunan ekonomi penting, tetapi bukan satu-satunya. Bagi saya, “Ayat-ayat Cinta” – meskipun saya belum nonton – merupakan suatu refleksi bahwa dinamika kebudayaan dalam masyarakat dan implikasi sosial-budaya kebijakan politik pemerintah mesti menjadi orientasi bersama menghadapi hantaman badai kapitalisme yang makin menggemuruh. Dalam konteks itu, “agama” seharusnya kita tampilkan sebagai salah satu energi positif untuk membangun kehidupan bersama yang majemuk ini. Interaksi positif agama-agama di Indonesia yang terbangun dalam dinamika kreatif selama ini bisa digunakan sebagai suatu idea system yang diterima sebagai hasil perpaduan berbagai pengaruh yang saling berinteraksi dalam jangka waktu bertahun-tahun. Lantas, mengapa harus memaksakan satu pilihan tunggal dalam problem-solving masalah-masalah kebangsaan kita? Setidaknya kita mesti mengakui bahwa tidak ada satu etika agama pun, walaupun dalam bentuknya yang paling murni dan paling “orisinal” sekalipun, yang berkembang dalam suasana yang sama sekali bebas dari berbagai arus pemikiran tentang kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan politik. Jika demikian, mengapa kita tidak mengambil pilihan untuk membangun suatu etika beragama yang ramah dan penuh cinta dalam roh keindonesiaan kita yang multirupa ini? Bukankah “cinta” itu yang hendak ditawarkan oleh agama-agama sebagai nilai ilahi untuk disemaikan dan ditumbuhkan secara sosial dalam kehidupan bersama kemanusiaan kita?

Saya percaya – lagi-lagi meskipun belum nonton – “Ayat-ayat Cinta” merupakan suatu tawaran kultural bagi bangsa ini yang sedang dirudung awan kelam bencana dan kekerasan sosial-politik-budaya. Dalam hal itu, saya juga yakin bahwa urusan “cinta” dalam “Ayat-ayat Cinta” lebih esensial daripada sekadar curahan emosional hati. Paul Tillich dalam Love, Power, and Justice mengatakan bahwa hidup merupakan cara mengada dalam aktualitas dan cinta adalah kekuatan penggerak kehidupan. Kekisruhan dalam etika sosial, teori politik dan pendidikan disebabkan karena keluncaspahaman terhadap karakter ontologis cinta.

Dalam bahasa keagamaan, “ayat” bukanlah sekadar bagian dari suatu pasal melainkan penggalan-penggalan tekstual yang terbuka bagi suatu penafsiran simbolis untuk ditemukan rohnya dalam aktualita kehidupan manusiawi dan semesta alam. Keberagamaan kita semestinya menjadi upaya mempertautkan secara kreatif makna “ayat” menjadi “adat” (aspek budayawi) kemanusiaan. Jika demikian halnya, bukanlah mustahil “ayat-ayat cinta” menggairahkan seluruh energi sosial kita kepada “adat-adat cinta” dimana cinta-mencintai dalam artinya yang hakiki (Tillich, ontologis) menjadi tradisi dalam kehidupan bersama kita di republik ini. “Ayat-ayat cinta” menjadi kebudayaan mencinta, dimana Sang Tuhan tampil dalam gairah cinta universal yang membongkar tembok-tembok primordialisme dan fanatisme semu, termasuk atas nama Tuhan itu sendiri. Jadi, pak Wapres, menikmati “Ayat-ayat Cinta” jangan melulu dilihat dalam grafik pertumbuhan ekonomi, karena sebagai suatu karya seni “Ayat-ayat Cinta” mesti disimak dalam kacamata tafsir simbolis kebudayaan dan karenanya berpesan tentang sesuatu yang tak terukur oleh rumus-rumus matematis. Kalau jumlah penikmat film itu menembus angka tiga juta itu semata-mata “rakyat” kita sedang haus dengan sentuhan kebijakan penuh cinta. Rakyat sudah jenuh dan sumpek dengan dagelan keadilan, sandiwara kemakmuran, horor penggusuran, thriller kekerasan, dalam reality show keseharian. Kami, rakyat Indonesia, sedang mimpi hidup dalam tatanan sosial-politik-budaya yang penuh cinta, karena agama-agama kami memang ingin agar kami – yang mengaku beragama –tampil sebagai pelaku-pelaku cinta. Well, is it a sort of nightmare or buzzwords?

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces