Aku menulis maka aku belajar

Monday, March 3, 2008

Gusur-Geser-Garser

Bagi sebagian besar orang – khususnya kalangan muda – tanggal 14 Februari setiap tahun selalu dinanti. Sudah lazim di seluruh dunia "14 Februari" diingat sebagai Valentine day atau hari kasih sayang. Nuansa romantis yang menyemburat dari tampilan merah muda (pink) terpamer di mana-mana, mulai dari mal-mal hingga fitur-fitur sms/mms yang bertatitut di hp-hp kaum ABG.

Tetapi rasanya nuansa kasih sayang itu tak mampu dirasakan gempitanya oleh kalangan pedagang pasar kaget – yang belakangan dilabel sebagai pedagang kaki lima (PKL) – di kawasan Batumeja Ambon. Kenapa? Karena justru pada hari "kasih sayang" itu mereka menerima perlakuan yang sama sekali tak terasa kasih dan sayangnya. Pada 14 Februari 2008 pemerintah kota Ambon dengan dukungan kesatuan khususnya, "batalyon" polisi pamong praja, menggusur bersih lapak-lapak dan kios-kios PKL Batumeja. Berdasarkan pengalaman "menggusur" beberapa waktu sebelumnya memang tak nampak perlawanan berarti dari kelompok PKL yang digusur. Katanya sih, mereka – maksudnya para pedagang kagetan – cukup sadar bahwa program penggusuran PKL di sepanjang jalan protokol kota Ambon yang kecil-mungil ini merupakan salah satu program pemkot untuk menata-ulang kota Ambon yang porak-poranda selama "konflik" sejak 1999. sejak "konflik" itu, konstelasi sosial-politik Ambon memang nyaris tanpa hukum, kecuali hukum rimba.

Namun, situasi sudah berubah. Kelompok PKL Batumeja ternyata tidak mau menerima begitu saja perlakuan penggusuran dari Satpol PP pada valentine day itu. Sempat terjadi perdebatan alot antara pedagang dan anggota Satpol PP, bahkan nyaris adu fisik, jika saja beberapa anggota polisi diturunkan untuk menengahi ketegangan tersebut. Maklumlah, kan malu juga kalau terjadi kericuhan di dekat mapolda Maluku. Penggusuran pun berjalan lancar.

Menariknya, pascapenggusuran para pedagang ternyata kembali menggelar komoditas dagangan mereka meskipun hanya di atas meja sederhana. Sudah tentu bisa ditebak. Satpol PP untuk kedua kalinya menggusur mereka dan memberi peringatan bahwa kawasan tersebut akan dibersihkan dan diperbaiki infrastrukturnya sehingga kembali pada fungsi awalnya: jalan raya.

Para pedagang Batumeja berkilah bahwa Pasar Tagalaya yang menjadi tempat relokasi mereka sama sekali tidak strategis dan representatif. Sementara oleh sebagian media lokal di Maluku, sempat direkam komentar beberapa pedagang yang sudah masuk ke Pasar Tagalaya yang menyatakan bahwa anggapan Pasar Tagalaya tidak strategis itu keliru. Namun, ternyata soal menggusur ini tidak hanya sekadar soal lokasi baru yang lebih strategis atau representatif. Dalam ketegangan antara pedagang dan satpol PP saat terjadi penggusuran juga terdengar umpatan-umpatan terhadap walikota Ambon, Jopie Papilaya. Sakit hati saat digusur memang wajar, tetapi mengumpat figur politik (representasi penguasa) tentu merupakan ekspresi yang menarik untuk dicermati. Pasalnya, apakah kebijakan pemkot untuk menata-ulang kota Ambon merupakan sesuatu yang menggilas hak-hak warga kota untuk berusaha dan menikmati hasil usahanya? Jawabannya bisa saja "ya", jika pihak pemkot tidak menyediakan alternatif bagi kelompok yang tergusur. Lalu, bagaimana dengan lokasi Pasar Tagalaya yang menjadi alternatifnya? Katanya tidak strategis. Soal strategis atau tidak strategis tentu merupakan suatu asumsi yang sumir, karena tergantung bagaimana sistem pengelolaan pasar tersebut yang didukung oleh sinergitas lintas dinas badan, sehingga "pasar" itu mempunyai akses yang bisa ditempuh oleh setiap lapisan masyarakat – yang berangkot maupun yang bersedan pribadi.

Toh, ketika masa-masa berat sejak konflik 1999 tak seorang pun memikirkan mana tempat strategis untuk menggelar dagangan kagetan. Yang penting bisa jualan dan dapat untung. Itu sudah cukup.

Seiring pergeseran waktu, terjadi pula banyak perubahan dalam konteks sosial-politik-ekonomi kota Ambon. Fenomena pasar kaget Batumeja memperlihatkan sebenarnya proses perkembangan ekonomi yang tidak biasa. Tarik-ulur dalam proses penanganannya menunjukkan bahwa persoalan pasar kaget ini bukan hanya sekadar soal "kecap manis", "sayur", "ikan", "bumbu dapur" dan sebagainya, melainkan sudah masuk dalam persoalan kebijakan politik menyangkut fasilitas publik. Nah, kalau sudah sampai di simpul "politik" ini sudah pasti banyak cantolan kepentingannya – yang ujung-ujungnya siapa dapat apa dari proyek pasar dan gusur-menggusur itu.

Fenomena Batumeja sebagai pusat perekonomian bukan hal yang baru. Untuk kurun waktu yang cukup lama Batumeja menjadi terminal perdagangan bagi kelompok perempuan papalele dari negeri-negeri di "gunung", seperti Soya, Hatalai, Naku, Kilang. Mereka menjadikannya terminal karena pada dasarnya kaum perempuan papalele jarang sekali menggelar dagangannya secara menetap. Sesuai namanya, "papalele" berarti "berjalan berkeliling menjajakan dagangannya". Kenapa harus berkeliling? Karena yang mereka jajakan bukanlah termasuk komoditas tahan lama, seperti buah-buahan. Batumeja menjadi terminal ekonomi karena di situlah mereka juga saling barter komoditas di antara sesama perempuan papalele. Setelah barter, mereka kemudian berjalan berkeliling. Jika habis, syukur. Jika tidak pun, mereka dapat membawa pulang sisanya untuk dikonsumsi oleh keluarga. Jadi, tidak ada istilah merugi. Dalam tesisnya bertajuk "Papalele: Ajang Berteologi Perempuan Ambon" di Universitas Kristen Satya Wacana, Nancy Souisa melakukan penelusuran dan wawancara mendalam dengan sejumlah perempuan papalele di beberapa lokasi kota Ambon. Konfrontasi teoretis asumsi-asumsi sosio-ekonomis yang dilakukannya sangat menarik dalam membedah realitas papalele kaum perempuan Ambon, yang ternyata menampilkan suatu temuan bahwa aktivitas papalele tidaklah semata-mata untuk kepentingan ekonomis. Ada makna lebih dalam dari itu menyangkut keberlangsungan hidup dan harmoni secara sosiologis dan ekologis.

Pascakonflik 1999 hingga kini (2008), Batumeja rupanya tetap menjadi pusat perekonomian tetapi dengan makna sosiologis yang baru. Realitas konflik telah menguatkan eksistensinya sebagai pusat perbelanjaan yang [semi-]permanen, yang kemudian mengalami tabrakan kepentingan dalam manajemen tata ruang perkotaan oleh pemkot Ambon. Dalam konteks inilah, penataan Batumeja dan relokasi para pedagangnya mesti dilakukan dalam suatu mekanisme kebijakan publik yang transparan. Alasan bahwa pemkot sudah mengirimkan surat peringatan berkali-kali adalah alasan basi, karena bisa saja tidak menyentuh inti masalahnya atau memang tidak sampai pada alamat yang tepat. Dalam hal ini, ada calo-calo politik yang mencoba menjadikannya sebagai proyek negosiasi dengan pemkot untuk meraup keuntungan bagi dirinya sendiri.

Transparansi antara kelompok pedagang dan pemkot menjadi penting untuk mengeliminasi kelompok-kelompok kepentingan yang ingin menjadikan rakyat sebagai "kuda tunggangan", dan pada pihak lain, mengajak [kelompok-kelompok] rakyat melakukan pembelajaran politik dalam mengelola kepentingannya sendiri yang simultan dengan kepentingan bersama warga kota. Jika sudah bicara kepentingan bersama, itu berarti harus bebas dari segala labelisasi, termasuk "agama". Sudah tentu, label "pasar Kristen" dan "pasar Islam" tidak lagi relevan jika kita memang – pascakonflik – berkomitmen menjadikan masyarakat Ambon sebagai masyarakat multikultural. Di dalamnya kita belajar mengelola perbedaan tanpa bersitegang, menata relasi tanpa [harus] konfrontasi, dan membangun etika publik tanpa [mesti] konflik.

Dalam konteks itu pula, pemkot Ambon harus belajar bahwa rakyat tidak bisa terus-menerus menjadi kambing hitam dari segala keruwetan tata kota. Oleh karena itu, aspek-aspek kebijakan publik – terkait dengan relokasi pedagang Batumeja – harus ditempatkan sebagai orientasi pemberdayaan dan kesejahteraan rakyat. Tidak lagi menjadikannya sebagai ajang "penggeseran" kekuasaan lawan politik di antara kubu-kubu politik lokal. Sehingga apa yang diharapkan dari seluruh proses sosial-politik tersebut adalah suatu wajah sosiologis masyarakat urban yang matang dalam membangun kehidupannya – demokratis, menghargai hak-hak hidup kemanusiaan, mengelimasi kekerasan, mengutamakan diplomasi daripada negasi, yang semuanya mengarah pada terbangunnya civil society yang bertumbuh secara wajar. Istilah orang Ambon, "jang pele-pele garser". Rasanya tiga kata berikut ini perlu dipertimbangkan menjadi sebuah pilihan: gusur-geser-garser. Pilih mana?

2 comments:

  1. Akang berita ni beta nonton di TV, beta jua cek di internet. Ternyata batul. Penggusuran itu biasa dalam kebijakan-kebijakan publik pemerintah, tetapi "Penggeseran" itu yang luar biasa karena dia kemudian menjadi term bernuansa Politis dan dapat menjadi bumerang bagi penguasa. Ini yang menjadi fakta bahwa dekonstruksi kebijakan itu perlu sehingga kalau Abang Lucky bilang Bos Yop seng memahami masyarakat, itu berarti ada yang salah dari sistem perwakilan di Ambon. Sebenarnya jauh-jauh hari Abang Lucky sudah musti pigi lalu dengar orang-orang di pasar Batu Meja tu mau bilang deng ingin apa, lalu rapatkan akang di DPRD sana baru sampaikan for Konco Yopi, biar dong dua bisa ator kota tu bae-bae. Sakarang gara-gara Pasar Batu Meja, dong dua sudah bakukasalah satu deng laeng.... Secara politis sebenarnya itu sangat tidak menguntungkan partai, walaupun akan menguntungkan "Abang Lucky" misalnya di tahun-tahun mendatang....
    Penggusuran yang mengarah Penggeseran itu berbahaya bosss... Mimbar Maluku pung tanggapan bagimana, katong balong dengar bae-bae ni... hehehehe

    ReplyDelete
  2. Lagi-lagi masalahnya bisa jadi terletak pada komunikasi politik di kalangan para elite politik lokal Ambon. Ale pung tafsir politik su paleng tajam karena ale langsung mencuatkan nama beberapa aktor. Itu tanda bahwa ale pung concern masih kuat tarika deng katong pung gunung tana. Kalo soal tanggapan Mimbar Maluku katong tunggu saja gebrakan "arsitek"-nya, Pdt. Elifas Maspaitella.

    ReplyDelete

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces